Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Jasa Keuangan Masih Diskriminatif dan Belum Dapat Diakses Difabel Secara Merata

Views: 7

Solidernews.com – Masyarakat difabel Indonesia terus berupaya untuk meraih kesetaraan, penghormatan, dan implementasi Undang-Undang terkait difabel dalam segala aspek yang berpijak pada UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, secara menyeluruh. Namun, berbagai polemik masih ditemui di lapangan. Salah satunya dalam kesetaraan akses pada berbagai produk jasa keuangan. Nyatanya lini ini masih menuai dinamika yang memunculkan kerumitan akses hingga diskriminasi yang masih kerap terjadi.

Mulai UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, POJK Nomor 22 Tahun 2023 yang berfokus pada perlindungan konsumen dan masyarakat, serta beberapa peraturan yang mengakomodir inklusifitas pada jasa keuangan bagi konsumen difabel, seharusnya sudah menjadi penguat legalitas, kemudahan akses, dan terhapusnya diskriminasi dalam ruang jasa keuangan. Namun, nyatanya masyarakat difabel masih menghadapi kerumitan saat mengakses jasa keuangan di sektor Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Perusahaan Asuransi, Pergadaian, dan sejenisnya.

Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, masih memiliki PR untuk dibenahi.

Hanafi, seorang difabel yang memiliki bisnis produk kopi tradisional asal Bima, terapis, akupuntur, dan wirausaha lainnya mengungkapkan pengalaman pribadinya saat akan melakukan peminjaman ke salah satu bank. Ia ingin melakukan peminjaman untuk meningkatkan modal usaha dengan nominal tidak sampai 20 juta ke produk   Kredit Usaha Mikro BRI beberapa bulan lalu. Semua Persyaratan sudah terpenuhi. Namun, saat pihak bank tahu kalau Hanafi adalah seorang difabel netra, komunikasi peminjaman pun terputus. Tidak ada alasan jelas mengapa peminjaman tidak bisa diproses.

“Saat itu saya menghubungi pihak bank via telepon. Saat semua persyaratan yang dibutuhkan sudah saya miliki, entah mengapa pihak bank langsung memutuskan komunikasi saat tahu kalau saya itu difabel netra. Dari kejadian itu, saya tidak dapat meneruskan proses peminjaman di bank tempat saya berdomisili di Bima, Nusa Tenggara Barat,” ungkap Hanafi pada solidernews.com 25 Oktober 2024.

Hanafi merasa heran. Sebab kawannya yang juga difabel yang berdomisili di Jawa Barat dapat melakukan peminjaman dengan produk yang sama. Bahkan dengan nominal lebih besar darinya. Namun, entah mengapa ia begitu sulit mengajukan peminjaman pada cabang bank di tempatnya tinggal.

Dilansir dari artikel yang ditulis Sri Hartanty, Robby Nyong, seorang difabel fisik yang menjalankan usaha jasa sewa tenda, juga menyampaikan pengalamannya yang pernah mencoba mengajukan pinjaman ke sebuah bank. Namun, permohonannya tidak mendapatkan kejelasan bahkan setelah bertahun-tahun. Karena itu ia akhirnya tetap menjalankan bisnis secara perlahan meski dengan modal terbatas.

“Saya memulai usaha sewa tenda ini dari nol. Karena tidak punya modal besar, saya memutar hasil sewa tenda sebagai modal untuk melanjutkan usaha. Uang hasilnya tidak saya ambil, agar bisnis ini bisa terus berjalan, karena keuntungannya cukup lumayan,” jelasnya.

Robby juga memilih untuk menghindari jasa pinjaman online karena khawatir dengan risiko terjebak dalam utang yang bisa membuat bangkrut.

Pada kisah lain, Boniem yang membuka jasa terapis di Godean, Yogyakarta turut membagikan cerita saat ingin membuka rekening pada sebuah bank. Ia mengungkapkan kalau persyaratan yang harus dipenuhi begitu menyulitkan baginya. Selain itu, dirinya tidak diperkenankan untuk memiliki ATM dengan alasan “Demi keamanan nasabah,” seolah pihak bank meragukan dirinya sebagai difabel mandiri.

“bahkan saya harus menyertakan pendamping untuk menemani setiap transaksi saya, mas. Karena begitu rumitnya akses membuka rekening, akhirnya saya tidak jadi membuka rekening di bank tersebut,” tutur Boniem pada wawancara 3 November 2024.

Abdi (nama samaran), seorang wirausaha difabel yang berdomisili di Jakarta Barat juga menuturkan kalau pelayanan ramah difabel itu tidak merata. Ia merasakan sendiri sewaktu ingin membuka rekening di dekat rumahnya, petugas bisa menerima pengajuan pembukaan rekeningnya dengan pelayanan relatif baik dan cepat. Namun, saat ia mencoba bertransakssi di KCP berbeda kecamatan, ternyata pelayanan yang diterimanya tidak sebaik KCP bank di dekat rumah.

“bank-nya itu masih satu perusahaan. Hanya  sesimpel berbeda cabang saja saya merasakan perbedaan pelayanan mas. Ada yang mudah, namun ada juga yang rumit,” tutur Abdi pada wawancara 4 November 2024.

 

Mari Terus Berbenah

Tidak meratanya pelayanan inklusif di setiap KCP Bank, penyedia jasa keuangan membuat peraturan diskriminatif, stereotipe pada konsumen difabel yang dipandang sebagai peminjam atau nasabah yang berisiko tinggi, serta nasabah difabel harus selalu dan wajib didampingi menjadi beberapa hal yang pada akhirnya mendiskriminasi konsumen difabel saat ingin mengakses pelayanan jasa keuangan. Utamanya yang berada di daerah-daerah dalam kategori 3T.

Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 yang berfokus pada perlindungan konsumen dan masyarakat. Peraturan ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan untuk menyediakan layanan yang mendukung inklusi keuangan bagi masyarakat, tidak terkecuali konsumen difabel.

Langkah ini mencakup penyediaan berbagai fasilitas, seperti formulir dalam format braille dan aksesibilitas ramah kursi roda di gedung perkantoran. Selain itu, OJK juga telah menyediakan panduan teknis operasional bagi pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) untuk memastikan konsumen difabel dapat mengakses layanan keuangan secara setara. Hal ini bahkan sudah dirinci dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) untuk Pelayanan Keuangan kepada Penyandang Disabilitas yang resmi di rilis OJK.

Sudah selayaknya kalau inklusifitas dalam produk keuangan, baik perbankan dan sejenisnya tidak hanya mengatakan mereka sudah inklusif. Namun, hal-hal yang sudah ditetapkan pada peraturan yang sah secara hukum juga direalisasikan secara nyata.

OJK selaku badan yang mengawasi soal keuangan yang ada di Indonesia, baiknya selalu melakukan monitoring, evaluasi, dan sosialisasi secara berkelanjutan bagi seluruh unit penyedia jasa keuangan tentang pelayanan terhadap konsumen difabel. Sehingga diskriminasi dan kesulitan akses bagi konsumen difabel dapat diperbaiki.

Dengan komitmen untuk menjalankan undang-undang, peraturan yang berlaku, kolaborasi dengan lembaga/organisasi difabel, serta mau terbuka untuk saling bersinergi, bukan tidak mungkin kalau jasa keuangan dapat diakses seluruh elemen masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sehingga inklusifitas di dunia jasa keuangan tidak lagi jadi jargon semata.[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content