Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ilustrasi pendidikan inklusi

Keterbukaan Pendidikan Tinggi untuk Difabel di Makassar: Afirmasi atau Ilusi Inklusif?

Views: 14

solidernews.com – Tahun 2025 menjadi titik refleksi penting untuk menakar sejauh mana inklusi dalam pendidikan tinggi benar-benar dijalankan, khususnya di Kota Makassar. Berdasarkan pemantauan solidernews, sebanyak 23 difabel mendaftar sebagai calon mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi negeri. Dari jumlah tersebut, sebelas orang dinyatakan lulus melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025.

Sekilas, capaian ini tampak menggembirakan dan menunjukkan kemajuan dibanding tahun-tahun sebelumnya yang belum terdokumentasi secara sistematis. Namun, distribusi jurusan yang ditempati para mahasiswa difabel menyingkap lapisan persoalan yang lebih dalam. Dari sebelas yang diterima, delapan orang masuk ke jurusan Pendidikan Khusus (PKH), sementara sisanya tersebar di Bimbingan dan Konseling, Administrasi Kesehatan, dan Ilmu Sejarah. Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pemusatan ini mencerminkan minat pribadi yang bebas, atau justru menggambarkan keterbatasan sistemik yang mengarahkan pilihan secara halus?

Dalam kacamata sosiologi pendidikan, pemilihan jurusan tidak terjadi di ruang hampa. Pierre Bourdieu melalui konsep habitus dan modal kultural menjelaskan bahwa pilihan individu terbentuk dari pengalaman sosial yang berulang dan terinternalisasi. Bagi mahasiswa difabel, pengalaman eksklusi yang terus-menerus dan minimnya dukungan dalam sistem pendidikan kerap menciptakan persepsi bahwa hanya jurusan tertentu yang benar-benar terbuka untuk mereka.

Hal ini sejalan dengan pengamatan Muhammad Ilham Rahman, mahasiswa Universitas Hasanuddin yang aktif mendampingi para calon mahasiswa difabel selama proses SNBT. Dalam wawancara bersama Solidernews, Ilham menyampaikan:

“Semangatnya teman-teman difabel untuk kuliah itu bagus. Tapi menurutku semangat eksplorasinya yang kurang. Saya malah khawatir kalau teman-teman hanya mau ke jurusan PKH, terus setelah kuliah kembali ke SLB, lama-lama jurusan tertentu akan seperti SLB versi kampus.”

Ia menambahkan:

“Yang saya amati, teman-teman dari SLB memang lebih sering memilih PKh. Jarang dari sekolah reguler yang memilih jurusan itu. Saya rasa ini karena kurangnya informasi atau karena mereka terlalu yakin bahwa dunia SLB adalah ‘rumah’ yang harus terus dipertahankan.”

Kutipan ini mengungkap kenyataan bahwa pilihan jurusan oleh mahasiswa difabel kerap dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan sebelumnya yang bersifat segregatif. Ketika sejak awal mereka ditempatkan dalam sistem yang membatasi ruang eksplorasi, maka kecenderungan untuk memilih jalur yang dianggap “paling aman” menjadi pilihan yang logis, meskipun terbatas.

Muhammad Lutfi, seorang aktivis difabel, juga memberikan catatan penting dalam wawancaranya bersama Solidernews. Ia mengapresiasi tren peningkatan jumlah difabel yang mendaftar kuliah, namun sekaligus menyoroti akar persoalan yang belum terselesaikan:

“Tren teman-teman difabel untuk berkuliah, khususnya di Sulawesi Selatan, meningkat cukup signifikan. Isu PKH sebagai jurusan favorit sebenarnya bukan hal baru. Faktor di baliknya hampir selalu berkaitan dengan motivasi dan literasi.”

Lebih lanjut, Lutfi mengajak organisasi difabel untuk mengambil peran lebih aktif dalam mendampingi generasi muda difabel:

“Komunitas difabel dan organisasi difabel harus lebih proaktif dan inovatif memfasilitasi adik-adik difabel ini—bekerja sama dengan SLB, mendampingi keluarga, serta yang paling penting, mendorong mereka untuk berekspresi dan bereksplorasi.”

Pandangan ini mengajak kita merenung lebih dalam: keterbatasan pilihan tidak semata-mata berasal dari sistem pendidikan tinggi yang belum inklusif, tetapi juga dari lingkungan sosial yang belum cukup mendukung keberanian difabel untuk bermimpi lebih besar. Dalam ruang sosial yang penuh ketakutan akan kegagalan, eksplorasi menjadi barang mewah. Maka, tak mengherankan jika jurusan PKH dipilih bukan karena menjadi cita-cita utama, melainkan karena dianggap sebagai pilihan yang paling mungkin.

Memang tak dapat dipungkiri, jurusan Pendidikan Khusus selama ini relatif lebih ramah terhadap mahasiswa difabel. Dosen-dosennya sudah terbiasa dengan pendekatan pedagogi inklusif, dan fasilitas pendukung umumnya lebih tersedia. Namun ketika hanya satu jurusan yang menyediakan ruang aman, maka pilihan tersebut bukan lagi tentang minat, melainkan tentang bertahan. Di titik inilah makna inklusi mulai menyempit—bukan sebagai keterbukaan penuh, melainkan sebagai pembatasan halus yang dibungkus dengan retorika penerimaan.

Situasi ini menandai kegagalan sistemik. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah menjamin hak pendidikan tinggi tanpa diskriminasi. Pasal 42 mewajibkan negara menyediakan layanan pendidikan tinggi yang aksesibel, dan amanat ini diperkuat dalam PP No. 13 Tahun 2020 tentang akomodasi yang layak. Namun, dalam praktiknya, implementasi masih tertinggal jauh.

Banyak perguruan tinggi belum memiliki Unit Layanan Disabilitas (ULD), dan jika pun ada, fungsinya sering kali terbatas pada layanan administratif semata. Dimensi penting seperti adaptasi kurikulum, alternatif asesmen, pelatihan dosen, hingga penguatan budaya akademik yang inklusif belum menjadi norma di luar jurusan PKH.

Untuk mewujudkan keterbukaan pendidikan tinggi yang sejati bagi difabel, sejumlah langkah konkret perlu segera ditempuh:

Pertama Pelatihan wajib bagi seluruh dosen di semua jurusan mengenai strategi pembelajaran inklusif.

Kedua Penyusunan kebijakan internal dengan indikator keberhasilan inklusi yang terukur dan berkelanjutan.

Ketiga publikasi terbuka data jumlah dan sebaran mahasiswa difabel per jurusan sebagai bentuk transparansi dan evaluasi.

Keempat,          Kemitraan strategis antara komunitas difabel dan institusi pendidikan, termasuk SLB dan keluarga, dalam mendampingi transisi ke perguruan tinggi.

Kelima Penciptaan ruang ekspresi dan eksplorasi sejak awal yang memungkinkan difabel melihat dirinya sebagai subjek aktif dalam pendidikan.

Kelulusan 11 dari 23 peserta difabel memang patut diapresiasi, tetapi jika dominasi hanya terjadi di satu jurusan, maka sistem belum benar-benar siap menerima keberagaman. Keterbukaan sejati tidak diukur dari angka semata, melainkan dari keberanian sistem untuk membuka seluruh pintu secara setara.

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang emansipasi—tempat di mana semua orang, termasuk masyarakat difabel, bisa memilih jalan hidupnya dengan bebas, bukan diarahkan secara halus ke ruang yang sudah disiapkan untuk mereka. Difabel tak hanya perlu diterima di ruang yang membicarakan mereka, tetapi juga di semua ruang di mana mereka bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan.[]

 

Reporter: Yoga ID

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content