Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Isu Pengampuan Difabel Psikososial dan Intelektual dalam Konteks Raperma

Views: 7

Solidernews.com – Sarli dari Sigab dalam Difabel Lawyer Club yang dihelat oleh Sigab, Jumat (20/9) mengemukakan pendapatnya terkait dengan pengampuan. Apa yang baru dan apa yang dimodifikasi, menurutnya di perma ada kebutuhan dalam hukum acara maupun hukum material. Atau memperbaiki hukum materi. Pasal pengampuan dalam KUH Perdata sudah lama sekali dan termasuk produk kolonial yang sampai saat ini kemampuan akademisi di hukum perdata belum cukup mampu melahirkan KUH Perdata yang baru yang isinya memenuhi asas-asas inklusivitas.

Sampai  saat ini secara normatif, pasal pengampuan masih berlaku karena secara praktik saat putusan MK pada Juli 2023 hingga saat ini tren orang mengajukan pengampuan itu malah tinggi. Berdasar riset kecil-kecilan yang ia lakukan, dengan membuka situs pengadilan yang di situ ada informasi perkara. Di DI.Yogyakarta dari Agustus tahun lalu sampai Agustus tahun 2024 angkanya sudah ratusan dan itu berasal dari lima kabupaten/kota.

 

“Bayangkan di daerah- daerah lain dan di ibu kota-ibu kota lain apakah juga alami yang sama. Secara normatif terkait pengampuan masih berlaku. Dan ketika kita terlihat dalam proses penyusunan Raperma, sebagian setuju bahwa terkait dengan proses pemeriksaan perkara permohonan pengampuan itu harus diperketat sebab harus salah satunya merujuk pada hasil riset teman teman LBH Masyarakat. Mereka bilang, prosesnya kok mudah sekali. Dibuktikan dengan resep obat yang kemudian dikabulkan. Dan tidak hanya bagi teman disabilitas mental yang jadi terampu. Bisa kawan intelektual, sensorik dan kawan disabilitas fisik,”ungkap Sarli.

Ia menambahkan oleh karena itu berangkat dari posisi seperti ini, dalam Raperma ini juga memasukkan pasal terkait dengan pengampuan. Bagaimana caranya, hakim yang mengadili perkara ini ketika menghadapi perkara pengampuan, mereka punya pedoman yang sama yang kemudian dalam Raperma mengatur proses yang sangat ketat. Dalam KU Hukum Perdata mengatur proses perkara pengampuan. Tim itu harus memeriksa langsung  calon pemgampu  baik di pengadilan, dan hakimnya harus langsung di tempat.

Di Raperma dicantumkan kalau mau mengajukan permohonan pengampuan harus ada penilaian personal dan disabilitasnya apa. Tidak cukup hanya menjelaskan ragam tapi bicara tingkatannya seperti apa dan hambatannya. hambatan ini yang juga sangat penting dipahami oleh hakim. Hambatan ini bicara juga soal apa yang dilakukan calon terampu dan calon pengampu. Calon terampu juga menginginkan bahwa calon pengampu  sejak awal sudah terdeteksi sebagai orang yang beritikad baik. Semua menginginkan bahwa pengadilan akan pro aktif mendeteksi calon pengampu apakah orang yang punya motif lain yang tidak mendukung atau dia ingin memberikan sepenuhnya kepada disabilitas.

 

Dalam diskusi juga ada usulan lain tawaran konsep soal supporting decision making  yang ini sebenarnya tawaran baik jika merujuk CRPD dan praktik lainnya  tapi terkendala dengan norma dasarnya yakni pengakuan. Sementara pengampuan di Indonesia sangat jauh dari supported decision making  dan yang paling penting adalah perlu merumuskan supporting decision making, teknisnya seperti apa karena kalau dibaca di beberapa riset, mereka menyebut kriteria disabilitas. Lantas level hambatan termasuk supported dalam hal apa saja yang harus didetailkan agar jangan sampai di antara difabel pemaknaannya berbeda.

Terkait Konten Raperma tentang Poin dan Isu Strategis dalam Raperma 

Zaenur Rohman dari Pukat  UGM  menyatakan dal draft raperma memuat banyak materi muatan, salah satunya adalah jaminan Akomodasi Yang Layak (AYL) dari PP 39/2020 yang  diatur dengan lebih detail. Kedua adalah secara modifikasi memuat banyak perubahan yakni pengaturan-pengaturan prosedur pengadilan bagi perkara yang melibatkan difabel diantaranya adalah bagaimana perkara itu melibatkan difabel dan bagaimana penghentian persidangan, yang membutuhkan waktu jeda dan seterusnya.

 

Menurut Zaenur ini cukup menarik karena adanya identifikasi awal dan penilaian personal untuk menentukan hambatan yang terjadi pada disabilitas. Di dalam raperma ada adopsi dua sistem, pertama identifikasi dan kedua penilaian personal. Ada perbedaan penilaian awal dan personal dalam draft raperma ini. Identifikasi awal tujuannya untuk mengenali ragam, hambatan dan juga kebutuhan difabel yang berhadapan dengan hukum. Dan penilaian personal dilakukan oleh ahli. Sebenarnya sama saja,  dengan identifikasi awal hanya perbedaannya adalah pada pihak yang melakukan. Kalau identifikasi awal adalah self assesment  tetapi kalau dibutuhkan maka bisa beralih ke penilaian personal. Dalam penilaian personal dalam draft lama punya dua tujuan yakni untuk memenuhi AYL kedua untuk menjamin perkaranya dapat diproses sesuai dengan prinsip pemenuhan HAM bagi difabel ketika ada sebuah perkara yang perkara tersebut memiliki korelasi dengan ke disabilitasan.

 

Kedua, jika seorang difabel berperkara dengan hukum. Kalau perkara tersebut tidak ada korelasinya dengan disabilitas maka cukup melalui penilaian awal.  Kalau berhubungan kemudian dilalukan penilaian personal dan hasil penilaian personal digunakan untuk kasus persidangan termasuk digunakan hakim. Contoh konkretnya adalah : misalnya ada seorang difabel fisik hadir ke pengadilan ingin melakukan  gugatan. Gugatan yang dilakukan misalnya gugatan waris. Difabel fisik ini bisa melakukan identifikasi awal terkait ragam dan hambatan disabilitas. Itu clear, misalnya contoh : Bu Nurul akukan ke pengadilan maka mendeclare ragam disabilitasnya dan hambatan yang dihadapinya dan bisa dipenuhi oleh pengadilan. Dalam hal ini gugatannya belum tentu ada korelasinya dengan kedisabilitasannya tetapi ketika misalnya ada satu gugatan  yang gugatannya itu terjadi karena diskriminasi, karena dia adalah disabilitas dan tidak memperoleh waris atau gugatan perceraian  karena mengalami kondisi kedisabilitasannya maka kasus itu memiliki korelasi dengan kondisi kedisabilitasan. Misalnya menjadi korban. Biasanya ada pemanfaatan kondisi posisi lemah dari disabilitas kemudian membutuhkan satu penilaian, biasanya tidak hanya deklarasi disabilitasnya oleh ahli untuk pemenuhan AYL.

 

Ketiga, untuk pokok perkaranya, ini yang menurut Zaenur mungkin bisa menjadi bahan diskusi ke depan. Sebab itu yang menjadi pertanyaan juga dari teman difabel. Salah satu yang menarik adalah Raperma ini memberi panduan bagaimana hakim membuat pertimbangan hukum. Raperma ini menggambarkan bagaimana hakim menyidangkan perkara agar hakim tidak mendiskriminasi, menjunjung, persamaan derajat dan ketika membuat pertimbangan dan ketika perkaranya terkait aspek kedisabilitasan maka itu harus dipertimbangkan. Jadi aspek kedisabilitasan harus dipertimbangkan. Apakah terkait dengan pihak-pihak yang tersangkut perkara ini, contohnya : memanfaatkan posisi lemah, sehingga diharapkan dapat mematikan pemenuhan hak difabel bukan hanya AYL tetapi juga putusannya dapat mewujudkan keadilan difabel berhadapan dengan hukum.[]

 

Reporter: Astuti

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air