Views: 13
SoliderNews.com, Yogyakarta – SEPERTIGA penduduk Indonesia adalah anak-anak. Setara dengan 85 juta jiwa. Jumlah ini, adalah yang terbesar keempat di dunia. 0,79 persen di antaranya atau sekitar 650 ribu, adalah anak-anak yang terlahir dan tumbuh sebagai anak difabel. Dan, 0,35% terlahir dengan difabilitas ganda.
Hingga kini, kesenjangan di berbagai bidang, signifikan terjadi pada anak-anak yang tumbuh dengan difabilitas. Berbagai kerentanan menghampiri kelompok marginal ini. Mereka mengalami tindakan diskriminasi. Apakah di bidang pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Tak dinafikkan. Terkadang, bentuk-bentuk diskriminasi, justru dihadirkan oleh keluarga. Orang tuanya sendiri, bahkan. Bentuk perlakukan tersebut, satu di antaranya ialah tindakan pemasungan. Hal ini dijumpai solidernews.com di wilayah Kabupaten Kulonprogo. Pemasungan oleh orangtua kandung terhadap seorang anak laki-laki bernama G. Pria kecil yang beranjak remaja itu, terlahir dengan autism. Dia telah kehilangan kebebasannya, kehilangan masa-masa sekolahnya. G juga kehilangan masa-masa bermain dan dunia anak-anaknya.
Problematika pemasungan, kompleks melatarbebelakangi tindakan orangtua G. Alasan menyayangi dan melindungi anaknya, agar tidak pergi dari rumah, menjadi alasan. Sesungguhnya, apa pun alasannya, tindakan pemasungan tidak dibenarkan. Ada cara yang lebih manusiawi, untuk menyayangi dan melindungai anak difabel. Sehingga mereka tidak kehilangan kesempatan emas, yaitu penerimaan, dan berbagai hak hidup lainnya.
Sedang penolakan oleh dunia pendidikan, pun masih kerap terjadi. Dengan alasan yang tidak masuk akal (irasional), beberapa sekolah mengatakan tidak siap. Sekolah tidak bersedia menerima siswa difabel, karena tidak memiliki guru lulusan pendidikan Luar Biasa (PLB), menjadi dalih paling umum.
Bisakah dibernarkan? Tentu tidak! Penolakan tersebut, merupakan satu bentuk diskriminasi, lembaga pendidikan. Bentuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap masa depan anak bangsa.
Andai saja, sekolah dengan seluruh sumber daya manusianya mau belajar. Mereka dapat melihat dan belajar, kenyataan hidup para orang tua, dengan anak mereka yang difabel.
Para orang tua, tidak semuanya memiliki latar belakang lulus dari PLB. Dan mereka tak harus sekolah dulu, untuk membesarkan, mengasuh, merawat, juga mengajarkan hidup dan kehidupan, kepada anak mereka yang difabel. Mereka selalu memiliki cara dan menemukan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi. Meski tanpa ijasah sarjana pendidikan luar biasa, tak sedikit orang tua yang mampu mengantarkan anak-anak mereka, hingga ke jenjang pendidikan sarjana. Bahkan sebagian dari mereka, anak-anaknya mampu hidup mandiri. Berguna bagi sesama, manusia dan lingkungan sekitarnya.
Di sisi lain kehidupan, anak-anak difabel tak jarang menjadi korban kekerasan fisik. Anak-anak difabel juga rentan dengan berbagai bentuk eksploitasi. Tak dipungkiri, ujungnya anak-anak difabel rentan mendapatkan stigma, bullying atau ejekan.
Secara umum, anak-anak difabel rentan pula terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, yang dilakukan oleh orang atau keluarga dekat. Beberapa kasus dijumpai, anak-anak difabel ini menjadi korban incest (perkawinan sedarah), oleh bapak atau kakaknya sendiri.
Perlindungan khusus
Memperlakukan secara manusiawi difabel sesuai dengan martabat dan hak anak, tertuang dalam pasal 70 RPP PKA. Di antaranya: satu, pemenuhan hak anak difabel; dua, perlindungan dari kekerasan; tiga, penghormatan atas integritas dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, dan empat, perawatan dan pengasuhan oleh keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal.
Adapun perlakukan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu tertuang dalam RPP 72 RPP PKA. Pertama, perlakuan non diskriminatif, dua, pelibatan anak difabel, tiga, pemberian akses anak difabel untuk mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimiliki.
Sedang kebutuhan khusus, berada dalam Pasal 71 RPP PKA. Aksesibilitas fisik dan non fisik, pemberian layanan yang dibutuhkan termasuk obat-obatan yang melekat pada anak difabel. Perlindungan khusus pada pasal 73 RPP PPKA mengatur, habilitasi dan rehabilitasi, serta penyediaan akomodasi yang layak bagi anak difabel sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan[].
Penulis: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief