Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

gambar ilustrasi informasi SPMB SMA/SMK 2025

Ketika Pintu Dibuka, Tapi Tak Ada yang Masuk: Potret SPMB SMA Jalur Siswa Difabel di Yogyakarta 2025

Views: 59

Solidernews.com, Yogyakarta. SENIN pagi, 30 Juni 2025, di tengah riuh pendaftaran peserta didik baru jalur reguler (domisili radius, afirmasi inklusi atau difabel, mutasi, prestasi), solidernews.com menyambangi beberapa sekolah di Kota Yogyakarta. Di antaranya SMA Negeri 1, 7 dan 10 Yogyakarta, serta SMK Negeri 4 dan 6 Yogyakarta. Mengkonfirmasi jumlah murid difabel dalam penyelenggaran Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang SMA dan SMK menjadi tujuan.

Diperoleh informasi, Posko khusus pendaftar murid difabel di beberapa SMA Kota Yogyakarta yang dibuka pada 10 – 13 Juni 2025 lengang. Tak ada satu pun calon siswa difabel yang datang. Padahal, kuota dua siswa difabel per rombongan belajar tetap tersedia, sesuai regulasi. Namun pintu yang terbuka itu, tetap sunyi. Seolah hanya simbol kehadiran tanpa keinginan yang sungguh-sungguh untuk disambut.

Berbeda halnya dengan SMK. Di SMK Negeri 6 Yogyakarta, satu di antaranya. Di sekolah kejuruan ini tercatat ada 19 siswa difabel pada beberapa jurusan. Demikian juga di SMK Negeri 4, pun terdapat 15 siswa difabel yang memilih bersekolah di sana.

Bukan hanya sebagai angka statistik. Para siswa difabel mendaftar karena sebuah kesadaran. Bahwa yang paling dibutuhkan dalam hidup bukan sekadar ijazah, tapi life skill atau keterampilan hidup yang mampu membuat mereka mandiri, produktif, dan bermartabat. Hal ini mengemuka dari Guru Bimbingan dan Konseling SMK Negeri 6 Yogyakarta, Anugrah Tri Waluyo dan Erina Dian Florentin pada Senin (30/6).

Catatan penting disampaikan kedua guru Bimbingan Konseling di SMK Negeri 6. Kehadiran guru pendamping khusus (GPK) yang saat ini hanya tersedia satu hari dalam seminggu, sangat jauh dari cukup. Terutama saat siswa difabel menjalani kegiatan praktik, kehadiran GPK setiap hari menjadi kebutuhan riil yang tidak bisa ditawar. Tanpa pendamping yang konsisten, potensi mereka bisa terhambat, bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena sistem yang belum sepenuhnya berpihak.

“Bagaimana pun, guru kelas harus memberikan perhatian sama kepada seluruh siswa, yang jumlahnya hampir empat puluh siswa tiap kelas. Ketika praktik, beberapa kelas (jurusan sama) akan digabung. Kehadiran GPK saat praktik sangat dibutuhkan, dalam pendampingan para siswa difabel. Hal ini yang sering kali tak dapat terlaksana, karena GPK harus mengajar di sekolah induk,” ujar Pak Aan panggilan Anugrah Tri Waluyo yang diiyakan Erina.

Sementara itu, upaya untuk menemui Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta guna membahas isu ini belum berhasil. Tapi suara-suara dari lapangan telah lebih dari cukup untuk menggambarkan kenyataan. Terdapat jurang antara kebijakan dan implementasi. Ada keheningan di balik posko-posko pendaftaran, yang mencerminkan keraguan, kekhawatiran, bahkan mungkin ketidakpercayaan dari orang tua dan calon siswa difabel terhadap aksesibilitas di jenjang pendidikan menengah, dalam hal ini SMA.

Fakta bahwa siswa difabel lebih memilih SMK daripada SMA juga menyiratkan sebuah pilihan logis: bahwa mereka ingin mempersiapkan diri untuk hidup mandiri, bekerja, dan berkarya. Namun ini tidak bisa dibiarkan menjadi fenomena sepihak. SMA pun seharusnya ikut berbenah, menyediakan ruang yang inklusif dan memberi harapan bahwa pendidikan akademis bukanlah tembok penghalang bagi difabel.

Hal tersebut mengemuka dari Pakar Pendidikan sekaligus Direktur Dria Manunggal Setia Adi Purwanta. “Pendidikan inklusif bukan hanya soal menerima pendaftaran siswa difabel. Lebih dari itu, ini tentang kesiapan semua elemen. Dari guru, fasilitas, kurikulum, hingga budaya sekolah, untuk benar-benar menerima, membimbing, dan merayakan keberagaman kemampuan,” ujarnya pada Selasa (1/7).

 

Refleksi

Posko pendaftaran jalur afirmasi siswa difabel di sejumlah SMA di Yogyakarta yang kembali sunyi tahun ini, menjadi catatan tersendiri bagi Setia Adi Purwanta. Fenomena ini adalah alarm yang seharusnya membangunkan kesadaran semua, khususnya sekolah dan orang tua. Di balik tidak hadirnya siswa difabel di posko pendaftaran, tersirat bahwa belum ada kesiapan menyeluruh untuk mendorong mereka melangkah lebih jauh ke jenjang pendidikan menengah.

Kondisi ini juga mencerminkan bagaimana sekolah tingkat SMP dan para orang tua yang belum benar-benar mendorong dan mempersiapkan anak difabelnya menuju masa depan yang lebih tinggi. Ketidakhadiran mereka di meja pendaftaran adalah hasil dari minimnya keyakinan, bahwa SMA mampu menampung, memahami, dan membesarkan mereka sebagai manusia utuh.

“Inklusi itu bukan sekadar memberi ruang, tapi juga membimbing dan menyemangati. Jika orang tua dan sekolah pertama (SMP) tidak membekali anak difabel dengan kesiapan mental, keberanian, dan informasi, maka jangan heran bila mereka enggan melangkah lebih jauh,” tandas Setia Adi.

Ini saatnya semua pihak mengambil peran, lanjut dia. SMP sebagai gerbang awal harus serius dalam membangun kepercayaan diri siswa difabel, menumbuhkan mimpi mereka sejak dini, serta menjalin sinergi dengan SMA yang ingin berkembang menjadi sekolah inklusif sejati. Orang tua pun perlu melihat bahwa pendidikan tinggi bukanlah risiko, melainkan hak.

“Ketika seorang anak difabel tak datang ke posko pendaftaran, yang perlu kita tanya bukan hanya kenapa dia tidak datang, tetapi juga apakah kita benar-benar sudah mengundangnya masuk? Sebab, ketika pintu dibuka, tetapi ruang di dalamnya tidak ramah dan tidak siap, maka tak heran jika tak ada yang masuk,” pungkasnya.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content