Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Suasana Diskusi Terkait Kecerdasan Buatan bagi Difabel yang berlangsung di Makassar

Kecerdasan Buatan dan Dampaknya Bagi Kehidupan Difabel

Views: 37

Solidernews.com – Artificial Intelligence (AI) mengalami perkembangan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Di Indonesia, teknologi ini mulai merambah berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan layanan publik sejak awal tahun 2000-an. Pemerintah Indonesia juga telah mendorong implementasi AI melalui peta jalan (roadmap) teknologi nasional yang menekankan pengembangan teknologi berbasis AI untuk meningkatkan daya saing bangsa. Tak hanya pemerintah, masyarakat luas pun mulai memanfaatkan kecerdasan buatan, termasuk komunitas difabel.

Salah satu dampak positif dari kecerdasan buatan terlihat pada kemudahan akses informasi bagi difabel melalui teknologi pengenalan suara (speech recognition) dan pengenalan gerakan (sign language recognition). Teknologi ini sangat membantu difabel netra dan difabel tuli dalam mengakses informasi yang sebelumnya sulit dijangkau. Misalnya, mahasiswa difabel netra yang dulu memerlukan waktu lama, bahkan berhari-hari, hanya untuk meminta bantuan teman membacakan buku pembelajaran, kini dapat mengakses materi tersebut secara mandiri dengan cepat. Hanya bermodal handphone atau laptop dan sebuah aplikasi AI, hambatan tersebut mulai teratasi.

Beberapa aplikasi yang banyak digunakan oleh difabel sensorik di Indonesia antara lain Be My AI (penerjemah gambar ke teks), Google Studio (penerjemah video ke teks), dan AVA (penerjemah suara ke teks). Dalam konteks akses informasi, difabel sensorik—khususnya netra dan tuli—adalah kelompok yang paling rentan. Kehadiran berbagai aplikasi kecerdasan buatan ini sangat membantu menjembatani kendala yang selama ini mereka hadapi.

Meski demikian, para pakar seperti Prof. Sherry Turkle dari MIT mengingatkan bahwa kemajuan AI juga membawa risiko bagi kecerdasan manusia. Dalam beberapa tulisannya, Turkle menyoroti bagaimana ketergantungan pada teknologi dapat mengurangi kemampuan kognitif, kreativitas, dan empati manusia. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan AI dan pengembangan kemampuan intelektual agar tidak terjadi degradasi kecerdasan akibat kecanduan teknologi.

Peringatan tersebut juga disampaikan dalam acara EQUAL: Praktik AI Generatif sebagai Teknologi Asistif yang berlangsung pada Jumat, 23 Mei 2025. Miftah Farid, S.T.P., M.Agb, selaku trainer, menjelaskan bahwa teknologi AI seperti Microsoft Copilot memang sangat membantu difabel, terutama mahasiswa difabel yang sering menghadapi hambatan dalam mengerjakan tugas tertentu. Contohnya, mahasiswa difabel netra yang kesulitan mengerjakan tugas berformat poster secara mandiri, atau difabel tuli yang sulit menyelesaikan tugas berupa artikel panjang. Dalam kesempatan tersebut, Miftah dan tim memberikan pelatihan penggunaan Microsoft Copilot agar hasil pengerjaan menjadi lebih optimal.

Namun, sebagai teknologi ciptaan manusia, AI tetap memiliki keterbatasan. Salah satu kelemahannya adalah ketidakmampuan AI untuk memberikan rasa atau sentuhan personal dalam karya-karyanya. Meskipun dapat meniru karya manusia, AI masih terbatas dalam merespon kebutuhan pengguna, khususnya difabel tuli.

Miki, seorang mahasiswa difabel tuli dari Departemen Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, mengungkapkan pengalamannya yang seringkali tidak memahami umpan balik dari AI. Budaya bahasa yang khas dalam komunitas tuli tampaknya belum dapat dijangkau oleh kecerdasan buatan.

“Misalnya, saat saya meminta AI untuk menjelaskan ulang tugas yang diberikan dosen, saya sering tidak mengerti. Kalau saya minta AI untuk mengerjakan saja, dosen akan meminta ulang tugas karena katanya salah. Tapi saya tetap tidak paham salahnya di mana dan maksud AI apa,” jelas Miki.

Pengalaman Miki sejalan dengan pernyataan Dr. Fei-Fei Li, pionir dalam bidang AI, yang menegaskan bahwa AI seharusnya menjadi alat pendukung untuk memperkaya kemampuan manusia, bukan pengganti. Dalam konteks difabel, AI dapat memperluas akses dan peluang, namun tetap membutuhkan keterlibatan manusia agar teknologi ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat difabel.

Rino, difabel netra dan pengguna AI, juga mengomentari hal serupa dalam wawancara bersama Solidernews pada 24 Mei 2025. Menurutnya, meski AI dapat mengumpulkan banyak pengetahuan, kemampuan AI dalam memahami kebutuhan spesifik difabel masih terbatas.

“Sebenarnya kita bisa memberi tahu AI, misalnya saya difabel netra yang ingin belajar bahasa komputer dan perlu penjelasan yang kompatibel dengan pembaca layar. AI akan menjelaskan dengan rinci, tapi tetap belum sebaik pendamping manusia. Saya rasa teman-teman tuli juga merasakan hal serupa, karena mereka punya susunan kata yang berbeda, kadang tidak mengikuti pola subjek-objek-predikat. Itu yang belum berhasil dipecahkan AI,” ujarnya.

Sebagai langkah strategis, Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan Bersama Berdaya mengadakan pelatihan penggunaan AI bagi mahasiswa difabel di ruang LPMPP Universitas Hasanuddin pada 24 Mei 2025. Ada catatan seperti ketidak aksesibelan dalam penyampaian materi, misalnya seperti trainer yang hanya menyebut simbol tanpa memahami cara berbeda difabel pengguna pembaca layar dalam mengoprasikan handphone dan laptop. Tetapi secara keseluruhan, pelatihan ini membantu para mahasiswa difabel untuk mendapat gambaran mengenai tata cara penggunaan kecerdasan buatan yang lebih efektif. Selain itu, pelatihan ini juga diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Muslim Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, ditemukan kesimpulan bahwa meski AI membuka peluang baru dalam mengatasi hambatan belajar difabel, kenyataannya teknologi ini belum sepenuhnya menjawab kompleksitas kebutuhan difabel itu sendiri. Tawaran solusi instan dari AI dapat menjadi pedang bermata dua—memudahkan sekaligus berpotensi mengikis kemampuan mandiri dan pemahaman kritis pengguna. Oleh karena itu, pemanfaatan AI harus diiringi dengan pendekatan humanis yang melibatkan pendampingan, pengembangan literasi digital, dan evaluasi berkelanjutan agar teknologi benar-benar memberdayakan difabel tanpa mengorbankan kualitas pembelajaran dan kemandirian difabel. Transformasi digital ini bukan sekadar soal alat, melainkan tentang menciptakan ekosistem inklusif yang menghormati keragaman dan mendorong kemajuan bersama.[]

 

Reporter: Nabila

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content