Views: 43
Solidernews.com – Hujan deras mulai tiba sore itu, saya duduk di lincak (kursi dari bambu) salah satu warung kopi di sudut kota Purworejo sembari melirik layar smartphone. Supri yang saya tunggu sedari 30 menit yang lalu sengaja saya ajak bertemu untuk mengulik tentang dunia seni yang dia tekuni selama ini. Dari pintu samping warung, sosok Supri berkaos lengan panjang hitam lantas mendekat dan duduk persis di hadapan saya.
“ Piye mbak, kabare?,” sapanya pada saya yang berarti menanyakan kabar saya saat itu. Tentu saya jawab dengan senyum dan menyatakan diri saya baik-baik saja. Saya mengenal Supri, anak muda yang tingginya sekitar 163 cm berkulit sawo matang dan selalu mengenakan topi ala pelukis dimulai sejak tahun 2017 silam melalui kegiatan bersama Semarak Karya Desa (SKD). SKD merupakan kegiatan gabungan dari komunitas untuk mengangkat seni dan tradisi di desa wilayah Purworejo. Kami tak banyak berinteraksi pada kegiatan tersebut, namun semenjak itu saya memiliki cukup banyak intensitas mengobrol dan di saat itu saya baru tahu bahwa Supri merupakan seorang difabel fisik (tangan kanan).
Kesehariannya, Supri menggunakan tangan palsu di tangan kanannya sehingga secara sekilas orang tidak ‘ngeh’ (paham) apabila tidak memperhatikan secara seksama. Walaupun demikian, aktivitas Supri masih tetap sama dengan orang lain tanpa hambatan dan bisa menjalani aktivitas sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Purworejo. Supri bisa mengendarai motor matic yang telah dimodifikasi sehingga mobilitasnya untuk mendukung mobilitasnya yang cukup tinggi.
Supri salah satu pelukis difabel yang ada di Purworejo. Namanya cukup dikenal di kalangan seniman di kota berirama ini. Hasil karyanya berupa karikatur dan sketsa wajah sudah banyak dipesan oleh warga Purworejo bahkan luar kota. Kecintaannya pada dunia seni lukis sudah muncul sejak kecil di bangku Sekolah Dasar (SD), dengan hobinya menggambar di buku tulis hingga kadang menjadi penyebab kekesalan orang tuanya.
“Lah piye buku kok digambar-gambari!” (Bagaimana buku kok digambari) kalimat itu yang dulu saat Supri masih kecil dapatkan dari orangtuanya yang mengetahui anaknya asyik menggambar di buku tulis sekolah.
Sejak masa SD, Supri memang pernah mengikuti perlombaan tingkat kabupaten mewakili kecamatan Bagelen. Walau tidak mendapat juara, semangat untuk mempelajari teknik gambar ditekuninya hingga di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga tingkat atas (SMA). Supri mengakui semua ditekuni dengan otodidak yakni melihat karya-karya dari orang lain. Pelukis yang membuatnya tertarik di seni karikatur dan sketsa ialah Prie GS seniman karikatur dari Semarang.
“Dulu itu saya mulai tertarik karikatur awalnya di tahun 2015, kemudian pada tahun 2016 saya melihat karikatur Prie GS di Borobudur saat pameran berlangsung”, ungkapnya. Karya Prie GS menjadi salah satu peserta pameran lukisan dan akhirnya dia tertarik untuk mendalami seni karikatur. Selain Prie GS, ada pelukis lain bernama Dibyo dari Tuban yang sampai saat ini menjadi inspiratornya dalam berkarya. Cara melukis Dibyo yang ekspresif dan selalu produktif menjadi salah satu motivasi terkuatnya.
“Mas, es susu putih satu ya,” pesannya pada pelayan warung kopi. Sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakan korek dia mulai menghisap rokok dalam-dalam. Saya mulai penasaran dengan proses kreatif yang dilakukan Supri untuk bisa menghasilkan karya karikatur ataupun sketsa. Penjelasannya singkat bahwa untuk menghasilkan satu wajah dalam bentuk karikatur atau sketsa empat hanya butuh 3 jam. Pemesan karikatur akan diberikan sketsa kasar terlebih dahulu, apabila dirasa cocok maka proses pemesanan akan dilanjutkan, sementara untuk sketsa wajah dapat dikerjakan dengan melihat foto yang diberikan dari pemesan.
Bulan Februari lalu, 20 wajah sudah dilukisnya dari pemesan yang biasanya bersumber dari instansi, lembaga dan perorangan. Pemesanan dilakukan melalui nomor whatsapp dan melalui pesan di instagram @jasalukiswajah_karikatur. Dengan kemampuannya saat ini, Supri dapat mengerjakan sekitar 25 pesanan tiap bulannya. Tarif dasar karikatur untuk setiap wajah berkisar 250 ribu rupiah, sementara untuk lukis sketa wajah antara 300-350 ribu per wajah.
“Alhamudulillah bisa untuk mencukupi kebutuhanku Mbak”, ujarnya.
Dari kisahnya mengerjakan karya seni karikatur atau sketsa ada dua hal yang membuat berkesan. Pertama yakni membuat lukis wajah seorang anak balita yang sudah meninggal. Sketsa wajah seorang anak bayi dari teman yang membuat hatinya ikut merasakan kesedihan sebuah kehilangan. Kedua yakni membuat sketsa wajah yang tidak ada contoh gambar atau fotonya. Pemesanan dari seorang wanita yang menginginkan lukisan wajah yang ditemui saat mimpi berkali-kali. Pemesan tersebut menceritakan detil dari wajah seorang remaja berusia sekitar 17 tahun dengan gaya rambut, hidung, mata dan bentuk wajah yang dijumpai saat mimpi. Berdasarkan informasi pemesan bahwa dahulu ia telah pernah kehilangan anak saat usia kehamilan. Ada masanya mimpi yang sama ditemui sosok anak laki-laki yang selalu hadir dalam beberapa kali mimpi. Hal ini membuat Supri mengakui adanya tantangan yang cukup berat karena takut hasilnya tidak sama persis dari yang diharapkan. Namun saat pesanan telah diterima olah pemesan, ia mengakui sangat senang dengan hasil karya dari Supri.
Kilas balik dari lelaki berusia 32 tahun, Supri menyatakan masa kecil adalah masa yang sangat berarti bagi dirinya. Ia hidup di salah satu desa di kecamatan Bagelen, menghabiskan masa sekolah dari SD hingga SMA tanpa adanya diskriminasi walaupun ia bersekolah di sekolah umum. Lukisan tentang masa kecil di pedesaan ia tuangkan dalam sebuah lukisan dan dipamerkan di Surabaya. Romantisme masa kecil dengan goresan seperti layaknya anak kecil menjadi ciri khas dari karyanya.
Ajang pameran lukisan yang pernah ia ikuti seperti pameran kolektif di Yogyakarta, Wonosobo, dan Surabaya. Baginya saat ini di kota tempat tinggalnya masih terbatas galeri seni atau tempat untuk memajang karya lukisan dari para seniman, meskipun penikmat karya seni seperti lukisan atau karikatur cukup banyak di kota Purworejo. Ditambahkan pula pada tahun 2024 ini, Supri akan mempersiapkan satu karya supaya dapat berpartisipasi dalam pameran di Taman Budaya Yogyakarta pada Mei mendatang.
Menurutnya masih ada dua orang pelukis difabel yang ada di Purworejo. Hal ini disampaikan dengan nada lirih bahwa karya seni sebagai media untuk memperjuangkan kesetaraan dan inklusi. Sangat memungkinkan bagi pelukis menyampaikan isu sosial atau isu inklusi dari apa yang dialami dalam bentuk karya seni visual yang dapat dinikmati banyak orang. Ke depan, Supri ingin terus mengembangkan skill dan karyanya supaya tetap bisa dinikmati banyak orang dan tentu bisa menghidupi diri sendiri sebagai jalan hidup yang ia yakini saat ini.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan Arief