Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Jalur Inklusif yang Menyesatkan: Ketika Guiding Block Hanya Jadi Pajangan

Views: 12

Solidernews.com – Beberapa tahun terakhir, kata aksesibilitas menjelma menjadi jargon populer banyak institusi publik. Mulai dari instansi pemerintah, kampus, rumah sakit, hingga pusat perbelanjaan berlomba-lomba menghadirkan fasilitas fisik yang konon ramah bagi difabel. Salah satu simbol paling sering dijumpai adalah jalur pemandu atau jalur taktil bagi difabel netra  yang dipasang di berbagai area publik.

Namun, apakah benar fasilitas tersebut mencerminkan kepedulian terhadap inklusi? Ataukah sekadar menjadi hiasan semu yang berfungsi sebagai pelengkap administrasi dan alat pencitraan belaka?

Realitas di lapangan sangat sering menunjukkan sebaliknya. Jalur pemandu yang seharusnya memandu langkah difabel netra justru banyak dipasang secara asal-asalan: menabrak tiang, berakhir di dinding, berbelok tajam tanpa arah, bahkan terpotong oleh lubang drainase. Dalam banyak kasus, jalur ini tidak berfungsi sebagai alat bantu navigasi, melainkan menjadi jebakan yang berpotensi mencelakakan.

Salah satu contoh nyata aksesibilitas yang hanya jadi pemanis visual bisa dilihat di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (FIP UNM). Kampus ini tampak sangat progresif dalam hal penyediaan fasilitas aksesibilitas—terlihat dari jalur pemandu yang membentang mulai dari gerbang masuk, menyusuri jalur menuju gedung fakultas, masuk ke koridor kelas, hingga kembali ke gerbang jalan keluar. Secara tampak luar, pembangunan ini seolah-olah menunjukkan bahwa UNM sangat inklusif dan siap menyambut mahasiswa difabel.

Namun kenyataannya jauh dari harapan. Jalur pemandu tersebut tidak dapat digunakan secara fungsional oleh difabel netra.

Menurut observasi yang dilakukan oleh Solidernews pada 7 April 2025, beberapa masalah tersembunyi di balik iming-iming aksesibilitas. Masalah pertama dimulai dari dasar jalurnya. Di bagian luar gedung—mulai dari gerbang masuk hingga pintu gedung fakultas—jalur pemandu dipasang di atas paving block. Permukaan ini menyebabkan ujung tongkat difabel netra tersangkut, sehingga sangat menyulitkan pengguna dalam menelusuri jalur pemandu secara lancar.

Di dalam gedung, jalur pemandu sudah dipasang di atas lantai keramik, yang sebenarnya lebih ramah bagi tongkat netra karena permukaannya lebih mulus. Sayangnya, jalur pemandu di dalam gedung justru terputus-putus. Tongkat yang diarahkan ke jalur pemandu tidak bisa tetap menyusuri jalur karena tidak ada kesinambungan fisik dari satu segmen ke segmen lainnya. Belum lagi terdapat meja yang diletakkan di tengah jalur, membuat jalur pemandu makin tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Yang paling mencolok, ada ujung jalur pemandu yang berakhir di sebuah pintu berdaun dua. Namun, pintu yang terbuka bukanlah pintu yang sejajar dengan jalur pemandu. Jalur pemandu justru mengarah ke daun pintu yang tertutup, sehingga pengguna tidak akan mungkin tahu bahwa pintu tersebut sedang tidak bisa dilewati—dan akhirnya malah menabraknya.

Selain soal bentuk fisik, standar warna juga menjadi masalah besar. Jalur pemandu seharusnya berwarna kuning atau warna lain yang kontras agar mudah dikenali oleh pengguna low vision (penglihatan terbatas). Namun, di beberapa area kampus ini, jalur pemandu justru menggunakan warna perak pada jalur pandunya, yang membuatnya menyatu dengan lantai. Sementara bagian dasar jalur pemandu yang berupa paving block tidak diwarnai sama sekali, sehingga syarat kontras warna tidak terpenuhi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan hanya mementingkan pemasangan fisik tanpa memperhatikan fungsi visual dan standar aksesibilitas internasional.

Randi (nama disamarkan atas permintaan dari narasumber) seorang mahasiswa difabel penglihatan di Universitas Negeri Makassar, pada wawancara bersama solidernews (07/04/2025) sangat menyayangkan pembangunan aksesibilitas kampus yang tidak melibatkan difabel dan tidak berkiblat pada aturan yang berlaku. Menurutnya, selama ini UNM telah cukup sering menggembar-gemborkan statusnya sebagai pemilik jurusan pendidikan luar biasa tertua, dan memperkenalkan diri mereka sebagai kampus inklusi. Tetapi, pelayanan dan pembangunan di dalam kampus justru menunjukkan hal berbeda. Sebagai mahasiswa difabel, Randi bahkan tak pernah mendapat layanan khusus atau sekadar asesmen awal untuk mengetahui kondisi kedifabelan yang ia miliki.

“Apa, ya? Kayak tidak diperlakukan setara dengan mahasiswa lainnya. Saya juga pernah dipaksa untuk menulis awas. Jadi kalau pembangunan jalur pemandu khusus tunanetra tidak bisa dipakai dan malah menyesatkan kita ke halangan dan bahaya, ya dimaklumi saja,” ujarnya menyayangkan.

Masalah-masalah tersebut menunjukkan bahwa pembangunan fasilitas aksesibilitas seperti jalur pemandu seringkali tidak mengikuti standar teknis yang telah diatur secara formal. Padahal, Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) 8153:2015 tentang Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, yang menjadi rujukan resmi dalam penyediaan fasilitas ramah difabel, termasuk jalur pemandu. Dokumen ini menetapkan spesifikasi teknis yang wajib dipenuhi, antara lain: jenis jalur pemandu (tipe garis dan titik), tinggi tonjolan 3–5 mm, lebar jalur minimal 300 mm (ideal 600 mm), warna dengan kontras minimal 70%, dan permukaan dasar yang rata dan tidak licin.

SNI 8153:2015 juga secara eksplisit menekankan bahwa jalur pemandu tidak boleh terputus, tidak boleh terhalang objek, dan tidak boleh mengarah ke tempat berbahaya. Bahkan, permukaan seperti paving block kasar tidak direkomendasikan, karena berisiko mengganggu atau mencelakakan pengguna tongkat netra. Seluruh spesifikasi ini diperkuat melalui Permen PUPR No. 14 Tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung, yang mewajibkan penggunaan standar SNI tersebut dalam setiap perencanaan dan pembangunan fasilitas aksesibilitas.

Sayangnya, dalam praktik, standar ini sering kali diabaikan demi mengejar kesan inklusif secara visual, tanpa memperhatikan keberfungsian nyata di lapangan.

Pola ini memperlihatkan bahwa inklusivitas masih dipahami secara dangkal dan simbolik. Padahal, hak atas aksesibilitas tidak bisa direduksi menjadi sekadar elemen dekoratif atau persyaratan proyek. Aksesibilitas adalah tentang fungsi, keamanan, dan kemandirian.

Ketika fasilitas dibangun tanpa melibatkan difabel, hasilnya adalah infrastruktur yang hanya layak difoto tetapi tidak layak digunakan. Dalam konteks ini, jalur pemandu tidak lebih dari simbol kosong—alat pemoles citra yang menipu publik seolah institusi sudah memenuhi prinsip inklusi, padahal justru menciptakan hambatan baru. Ukuran aksesibilitas bukan terletak pada ada atau tidaknya fasilitas, tetapi pada apakah fasilitas itu bisa digunakan oleh mereka yang membutuhkannya.

Aksesibilitas Sejati Dimulai dari Partisipasi

Jika pembangunan aksesibilitas hanya dilakukan demi proyek pencitraan atau pemenuhan syarat administratif, maka kita sedang menciptakan arsitektur yang diskriminatif dalam wujud yang seolah-olah inklusif. Kita tidak sedang meruntuhkan hambatan, tetapi membangun tembok baru yang lebih licin dan berbahaya.

Pembangunan yang benar-benar inklusif harus dimulai dari keterlibatan aktif difabel sejak tahap perencanaan. Harus ada uji fungsi, konsultasi lapangan, dan evaluasi berbasis pengalaman pengguna. Tanpa itu semua, jalur pemandu hanya akan menjadi jejak kepalsuan, bukan panduan menuju kesetaraan.

Jika ingin serius membangun aksesibilitas, maka difabel harus dilibatkan sejak awal perencanaan. Pembangunan fasilitas akses bukan soal proyek atau angka, tetapi soal mendengar, menguji, dan menyesuaikan dengan kebutuhan nyata. Jangan bangun dulu, baru minta maaf kemudian. Jangan pasang simbol, tapi abaikan fungsi.

Inklusi yang sejati bukan tentang apa yang terlihat, melainkan tentang apa yang bekerja, apa yang aman, dan apa yang memberdayakan.

Dan selama jalur pemandu hanya jadi pajangan, maka aksesibilitas kita belum pernah benar-benar dimulai. Karena inklusi bukan tentang seberapa banyak jalur pemandu yang dibangun, tapi tentang seberapa banyak yang benar-benar bisa digunakan dan memberi manfaat.[]

 

Reporter: Yoga Indar Dewa

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content