Views: 6
Solidernews.com – Masih banyak kampus di Bali yang belum siap dan belum memahami bagaimana menerima mahasiswa difabel netra. Kalimat itu bukan sekadar keluhan, tapi menjadi pembuka diskusi dalam Talkshow Kampus Inklusi yang digelar oleh Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Tunanetra Indonesia (DPD Pertuni) Provinsi Bali pada Kamis (26/6), bertempat di Kampus Universitas Hindu Indonesia (UNHI), Denpasar.
Talkshow ini merupakan bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun ke-50 Pertuni, dengan tema “Membangun Kemandirian dan Inklusivitas bagi Disabilitas Netra di Era Modern dalam Dunia Pendidikan.” Forum ini menjadi momen penting untuk menyuarakan kebutuhan dan hak-hak difabel netra dalam akses pendidikan tinggi, khususnya di wilayah Bali.
Tiga narasumber yang hadir antara lain: Pande Putu Suryadinata perwakilan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) wilayah VIII, I Gusti Ngurah Putu Harisandy (anggota Pertuni Bali dan guru SLB), serta Ketut Merdana Sugiarta (dosen UNHI).
Ketua DPD Pertuni Bali, I Gede Winaya, menjelaskan bahwa dari sekitar 500 anggota Pertuni di Bali, hanya sedikit yang berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Penyebab utamanya adalah minimnya kampus di Bali yang benar-benar siap menerima mahasiswa difabel netra, baik secara fasilitas, pemahaman, maupun kebijakan.
“Kami bersyukur bisa menghadirkan perwakilan dari 51 kampus di Bali. Ini bukan akhir, tapi justru awal untuk terus mengedukasi dan mendorong agar pendidikan inklusif betul-betul diwujudkan,” ujarnya kepada solidernews.
UNHI, sebagai tuan rumah acara, menyampaikan komitmennya dalam memperluas akses pendidikan bagi dfabel. Dalam dua periode terakhir, mereka telah meluluskan mahasiswa difabel fisik dan netra dari jurusan seni rupa dan agama Hindu.
“Ini bukti nyata. Teman-teman disabilitas bukan tidak bisa, mereka hanya belum diberi kesempatan yang setara,” ujar perwakilan kampus.
Senada dengan itu, perwakilan dari LLDIKTI Wilayah VIII menekankan pentingnya momentum ini untuk memperkuat tekad semua perguruan tinggi agar memberikan hak pendidikan bagi semua warga negara, tanpa kecuali.
Ketua panitia talkshow, Ida Bagus Surya Manuaba, menambahkan bahwa sebagian besar kampus di Bali belum memiliki unit layanan disabilitas, dan banyak dosen maupun mahasiswa masih belum memahami apa itu pendidikan inklusif.
“Lewat kegiatan ini, kami ingin berbagi pemahaman tentang cara mengajar tunanetra, membongkar stigma yang masih melekat, dan mengenalkan teknologi bantu yang bisa digunakan selama kuliah,” kata Gus Surya.
Ia juga menyebut bahwa kegiatan ini dirancang sebagai ruang belajar bagi para pendidik dan mahasiswa yang memiliki perhatian pada isu aksesibilitas di pendidikan tinggi.
Rangkaian HUT ke-50 Pertuni Bali tak hanya berhenti di talkshow. Ada juga rally tongkat putih di area Car Free Day dan lomba video di TikTok yang menampilkan kreativitas anggota Pertuni.
“Melalui media sosial, kami ingin menunjukkan bahwa tunanetra bisa berkarya, bisa eksis. Kami bukan objek belas kasihan. Kami subjek yang ingin didengar,” tegas Gus Surya.
Puncak acara nantinya akan menampilkan pertunjukan dari para anggota tunanetra, menandai setengah abad perjalanan Pertuni dengan semangat keberdayaan.
Di akhir acara, pesan penting kembali ditegaskan: inklusi bukan berarti memberi ruang ‘karena kasihan’, melainkan menghormati hak dan potensi setiap manusia.
“Kami ingin pendidikan tinggi tidak lagi menilai kami dari keterbatasan. Berilah ruang yang sama, karena ketika semua orang punya akses yang adil, maka masyarakat kita akan semakin kuat, bukan hanya untuk disabilitas tapi untuk semua,” pungkas Gus Surya.[]
Reporter: Harisandy
Editor : Ajiwan