Views: 12
Solidernews.com – Difabel di era kekinian sudah menunjukkan kiprah dan dampak di tengah-tengah sosial masyarakat. Mulai yang menjadi seorang ASN, Guru, Instruktur, Pembicara, Advokat, Dosen, tergabung di badan peneliti, Jurnalistik, dan sebagainnya, menjadi gambaran bukti nyata bahwa difabel makin menunjukkan kualitas untuk membantah stigma kurang tepat di masyarakat.
Permasalahan memang belumlah usai. Berbagai dinamika terus bermunculan. Namun hal itu tidak lantas membuat semangat para difabel surut. Di era modern kini, para difabel mulai melakukan gerakan pemberdayaan antar sesama difabel dengan skala masif. Bantuan teknologi digital makin memperluas kiprah mereka.
Salah satu tokoh tersebut adalah Irwan Dwi Kustanto. Seorang difabel netra yang berjuang dan berupaya lewat wadah yayasan Dria Manunggal Indonesia dan Kopi Egalita. Dengan berbagai pengalamannya, dia banyak membuat sebuah gerakan untuk mengangkat daya saing para difabel muda. Mulai pelatihan barista untuk difabel, gerakan literasi, seni, dan sebagainya.
Irwan, begitulah dia akrab dipanggil oleh kawan-kawanya. Aktualisasi dirinya salah satunya sebagai aktivis difabel netra yang berpengaruh dalam bidang seni dan kewirausahaan. Kehilangan penglihatannya pada usia 9 tahun tidak menghentikan langkahnya untuk terus berkarya. Irwan lahir di Tulungagung, Jawa Timur, dan saat ini tinggal di Yogyakarta. Dia dikenal sebagai pendiri “Kopi Egalita”, sebuah kafe di Bantul, Yogyakarta.
Kopi Egalita tidak hanya berfungsi sebagai tempat nongkrong, tetapi juga memberikan pelatihan barista bagi difabel netra. Kafe ini menjadi simbol inklusivitas, di mana dia melatih para difabel untuk menjadi barista, menunjukkan bahwa hambatan fisik tidak menghalangi mereka untuk memiliki keterampilan.
“Saya berpikir kalau difabel itu memang memiliki potensi besar. Maka dari itu, dengan adanya kopi egalita ini, saya berupaya untuk membangun dan mengajak rekan difabel muda untuk membangun potensi dan memiliki daya saing di tengah-tengah masyarakat,” jelas Irwan pada 28 Juli 2024.
Manivestasi Irwan dalam membangun diri agar memiliki daya saing, salah satunya adalah dengan melakukan berbagai kontribusi untuk pemenuhan hak difabel, terutama difabel netra lewat dunia kopi dan dunia literasi. Dirinya tergabung dalam gerakan 1000 buku bersama Mitra Netra untuk membuat buku yang dapat di akses bagi difabel netra, dengan bentuk audio book dan Epup text yang ada di perpustakaan digital mitra netra.
Selain itu, Irwan juga aktif dalam dunia sastra. Ia telah menerbitkan antologi puisi berjudul “Angin Pun Berbisik”, yang memadukan kepekaan indera nonvisual dalam karya sastra yang kuat. Puisi-puisinya sering menyentuh tema kehidupan, cinta, dan pencarian makna, sering kali menggunakan kopi sebagai medium perenungan. Karya-karyanya merupakan bagian dari upayanya untuk memperjuangkan literasi dan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan difabel netra di Indonesia.
Irwan tak hanya seorang seniman, tetapi juga seorang pejuang inklusi. Ia percaya bahwa keterlibatan difabel dalam berbagai bidang, seperti seni dan wirausaha, dapat membantu menghilangkan stigma dan membangun kesadaran di masyarakat akan potensi yang dimiliki difabel.
“Mengapa masyarakat Indonesia itu masih memiliki kesadaran yang kurang terhadap eksistensi difabel? Menurut saya pribadi karena difabel itu sendiri yang jarang menampakan diri secara terang-terangan di tengah-tengah masyarakat,” jelas Irwan.
Irwan menambahkan bahwa persoalan di atas memang kompleks. Mulai dari keluarga difabel itu sendiri yang mengekang agar anggota keluarga yang difabel untuk tidak keluar rumah, Perasaan tidak percaya diri difabel untuk bersosialisasi, mengurung diri karena merasa inverior, dan takut terhadap dunia luar. Itu adalah beberapa hal yang hingga kini memperlambat pembangunan kesadaran masyarakat untuk melibatkan difabel.
Nah, menyikapi hal di atas, Irwan meyakini bahwasannya difabel, khususnya difabel netra itu memiliki potensi. Hanya saja memerlukan upaya dan wadah yang konkrit. Maka dari itu dari sekian program yang ia canangkan bersama Yayasan Dria Manunggal Indonesia, Irwan juga melakukan gerakan literasi.
Hal itu diwujudkan dengan sebuah wadah “Yogya Nyastra” yang isinya adalah para difabel yang ingin menulis buku dan menerbitkannya. Di dalamnya Irwan menjelaskan kalau berisi para penulis difabel, ada forum sharing, bimbingan, dan saling suport untuk memiliki karya tulis yang memiliki nilai jual di tengah-tengah masyarakat. Jelas, poin intinya adalah membangun daya saing para difabel muda.
Selain itu, Irwan mengungkapkan di 2024 ini ada sebanyak 10 penulis yang Irwan ajak untuk menerbitkan buku yang puncaknya akan rilis di bulan desember. Buku ini tentu memiliki corak-corak yang berbeda. Karena para penulis membuat karyanya secara pribadi/solo. Bukan antologi.
“Tentu pembuatan karya tulis yang memenuhi standar, dibuat secara baik, dan memperhatikan aspek-aspek kepenulisan menjadi pondasi dalam program Yogya Nyastra 2024 ini,” tutur Irwan.
Mulai soal kopi, literasi, dan seni terlihat Irwan padukan untuk mendongkrak aspek potensi bagi difabel muda. Kerjasama dengan berbagai pihak, jaringan komunitas, dan ketekunan bersama rekan-rekan difabel menjadi beberapa indikator bahwasannya Irwan sangat berkomitmen untuk kesetaraan dan pembangunan sumber daya difabel yang berkualitas.
Dengan kontribusi, sharing, sosial inklusif, dan pembuktian itulah yang dapat meningkatkan derajat seorang difabel netra. Irwan menyampaikan bahwasannya workshop, pelatihan barista, ikut serta dalam gelaran seni, dan peningkatan diri lewat penulisan buku, kiranya dapat membantu difabel netra menatap dunia dengan lebih yakin.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan