Views: 5
Solider.id – Media sosial merupakan sebuah platform digital dengan layanan fasilitas kepada pengguna dalam melakukan aktivitas mereka. Seperti untuk komunikasi atau interaksi jarak jauh, berbagi informasi atau membuat konten berupa tulisan, foto maupun video.
Sebagai pengembangan dari internet, ragam aktivitas dan informasi di media sosial dapat dibagikan secara terbuka hingga 24 jam. Melalui media sosial memungkinkan semua orang dapat terhubung, berinteraksi, memproduksi dan membagi pesan. Mereka dapat terhubung baik secara individu maupun kelompok seperti organisasi.
Saat ini media sosial digunakan orang banyak. Pun demikian masyarakat difabel dengan ragam kedifabelan mereka. Media sosial sudah menjadi kebutuhan dengan berbagai fungsi serta manfaatnya. Tuntutan konten yang inklusif terus menjamur seiring pesatnya pengguna dari masyarakat difabel.
“Dalam membuat konten yang aksesibel sangat perlu perencanaan, agar konten yang dihasilkan dapat diakses semua ragam kedifabelan, seperti hambatan sensorik, fisik, intelektual, bahkan mental. Terutama pada konten-konten yang bersifat informasi. Seperti menentukan tujuan komunikasi dan pesan kunci untuk komunikasi dan perubahan perilaku,” papar Syafiq Pontoh, SocMed Analyst Expert, dalam lokakarya pembuatan konten kolaborasi media sosial yang aksesibel untuk ragam difabel untuk mendukung komunikasi risiko terkait covid-19 dan one healt (15 – 17 Mei 2023) yang digagas AHISP di Yogyakarta.
Konten media yang aksesibel masih minim
Salah satu hak mereka untuk mendapat akses informasi yang aksesibel sudah tertuang dalam kebijakan pemerintah seperti dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Namun tidak dapat dipungkiri, konten media sosial yang inklusif, yang dapat diakses oleh ragam difabel masih sangat terbatas. Termasuk konten-konten bersifat informasi yang produksi oleh pemerintah.
Seperti yang disampaikan Desi dari Dinas Sosial DIY, “Dinsos mencoba membuat sebuah konten berupa video yang bercerita tentang keresahan kondisi di wilayah Yogyakarta saat ini, kami sedikit menuangkan teks selain narasi, namun sepertinya video ini masih butuh akses lain agar dapat dipahami ragam difabel, kami minta koreksinya,” ungkap ia.
Dari contoh video tersebut menunjukan dari sisi gambar yang terlihat diburamkan masih kurang akses untuk pembisik menarasikan kepada difabel Netra, selain itu narasi ketika video tanpa teks dan audio pun tidak bisa diikuti difabel Netra. Pun demikan juga dengan difabel Tuli, kelengkapan teks sangat dibutuhkan, bahasa yang sederhana akan lebih mudah mereka pahami. Usulan lain, akses Juru Bahasa Isyarat (JBI) tetap dibutuhkan.
“Akses bahasa isyarat tetap ditampilkan. Teman Tuli dapat memilih mau mengikuti tulisannya atau JBI nya. Tidak semua teman Tuli paham tulisan, akses bahasa isyarat yang mereka pilih. Dan yang belum bisa bahasa isyarat, akses teks yang dibutuhkan. Mereka yang jadi Tuli setelah dewasa yang paham tulisan tapi belum belajar bahasa isyarat,” tutur Dwi Rahayu, Gerkatin Sleman dalam bahasa isyarat yang diungkapkan oleh JBI.
Konten-konten inklusif butuh diproduksi secara masive, baik konten milik pemerintah maupun pribadi dengan berkolaborasi bersama individu difabel atau organisasi difabel. Tujuannya agar akses informasi dapat tersampaikan dengan baik dan dipahami masyarakat difabel.
Demikian juga sebaliknya, individu difabel mulai membuat konten di media sosial. Seperti yang dilakukan Rizki dari organisasi OHANA yang kerap membagikan aktivitasnya dengan bahasa isyarat. Ia salah satu konten kreator difabel Tuli yang aktif menggunakan media sosial. Dalam kontennya, Rizki juga membubuhkan tulisan yang menjelaskan isi kontennya sehingga dapat dimengerti semua orang.
Manfaat media sosial
Media sosial dapat digunakan sebagai sarana belajar untuk dalam hal mendengarkan dan menyampaikan.
Dengan media sosial masyarakat dapat mencari ragam informasi, data, hingga isu-isu yang sedang hangat menjadi perbincangan. Masyarakat juga dapat membagian informasi atau ingin disampaikan kepada publik.
Masih sangat dibutuhkan media sosial yang dapat diakses oleh semua pengguna, termasuk difabel dengan ragam kedifabelannya. Dalam kontek manfaat mendengarkan dan menyampaikan, butuh aksesibilitas bagi masyarakat difabel dengan hambatan sensorik, baik pendengaran (Tuli) atau penglihatan (Netra).
Bagaimana agar difabel Tuli juga Netra dapat memahami isi pesan yang ada di media sosial tersebut? Atau bagaimana mereka jika ingin membagikan informasi pada masyarakat umum?
Contoh konten media sosial yang aksesibel untuk difabel hambatan sensorik, misal dengan menambahkan audio, narasi, teks, hingga bahasa isyarat sebagai alat komunikasi difabel Tuli. Aksesibilitas ini dapat juga diberikan alternatif pilihan sesuai kebutuhan pengguna lain, apakah akan digunakan atau tidak. Dengan demikian, konten tersebut dapat dipahami semua orang dan bersifat inklusif.
Pun demikian sebaliknya, difabel hambatan sensorik dapat membagikan informasi yang dapat dipahami masyarakat nondifabel. Seperti membuat konten dengan bahasa isyarat yang dilengkapi tulisan, atau menggunakan audio yang dilengkapi video.
Manfaat lainnya adalah sebagai sarana dokumentasi, administrasi, integrasi dan marketing.
Konten-konten berupa tulisan, foto maupun video yang dibuat dapat disimpan dan dikumpulkan, baik menggunakan penamaan pribadi maupun organisasi. Dokumentasi ini dapat dibuka kembali kapan pun diperlukan.
Manfaat dalam marketing, sebagai sarana perencanaan, stategi, manajemen, kontrol, evaluasi hingga pengukuran. Manfaat ini dapat dirasakan oleh mereka yang menggunakan media sosial sebagai tempat usaha, atau toko online.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan