Views: 8
Solidernews.com, Yogyakarta – Pada acara yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Difabel (KND) pada Jumat (14/6) lalu, yang bertema “Advokasi Pemenuhan Hak Pendidikan Difabel di Perguruan Tinggi”, isu hak pendidikan tinggi bagi difabel menjadi topik utama yang dibahas. Aida Mujtahida, seorang mahasiswa difabel fisik penerima LPDP yang berkuliah di jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM berbagi pengalaman menariknya.
Aida menceritakan pengalaman pahitnya saat mendaftar program magister di UGM. Dalam proses pendaftaran, ia dengan hati-hati mencentang kolom difabel pada formulir Potensi Akademik Pascasarjana (PAPs), berharap panitia tes akan mengakomodasi kebutuhannya. Namun, kenyataan yang dihadapinya sangat berbeda. Pada hari ujian, Aida harus berpindah gedung dalam waktu singkat tanpa pendampingan yang memadai karena panitia tes tidak mengetahui ada peserta difabel yang mengikuti ujian.
“Pada hari H ujian, saya diarahkan ke gedung A oleh SKK (Satuan Keamanan Kampus) UGM. Tes dijadwalkan pukul 13.00, dan saya tiba pukul 12.15. Namun, SKK kemudian menginformasikan bahwa staf UPAP (Unit Pengembangan Alat Psikodiagnostika) tidak diberi tahu ada peserta tes yang memiliki difabel, sehingga tidak ada petugas yang mendampingi saya. Tes pun dilaksanakan di Gedung P Fakultas Psikologi yang tidak aksesibel bagi difabel fisik seperti saya,” ujarnya dengan nada kesal.
Lebih lanjut, Aida menceritakan betapa beratnya ia harus berjalan menaiki anak tangga menuju ruangan tes di lantai dua. Dengan kondisi tubuh yang memiliki cerebral palsy, menaiki tangga menjadi tantangan besar. Ditambah lagi, ia mengenakan rok panjang dan harus terus memegang pegangan tangan tanpa ada anti slip di ujung anak tangga, membuatnya semakin sulit.
Walaupun pihak UPAP Fakultas Psikologi UGM sempat meminta maaf dan menawarkan tes gratis, Aida menolak tawaran itu karena skornya sudah mencukupi. Baginya, masalah utama terletak pada sistem yang tidak akomodatif sehingga adanya tawaran tes gratis bukan menjadi sebuah solusi. Ia berharap agar ke depannya ada perbaikan sistem, sehingga tidak ada lagi difabel yang harus mengalami kesulitan seperti yang ia alami.
Selain itu, Aida turut menyoroti bahwa tes PAPs (tes kemampuan kognitif potensi akademik) tidak dapat diakses oleh difabel netra karena adanya sub tes yang memerlukan penalaran gambar atau spasial. “Sampai kapanpun tidak mungkin difabel netra menjawab soal bergambar, jangan sampai menunggu ada kasus dulu terus ada perbaikan,” ujarnya.
Aida juga menyampaikan bahwa sejumlah fasilitas di UGM seperti ramp atau bidang miring masih berbahaya bagi difabel. Misalnya, ramp di lobby Fakultas Hukum, Fisipol, dan Kehutanan terlalu curam atau licin, yang pernah membuat Aida jatuh dan harus dirawat di IGD GMC. Dikarenakan lingkungan UGM belum seluruhnya akomodatif, Aida harus berpindah dari yang tadinya menggunakan kruk menjadi kursi roda.
Dirinya juga menekankan pentingnya kebijakan inklusif dan mendukung, baik dari segi sosial maupun fisik. Menurutnya dengan hal itu dapat mereduksi berbagai hambatan yang acap ditemui oleh difabel. Ia menekankan bahwa difabel harus terbuka dengan kebutuhan mereka agar lingkungan dapat memahami dan mendukung dengan lebih baik.
Aida menemukan salah satu tempat favoritnya di UGM, yaitu ruangan pojok difabel di Perpustakaan Pusat. Awalnya, ruangan tersebut sering digunakan staf untuk beristirahat, makan dan bahkan terdapat sepeda milik staf. Namun, setelah Aida dan beberapa mahasiswa difabel sering berkunjung ke perpustakaan hal tersebut tidak pernah terjadi lagi.
Sementara itu, Aida juga memberi tahu salah satu staf bahwa ia kesulitan mengakses ruang ETD (Electronic Theses Dissertation) di lantai dua. Padahal Ruang ETD sendiri cukup penting perannya untuk mencari referensi penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi.
Menyadari keterbatasan tata ruang yang menyulitkan pengguna kursi roda, pihak perpustakaan dengan sigap menyediakan fasilitas ETD khusus di ruang pojok difabel, sehingga pemustaka difabel tidak perlu bersusah payah naik ke lantai atas, memesan ruang, atau mengantri dengan pemustaka lainnya. Fasilitas ini kini bisa dinikmati oleh semua pemustaka difabel.
Selain itu, Aida juga berinisiatif meminta izin kepada pengelola perpustakaan untuk menggeser satu lemari buku di ruang pojok difabel guna membuat ruang solat yang dapat diakses oleh difabel. Inisiatif ini diterima dengan baik dan menambah kenyamanan bagi difabel saat mengakses ruang pojok difabel di perpustakaan UGM.
Terakhir, Aida menyampaikan pesan penting kepada seluruh difabel untuk selalu berusaha membawa perubahan positif di sekitar mereka. “Jangan menunggu hingga lulus untuk membuat perubahan. Mulailah sekarang, sehingga lebih banyak orang yang bisa merasakan manfaat dari perubahan tersebut,” pungkasnya.[]
Reporter: Bima Indra
Editor : Ajiwan