Views: 198
Solidernews.com – Akhir-akhir ini isu kesehatan jiwa banyak sekali diangkat dalam tema-tema film termasuk film Indonesia. Selain menjadi tema utama, juga tema pendukung seperti di film Just Mom, Kukira Kau Rumah dan terakhir adalah Budi Pekerti.
Seperti karakter Pak Didit, seorang suami dan ayah bipolar yang diperankan oleh aktor Dwi Sasono yang memiliki riwayat depresi, dan mengaku tak terbebani. Dalam sebuah wawancara media, ia mengungkapkan, riwayatnya yang pernah mengidap depresi membuatnya mudah memerankan karakter tersebut.
Bipolar merupakan masalah kesehatan mental yang berhubungan dengan berubahnya suasana hati, mulai dari keadaan dalam posisi terendah (depresi) hingga ke tertinggi (manik).
Lantas apa yang akan kita soroti dalam hal ini karakter Pak Didit di film Budi Pekerti? Nah, coba ditonton baik-baik ya. Di film ini ada support atau dukungan keluarga yang besar bagi seorang bipolar. Dukungan yang datang dari istri dan anak-anaknya.
Dikutip dari situs hallodoc, perawatan paling baik untuk pengidap gangguan bipolar adalah terapi adalah menjalani terapi dengan dukungan keluarga menjadi cara ampuh untuk mengurangi gejala gangguan bipolar pada pengidap. Tetap berkomunikasi dengan pengidap gangguan bipolar agar bisa merasakan apa yang ia rasakan selama terapi. Sebaiknya, berpartisipasi dan berkomunikasi langsung dengan terapis mengenai kemajuan yang dialami orang dengan bipolar tersebut. Dan akan semakin memahami gejala-gejala sehingga bisa mengantisipasinya.
Berlatar belakang pekerjaan yang berganti-ganti. Dari penyewaan otoped lalu oleh karena pandemi berimbas sepinya konsumen lantas ada pemikiran untuk membuka usaha ternak ikan yang semuanya menggunakan modal sang istri yang berprofesi sebagai guru di sekolah swasta. Bu Prani, istri Pak Didit yang menjadi korban cyber bullying di tengah-tengah kontroversi problem yang dialaminya masih memikirkan kebutuhan hidup sang suami. Ia selama ini tak hanya mengupayakan modal usaha untuk Pak Didit. Tetapi juga membiayai pengobatan yang dijalaninya.
Pada gambar tidak ada penjelasan mengapa ia tidak menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan padahal untuk pengobatan bipolar dan penyakit gangguan jiwa lainnya biaya ditanggung oleh BPS. Bu Prani memilih pengobatan mandiri dengan memakai biaya sendiri. Biaya pengobatan secara mandiri yang tentunya sangat menguras gajinya sebagai kandidat wakil kepala sekolah.
Perspektif dan sensitivitas penulis skenario dan sutradara film terhadap perilaku sehari-hari seorang bipolar pasti sudah dipelajari sebelumnya. Terbukti dengan gambar-gambar yang muncul dan diperlihatkan. Suasana murung dan kondisi rumah yang bisa dikatakan ‘berantakan’ alias tidak tertata dengan baik. Meski tidak mencerminkan keadaan yang selalu konstan tapi penggambaran tersebut bisa menjadi penghubung atas keterikatan emosional penonton terhadap kerentanan kejiwaan.
Lantas bagaimana sikap setiap anggota keluarga Pak Didit dan Bu Prani ini sebenarnya sangat memperhatikan detail gejala-gejala yang diperlihatkan oleh suami dan ayah mereka ; Memaklumi kondisi/fase tidur yang lama. Juga mengingat betapa si ayah suka memasak_dan masakannya sangat dinikmati oleh mereka sekeluarga_ dalam kondisi yang stabil atau mungkin sedang manik? Serta sebuah adegan clue/kunci saat Bu Prani mendapati botol obat Pak Didit habis (obatnya terminum) yang artinya ia dalam keadaan pulih ketika pergi dari rumah dalam beberapa waktu.
Hal-hal kecil dan detail ini amat sulit tetapi sangat diperhatikan oleh sutradara. Sehingga bisa menjadi penghubung cerita dan berlogika. Bahwa seseorang dengan bipolar itu mampu menjadi problem solving atau pemecah masalah dalam keluarganya. Intinya, Pak Didit seorang dengan bipolar mampu berperan sebagai pemimpin keluarga. Kerja sama dengan anak dan istrinya sangat berarti. Saat itu problematika yang dhadapi mereka adalah tatkala Bu Prani harus bertemu dengan Gora, mantan anak didiknya untuk membuktikan dalam sebuah ‘persidangan’ yang harus dihadapinya di hadapan dewan yayasan sekolah.
Kepekaan Bu Prani dan keluarganya terhadap kondisi bipolar yang diidap oleh Pak Didit semakin nyata ditunjukkan melalui ending atau adegan akhiran di film ini. Untuk meraih derajat kesehatan mental, mereka sekeluarga memilih pindah rumah di lingkungan yang baru. Yang jelas bukan di perkotaan, ditunjukkan dengan latar belakang perbukitan. Mereka akan tinggal di perdesaan dan meninggalkan hiruk-pikuk kota serta wahana teknologi yang selama ini telah membelenggu kehidupan mereka dengan meninggalkan berbagai alat shooting yang biasanya untuk membikin konten media sosial.
Berkat kepiawaiannya dalam berakting memerankan Pak Didit di film Budi Pekerti, Dwi Sasono berhasil menyabet nominasi “Pemeran Pendukung Pria Terbaik” pada ajang Festival Film Indonesia 2023. Sedangkan pada Sha Ine Febriyant menggondol Piala Citra sebagai “Pemeran Utama Wanita Terbaik” serta piala Citra untuk Prilly Latuconsina sebagai “Pemeran Pendukung Wanita.”[]
Penulis : Astuti
Editor : Ajiwan