Views: 28
*Artikel ini mengandung konten bunuh diri. Kebijaksanaan pembaca disarankan. Apabila Anda dalam kondisi depresi atau memiliki kecenderungan bunuh diri, segera menghubungi layanan kesehatan jiwa terdekat. Atau hubungi layanan LISA, WhatsApp dalam bahasa Indonesia 08113855472, dalam Bahasa Inggris 08113815472
Solidernews.com – World Health Organization (WHO) pernah menyatakan bahwa kesehatan mental termasuk yang dihadapi oleh remaja, secara langsung memengaruhi cara berpikir, merasakan dan bertindak. Kesehatan mental ini juga memengaruhi kesehatan fisik. Dalam laporannya, WHO pernah menuliskan bahwa kesehatan mental itu bisa dikatakan sebagai kondisi kesejahteraan yang memungkinkan individu menyadari untuk mengatasi tekanan hidup yang wajar, bekerja secara produktif serta memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Sayangnya, sebagian belahan dunia tahu bahwa kesehatan mental tidak dianggap sama pentingnya dengan kesehatan fisik malah sebaiknya, kesehatan mental, gangguan mental, kesehatan fisik itu diabaikan atau terabaikan.
Di dalam RPJMN 2025-2045 mencantumkan kesehatan mental secara implisit dan sesuai, namun hingga sekarang masyarakat belum menemukan perwujudan itu. Sementara dalam Undang-Undang Kesehatan, Kesehatan Jiwa diatur secara tegas dalam pasal 144 .
Juga ada Perpres yang disitu secara terang-terangan menyatakan bahwa kematian atau sakit fisik akibat bunuh diri tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Yang ditanggung hanya dampak psikologisnya saja.Sebagai catatan, kalau narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) ditanggung Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Lembaga yang dimaksud adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah.
Seperti dikutip pada detik.com , 25 Desember 2023, Direktur Kesehatan Jiwa (Keswa) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Vensya Sitohang mengakui bahwa penyebab bunuh diri kompleks dan multifaktor. Pemikiran bunuh diri merupakan indikasi adanya luka psikologis. Vensya mengatakan Kemenkes kini memang berupaya mengadvokasi bersama pakar maupun organisasi agar ada revisi Perpres terkait BPJS.
“Sampai saat ini tentunya masih berjuang bagaimana meyakinkan bahwa itu bukan dikehendaki seseorang gitu untuk bunuh diri, itu bukan jalan keluarnya seseorang, tapi memang orang yang mencari pertolongan yang memang harus didengar. Mudah-mudahan tentunya ada jalan keluar, ada kesepakatan untuk ini bisa ditanggung oleh pemerintah,” jelas Vensya.
Selain itu, menurutnya, jika nantinya BPJS Kesehatan menanggung perawatan terkait bunuh diri, dampaknya bisa dilakukan pengobatan secepatnya maupun pencegahan sejak dini. Pencatatan kejadian pun bisa sekaligus dilakukan.
Menurut Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 82/2018 yang telah diperbarui lewat Perpres No.64 Tahun 2020 menyebutkan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi: (i) gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol; (j) gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
Alhasil, BPJS Kesehatan hingga saat ini tidak menanggung biaya perawatan yang terkait bunuh diri. Dimintai tanggapan terkait ini, Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Agustian Fardianto membenarkan bahwa perawatan terkait bunuh diri tak ditanggung BPJS Kesehatan hingga sekarang.
“Sampai dengan saat ini, Peraturan Presiden No 82 tahun 2018 mengatur gangguan kesehatan akibat perbuatan menyakiti diri termasuk manfaat pelayanan kesehatan yang tidak dijamin oleh Program JKN,” tulisnya pada pesan singkat.
Kebijakan Politis Negara Berpengaruh Pada Keputusan Klinis Saat Kesehatan Jiwa Rentan.
Tentang perawatan luka-luka fisik yang tidak dikaver oleh BPJS Kesehatan, hanya perawatan psikiatri/psikologis saja yang dikaver, sesuai dengan cakupan dan batasannya yang lagi-lagi ditentukan oleh kebijakan. Itu masih menjadi PR besar bagi isu kesehatan mental.
Sedangkan hotline bunuh diri yang dimiliki pemerintah juga jarang yang berkelanjutan dan tidak responsif ke pelapor. Akhirnya ada upaya-upaya dari NGO dengan keterbatasan dana, itupun juga aktif-tutup-aktif-tutup silih berganti.
Demikian dikatakan Benny Siauw atau biasa dipanggil Benny Prawira, menyikapi aksi demo lawan revisi Undang-Undang Pilkada, di akun medsos Instagramnya. Menurutnya, masyarakat yang kena masalah kesehatan jiwa gara-gara masalah sosial, tetapi masyarakat pula yang harus “berdaya dan bertanggung jawab” untuk mencari solusi.
Menurut Benny, kita (masyarakat, red) memang perlu kesehatan jiwa di level individu untuk melihat jernih dan mendalam situasi di sekitar, serta membuat keputusan-keputusan dalam situasi-situasi pelik. Tetapi jika membahas kesehatan jiwa hanya sebatas masalah mindset, selflove, resiliensi, kepribadian, innerchild, trauma kanak-kanak tidaklah cukup.
Masyarakat perlu membicarakan bagaimana (dan bukan cuma health system) dapat mendukung pemulihan sekaligus melakuan pencegahan yang efektif dan berkelanjutan. Saat ini, yang terjadi adalah kebijakan yang tidak berpihak pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat untuk dapat mengelola kesehatan jiwa dengan seoptimal mungkin.
Kebijakan politis negara bisa berpengaruh bukan hanya pada kondisi sehat-sakit, tetapi juga termasuk keputusan-keputusan klinis yang diperlukan saat kondisi kesehatan jiwa lagi rentan dan terpuruk. Ini bisa dikatakan sebagai Clinicalls Political.
“Jadi siapa yang bilang kesehatan jiwa itu tidak politis? Mari tetap lawan agar dapat terciptakan kesehatan jiwa bersama. Lawan, karena mencintai dirimu pun membutuhkan sistem yang adil dan menunjukkan bahwa dirimu berharga dan layak dipenuhi haknya, ” pungkas Benny.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan