Views: 12
Solidernews.com – “Film Joker lebih menonjolkan sejarah dan latar belakang Joker itu sendiri. Dibuka dengan adegan Arthur Fleck yang diperankan oleh Joaquin Phoenix yang hidup di apartemen sederhana dan terkesan kumuh, saat Kota Gotham diserang oleh tikus-tikus berukuran besar. Kota Gotham yang digambarkan dengan banyaknya kaum miskin dibanding kaya. Kota yang melalui dinas kesehatan tidak lagi bisa menyediakan obat-obatan bagi Orang Dengan Skizofrenia (ODS) seperti Arthur Fleck. Dia mengalami mental ilness sejak kecil. Memiliki penyakit kelainan syaraf mendadak tertawa dan tidak bisa dihentikan. Pun tatkala pada adegan dia di dalam sebuah bus reyot angkutan kota Gotham. Berbekal di saku baju secarik kertas sebagai penanda yang dia sodorkan kepada orang yang menatapnya heran. Kertas yang menyatakan bahwa dia memiliki kelainan suka tertawa terbahak.
Dalam sebuah kutipan, Joaquin Phoenix mengakui bahwa ia telah belajar banyak dari orang-orang yang mengalami gangguan tawa patologis, penyakit mental yang membuat mimik wajah tak terkendali. Tawa patologis merupakan salah satu bentuk mental ilness pseudobulbar affect (PBA). Kondisi ini disebabkan karena kerusakan korteks prefontal pada otak yang mengendalikan emosi, dan adanya perubahaan kimia cairan otak.
Arthur Fleck yang kerap dipanggil ‘Happy” oleh ibunya adalah seseorang yang penyayang. Ia bercita-cita menjadi pelawak tunggal, atau stand-up-comedian. Dengan alur dan plot yang lambat digambarkan di awal, bahwa ia yang baru saja memiliki sepucuk pistol dan ketika berada di dalam kereta dan berhadapan dengan tiga orang kaya (kebetulan mereka karyawan Wall Street) yang tengah mengganggu seorang perempuan dengan ejekan-ejekan tak senonoh, lalu tertawalah Arthur Fleck, yang membuat ketiga orang tersebut mengeroyok, memukuli, menginjak-injak tubuh Arthur yang berkostum badut. Kemudian bisa diduga, pistol menyalak berkali-kali menerjang ketiga laki-laki tersebut. Peristiwa yang terjadi di stasiun bawah kemudian menjadi topik berita utama di koran-koran Botham,” di atas adalah cuplikan resensi atas film Joker pertama yang diperankan oleh Joaquin Phoenix yang pernah saya tulis untuk web solider. Mengapa saya kutip? sebab bisa sebagai penghubung dengan film keduanya, Joker: Folie à Deux.
Arthur Fleck, karakter yang sukses memikat perhatian dunia sejak film pertamanya dirilis pada 2019. Dalam sekuel kedua ini, penonton diajak untuk menyelami lebih dalam kehidupan Arthur di rumah sakit jiwa, di mana ia bertemu dengan sosok Harleen Quinzel yang penuh misteri dan diperankan oleh Lady Gaga.
Film yang kembali dibintangi Joaquin Phoenix ini menghadirkan pengalaman emosional yang intens dengan latar belakang dunia yang kacau, membuatnya semakin mendalam dan kompleks.
Adegan dimulai pada tahun 1983, ketika Arthur ditahan di Arkham, sebuah rumah sakit jiwa, dengan gambaran nan kelam, karena kejahatan yang dilakukannya dua tahun sebelumnya.
Maryanne Stewart, sang pengacara berusaha membuktikan bahwa kepribadian “Joker” yang dimiliki oleh Arthur adalah akibat dari gangguan identitas disosiatif, sehingga ia tidak bisa sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.
Selama sesi terapi musik di rumah sakit, Arthur bertemu dengan Harleen atau dipanggil “Lee”, yang mengaku memiliki masa lalu mirip dengannya, mempunyai sosok ayah yang kasar, mengalami kecelakaan mobil yang tragis, dan kejahatan yang membuatnya dipenjara. Padahal karakter itu hanya isapan jempol “Lee” saja karena sebenarnya ia anak orang kaya dan terhormat. Demi bisa mendekati Joker, ia rela berbohong. Harleen bahkan mengungkapkan kekagumannya terhadap Joker.
Tak lama setelah pertemuan mereka, Harleen mencoba membantu Arthur melarikan diri, namun keduanya gagal. Arthur akhirnya dipindahkan ke sel isolasi, sementara Harleen dibebaskan. Meskipun demikian, Harleen berjanji akan hadir di persidangan Arthur. Seiring waktu, hubungan mereka semakin mendalam, dan Arthur mulai merasakan keterikatan emosional terhadap Harleen.
Ketika Harleen mengakui bahwa dia telah berbohong pada Arthur dan tidak pernah melakukan kejahatan seperti yang pernah diceritakannya serta kehamilannya hanyalah kebohongan, hubungan mereka pun memburuk.
Pada akhirnya, Arthur dihadapkan pada persidangan di mana ia memecat pengacaranya dan mengangkat dirinya sendiri sebagai pengacara atas dirinya. Setelah berbagai kejadian, ia dinyatakan bersalah atas pembunuhan tingkat pertama. Dalam kekacauan yang terjadi setelah persidangan, Arthur berhasil melarikan diri dengan bantuan para pengikutnya, namun hubungannya dengan Harleen berakhir tragis.
Yang istimewa dalam film kedua Joker ini adalah sajian musikal yang kental dengan penampilan 15 lagu hingga nyaris tanpa jeda. Serta sosok Joker yang lebih kalem, tanpa banyak bicara, tidak banyak tergambar “tindakan ganjil”-nya. Sisi humanis yang ditampilkan oleh seorang dengan skizofrenia, bahwa ia bahkan tidak pernah menyakiti anak kecil tetangganya, kala seorang ibu muda bersaksi, juga seorang temannya di komunitas sirkus bersaksi Arthur tidak pernah berbuat jahat kepadanya, bahkan melindungi.
Menariknya lagi, dalam tangkapan layar penulis, ada sebuah adegan satir serupa sindiran atau mungkin menggugah stigma obat (tentu obat generasi yang lalu), saat keduanya hendak berolah asmara, ketika Joker menunjukkan hasrat seksualnya, Harleen berkata,”jadi kamu telah berhenti minum obat?” ah, entahlah, apakah benar anggapan bahwa obat psikiatri berpengaruh dengan libido. Atau ini hanya sangkaan penulis saja.
Dalam akun resmi Instagram Warner Bros Indonesia, ditayangkan potongan video pendek pemeran Joker, Phoenix, yang memberikan statemen bahwa pada pertengahan shoting film pertama, ia dan Todd (sutradara) memikirkan seperti apa nanti kalau bikin film lagi,
“Aku dan Joaquin berdiskusi bahwa kami ingin menyelami musik Arthur,” kata Todd. “Kami pikir itu titik awal yang logis,”sambungnya.
Gaga pun bertutur, “Dan begitulah Arthur menjadi Joker itu adalah ekspresi hal-hal yang tidak bisa diutarakan.”
Todd menyambung lagi, bahwa musik bagian penting dari film pertama dan perkembangan dalam beberapa aspek dan karakternya.
Gaga kembali berkomentar jika Joaquin sangat bebas dan eksperimental yang diiyakan oleh Joaquin bahwa mereka selalu mencari cara bagaimana karakter ini mengekspresikan mereka.[]
Penulis: Astuti
Editor : Ajiwan