Views: 26
Solidernews.com –Diskusi panel lintas sektor yang diselenggarakan secara daring dan luring oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada hari Rabu, 2 Juli 2025 di Jakarta. Bekerjasama dengan UNFPA dan UNWOMEN, forum ini bertujuan memperkuat komitmen kolektif dalam menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Acara ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, dan mitra pembangunan, untuk menyoroti capaian, tantangan, dan strategi ke depan pasca implementasi berbagai regulasi penting seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Dalam paparannya, Maria Ulfah Anshor dari Komnas Perempuan menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. “Tantangan kompleks muncul terutama dalam layanan bagi korban, khususnya di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Keterbatasan SDM dan anggaran mempersempit akses korban terhadap pemulihan yang layak,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya penguatan gerak bersama untuk menjamin perlindungan, pemulihan, dan pencegahan kekerasan secara sistematis dan inklusif.
Sementara itu, Novita dari Forum Pengada Layanan (FPL) memaparkan bagaimana organisasi masyarakat sipil telah berkontribusi aktif dalam pendampingan korban di 87 wilayah di 32 provinsi. Ia menyoroti perlunya penguatan anggaran daerah serta pemantauan implementasi kebijakan. “UU TPKS sudah ada, tapi pemantauan pelaksanaannya harus konsisten. Selain itu, melibatkan korban dalam penyusunan kebijakan adalah keharusan,” katanya.
Dari perspektif difabel, Fatimah Asri dari Komisi Nasional Disabilitas (KND) menekankan pentingnya akomodasi yang layak dalam proses hukum dan pendidikan. Ia mengungkapkan bahwa perempuan difabel sering tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban kekerasan karena minimnya akses terhadap pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). “Kurikulum HKSR harus segera menjangkau SLB dan perempuan disabilitas. Tanpa aksesibilitas dan akomodasi yang layak, partisipasi bermakna tidak akan tercapai,” tegasnya.
Diskusi ini menandai langkah strategis menuju sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, dengan harapan dapat menjadi rujukan praktik baik bagi negara-negara ASEAN. Para peserta juga sepakat bahwa pemantauan dan evaluasi rutin, serta kerjasama multisektor yang inklusif, menjadi kunci utama dalam memastikan keadilan dan perlindungan nyata bagi semua korban kekerasan. Kolaborasi semua pihak bahwa isu penghapusan kekerasan pada perempuan, termasuk perempuan difabel adalah isu bersama. Forum ini kemudian ditindaklanjuti diskusi kelompok hingga Kamis, 3 Juli 2025 guna melengkapi perspektif dari isu terkait.[]
Reporter: Ramadhany Rahmi
Editor : Ajiwan