Views: 138
Solidernews.com – Traveling merupakan kegiatan perjalanan fisik secara mandiri atau berkelompok dari tempat satu ke tempat lain. Tujuan dilakukannya traveling adalah untuk liburan, pekerjaan, pengalaman, kuliner, pengembangan diri, pengenalan hal baru, dan sebagainya.
Secara umum, traveling sendiri mudah dilakukan oleh orang awam, tetapi bagaimana dengan difabel? Apalagi difabel netra, mereka akan menghadapi beberapa tantangan internal atau eksternal. Tantangan internal tersebut di antaranya rasa tidak aman, gelisah, khawatir ketika tidak ada yang menolong, dan masalah finansial, sedangkan tantangan eksternalnya adalah tidak mendapat izin dari orang tua, bangunan, jalanan, dan transportasi yang tidak aksesibel, kurangnya kepedulian masyarakat setempat, kurangnya dukungan peraturan undang-undang kepada penyandang disabilitas, dan sebagainya.
Salah satu difabel yang berani menghadapi tantangan tersebut ialah Jessie Wang. Ia adalah difabel netra yang berasal dari Amerika Serikat. Jessie bekerja sebagai interpreter dan konsultan aksesibilitas. Kini, dia sudah melakukan traveling sendiri dari beberapa negara di benua Eropa, Asia, dan Amerika.
Jessie membagikan alasannya traveling sendiri ke luar negeri kepada wartawan Solidernews.
“Saya selalu memiliki keinginan untuk bepergian ke berbagai belahan dunia untuk merasakan budaya, makanan, dan bahasa lokal sejak usia muda. keterbatasan penglihatanlah yang membuat saya senang mencari teman untuk bepergian, tapi sulit untuk melakukan itu. Jadi, jika saya ingin bepergian, saya tidak punya pilihan lain, selain bepergian sendiri. Tentu saja hal ini mempunyai beberapa tantangan. Beberapa tahun terakhir saya telah menggunakan berbagai aplikasi dan platform seperti grup Facebook untuk mencari teman perjalanan sehingga saya dapat berpartisipasi dalam acara dengan harapan bisa bertemu orang baru. Kadang-kadang saya menemukan orang-orang baik dan kadang-kadang tidak, dan itulah hidup,” katanya.
Ketika ditanya oleh wartawan Solidernews tentang apa manfaat traveling sampai berani pergi sendiri, dia menyatakan bahwa traveling meningkatkan kepuasan dan kebahagiaan. selain itu, dia belajar pengalaman baru.
“Traveling mengajarkan saya untuk mengenal beberapa negara dan orang baru,” kata Jessie. Dia menambahkan, “Saya masih mencoba belajar bagaimana melakukan sesuatu di negara Kosta Rika. Selalu ada skala pembelajaran baru setiap kali saya pergi ke negara baru. Beberapa tempat membutuhkan waktu lebih singkat dan ada juga yang membutuhkan waktu lebih lama, tergantung pada dukungan yang saya terima dari masyarakat setempat,” katanya.
Manfaat tersebut didukung dengan artikel neuronup bahwa traveling adalah terapi pengembangan diri bagi difabel, seperti meningkatkan keterampilan sosial, komunikasi, dan rasa percaya diri.
Kutipan artikel tersebut sejalan dengan pernyataan José Manuel Moltó, direktur komunitas Neurologi dari negara Spanyol bahwa traveling dapat menstimulus otak untuk berpikir keras mencari solusi sehingga dapat meningkatkan kemampuan penyandang disabilitas dalam memecahkan masalah dan manajemen diri.
Ketika ditanya tantangan traveling, katanya tidak semua negara-negara maju di benua Eropa dan Amerika memiliki infrastruktur yang dapat diakses oleh difabel.
“Masih banyak negara yang belum memiliki infrastruktur lebih baik termasuk negara-negara Eropa. Anda mungkin terkejut. Cukup banyak negara Eropa yang masih mengoperasikan trem dan jalur tremnya agak berbahaya jika dilihat dari desainnya. Khususnya di Warsawa, Polandia. Mereka mempunyai begitu banyak jalur dan begitu banyak stasiun. Bahkan jika menggunakan sinyal suara untuk menyeberang jalan, itu sangat berbahaya. Sayangnya, tidak banyak Uber yang tersedia di wilayah yang lain karena kurangnya sistem alamat. Selanjutnya, trotoarnya juga sangat sempit di desa tempat saya traveling di Kosta Rika, Amerika. Namun, di kota-kota besar, seperti di Palmares atau di San Ramon, trotoarnya lebih lebar dan datar. Sementara itu, secara umum, kondisi jalan raya kurang bersahabat karena cuaca dan aktivitas gunung berapi di negara Kosta Rika ini. Oleh sebab itu, saya lebih memilih menggunakan taxi,” katanya.
Dia melanjutkan tantangan kedua traveling adalah bahasa. Tidak semua orang dapat berbahasa Inggris di beberapa negara di benua Eropa dan Amerika.
“Saya bertemu banyak orang yang tidak bisa berbahasa Inggris di benua Eropa, seperti Polandia dan Spanyol. Saya telah belajar bahasa Spanyol selama bertahun-tahun. Jadi saya bisa melakukannya dengan cukup baik selama orang-orang memperlambat kecepatan berbicaranya. Salah satu tujuan utama saya adalah menyempurnakan bahasa Spanyol suatu hari nanti dengan tinggal di negara-negara berbahasa Spanyol,” katanya.
Dia juga menambahkan bahwa semenjak dia tiba di negara Kosta Rika, dia belajar banyak kosa kata baru khususnya bahasa Spanyol.
Setelah itu, dia juga membagikan beberapa tips traveling sendiri. salah satu tipsnya adalah menggunakan aplikasi Google Maps dan Aira.
“Saya sering menggunakan aplikasi Google Maps untuk mencari informasi mengenai toko dan restoran atau aplikasi visual Aira ketika tidak ada orang yang membantu di sekitarku. Terkadang, setiap negara mempunyai aplikasi transportasi online yang berbeda, seperti Bolt yang mungkin harus saya unduh secara terpisah atau menggunakan Google Maps untuk mengetahui rute transitnya. Sayangnya, saya tidak bisa menggunakan Google Maps di semua pulau. Jika tidak, tidak ada aplikasi khusus yang saya gunakan, sungguh.” katanya.
Sementara itu, aplikasi untuk memesan tiket perjalanan, dia menggunakan aplikasi traveling, seperti expedia, kayak, dan hostelworld.com.
Tips selanjutnya adalah menggunakan kartu kredit.
“Di banyak negara Eropa, Anda bahkan tidak perlu menarik uang tunai lagi. Begitu pula di Cina, sekarang masyarakatnya benar-benar tidak punya uang tunai,” katanya.
Wartawan menjadi penasaran, “Lalu bagaimana jika di suatu negara itu masih menggunakan uang tunai dan bagaimana jika ATM di negara itu tidak aksesibel dengan tunanetra?”
“Saya ingat beberapa tahun yang lalu, mesin ATM di Spanyol tidak dapat diakses, jadi saya pergi ke bank dan meminta petugas bank untuk membantuku atau sebelum meninggalkan bandara, terlebih dahulu, saya meminta petugas bandara untuk membantu saya mengambil uang di mesin ATM. Ini hanya akan terjadi jika saya benar-benar harus menggunakan uang tunai di negara tersebut,” jawabnya.
Kemudian tips selanjutnya adalah menjaga diri dari pencopet.
“Apakah kamu pernah mengalami masalah keamanan dan bagaimana cara kamu menjaga diri?” tanya wartawan.
“Secara umum, saya tidak punya banyak masalah dengan keamanan. Sebab, di Portugal sangat aman karena banyak Polisi di sekitar stasiun kereta api dan semacamnya, tetapi berbeda dengan Spanyol, negara ini punya banyak masalah pencopet. Mereka selalu menyarankan untuk tidak membawa tas ransel. Asalkan, jika Anda memakainya di depan. Selain itu, Amerika Latin juga kurang aman, tetapi saya berada di kota kecil sehingga keselamatan tidak terlalu menjadi masalah,” jawabnya.
Di akhir wawancara, Jessie berpesan bahwa tips yang terpenting adalah membangun relasi pertemanan dan menguasai bahasa Inggris dan Spanyol karena kedua bahasa itu yang paling banyak digunakan di dunia. Dengan begitu, traveling sendiri akan lebih lancar.
Itulah kisah Jessie yang menjadi inspirasi bagi banyak orang. Walau Jessie memiliki hambatan penglihatan, dia memiliki semangat hidup yang tinggi. Ini membuktikan bahwa tak ada yang dapat membatasi dirinya untuk traveling ke beberapa negara di benua Eropa, Amerika, dan Asia. Semangatnya yang tinggi memotivasi difabel lain yang ingin traveling ke luar negeri. Apalagi, sekarang mengurus pasport dan visa di Indonesia bagi difabel bisa diurus melalui telepon tanpa harus pergi ke kantor Imigrasi. Let’s dream, believe, and make it happen![]
Reporter: Tri Rizki Wahyu Djari
Editor : Ajiwan