Views: 17
Solidernews.com – Memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Dari yang mencari surat sehat, diantar ke rumah sakit karena mendapat surat rujukan, hingga konsultasi berbagai masalah kesehatan. Itu semua sudah lumrah. Mulai dari yang ke dokter keluarga, klinik, hingga rumah sakit, tentu sudah menjadi tempat pilihan yang umum di masyarakat.
Yogyakarta termasuk memiliki banyak rumah sakit. Mulai dari yang menggunakan nama lokal seperti RS. Sardjito hingga yang menggunakan nama internasional seperti JIH (Jogja International Hospital). Tentu institusi ini memiliki standar operasional maupun pelayanan yang baik. Tetapi sesuai kata pepatah tiada gading yang tidak retak. Beberapa rumah sakit Jogja masih memiliki masalah pelayanan, khususnya pada pasien dengan difabel.
Pasien difabel tentu berbeda dengan pasien dengan kategori nondifabel. Mengapa begitu? Bila merujuk dari KBBI, penyandang disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama. Sehingga terhambat dan cukup kesulitan dalam berinteraksi secara maksimal dengan lingkungan. Selain itu, cukup terkendala dalam beraktivitas sehari-hari. Jadi, memang diperlukan pelayanan yang khusus bagi golongan ini.
Secara fungsi, institusi kesehatan itu memiliki andil dalam menjaga, memonitoring, melayani, dan memberikan solusi terhadap masyarakat yang memiliki masalah dalam bidang kesehatan. Sedangkan bila berbicara tugas dari pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan itu merupakan setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan/ataupun masyarakat, tanpa ada diskriminasi apa pun.
Menghadapi Petugas yang Tidak Mau Tahu Kondisi Pasien Difabel
Salah satu hal yang kadang menjadi permasalahan bagi difabel yang ingin mengakses kesehatan itu kadang harus berhadapan dengan petugas yang acuh atau tidak paham cara melayani pasien difabel. Tentu tidak semua petugas begitu. Namun, masalah seperti ini kerap saya temui, baik dari cerita teman difabel, maupun pengalaman saya sendiri. Karena saya juga seorang difabel netra.
Bila berangkat dari kasus saya sendiri, saya pernah mengalami kekesalan karena ulah satpam Puskesmas tempat saya tinggal. Waktu itu, sekitar tahun 2021 saya ingin memeriksakan badan karena demam. Nah, saat saya tiba di depan gerbang Puskesmas, saya tentu kesulitan mencari tempat pendaftaran dan tempat mengambil nomor antrean.
“Permisi, pak! Tempat untuk mendaftar dan mengambil nomor antrean di mana ya?” tanya saya pada satpam dekat gerbang.
“Ohh, di sana mas,” kata satpam. Saat saya menjelaskan kalau saya tidak bisa melihat, beliau hanya menambah kalimat jawaban dengan harus berjalan kearah mana, nanti ada tangga, dan seterusnya. Bukan mengambil tindakan untuk mengantar saya. Saya pun hanya terdiam dan memutuskan berusaha sendiri.
Belum lagi cerita-cerita dari kawan difabel lainnya. Seperti teman tuli yang susah berkomunikasi dengan petugas karena tiadanya JBI (Juru Bahasa Isyarat), petugas yang kurang responsif pada keadaan difabel fisik, dan lain-lain. Saya cukup heran, apa mereka itu tidak dibekali pelatihan bila ada pasien difabel.
Kurang Maksimalnya Prasarana untuk Pasien Difabel
Persoalan selanjutnya dari akses kesehatan bagi difabel adalah prasarana publik yang kadang cukup membuat difabel kesal. Mulai dari ramp rumah sakit yang curam, sehingga sulit dilalui kursi roda bila tidak dibantu, kamar mandi yang kurang memadai bagi difabel fisik, tempat duduk khusus bagi lansia, ibu hamil, dan difabel yang justru ditempati oleh para pengantar pasien, dan lain-lain.
Memang tidak semua rumah sakit seperti kasus di atas. Namun, kejadian-kejadian tersebut cukup sering saya temui. Tidak jarang saat saya mengantre di pendaftaran, justru saya harus berdiri karena kursi-kursi khusus itu diduduki orang yang tidak termasuk dalam kategori (lansia, ibu hamil, dan difabel). Seharusnya kondisi ini bisa ditangani dengan kesigapan para petugas kesehatan yang ada. Sehingga pasien difabel tidak makin terbebani lagi dengan masalah prasarana publik di rumah sakit.
Rumitnya Pelayanan Kesehatan BPJS bagi Difabel
BPJS tentunya menjadi jaminan kesehatan yang cukup banyak digunakan pasien rumah sakit, tidak terkecuali pasien difabel. Dalam penggunaanya tentu ada beberapa hal yang harus dilengkapi, mengurus pendaftaran kadang tidak hanya satu titik, dan saat melengkapi persyaratan kadang juga berbeda lokasi. Hal itu cukup tidak menjadi masalah bagi pasien nondifabel. Tapi akan cukup menyusahkan bagi para pasien difabel, terutama difabel fisik dan difabel netra.
Pernah suatu kali saya harus kontrol mata di salah satu rumah sakit besar di wilayah Sleman. Tetapi, tiba-tiba ada persyaratan yang kurang. Sehingga saya harus mengurus hal itu ke lantai yang berbeda. Perjalanan itu cukup rumit. Karena saya harus berjalan sendiri ke tempat itu, tidak ada petugas yang mengantar, dan tentu kadang ada insiden bersenggolan dan sebagainya. Sungguh perjalanan dan kegiatan yang sangat menguras emosional.
Maka tidak jarang karena hal tersebut, sebagian difabel memilih untuk periksa ke dokter yang membuka praktik di rumah, meski harus membayar mahal. Kadang ada juga sahabat difabel lain yang memilih rumah sakit swasta untuk periksa, karena ia merasa di situ pelayanannya lebih bagus. Jadi, BPJS tetap harus membayar bulanan, akan tetapi jarang terpakai.
Alasan Petugas yang Terkesan Mengarang
Masalah berikutnya adalah petugas yang kadang terkesan mengarang saat menerima pasien difabrel. Hal ini kadang terjadi di layanan UDG 24 jam atau di pelayanan umum. Mulai dari yang beralasan tidak biasa melayani pasien difabel, dokter tidak ada, dan alasan-alasan yang tentunya membuat difabel itu terdiskriminasi saat akan menggunakan layanan kesehatan.
Dalam kasus ini saya pernah mendapatkan cerita dari kawan ngopi, saat itu kawan saya tengah menemani sahabatnya yang seorang difabel mental. Kawan saya ini hendak menggunakan layanan 24 jam salah satu rumah sakit di Bantul. Tetapi saat mendatangi petugas, ia malah mendapatkan jawaban pelayanan yang tidak baik. Petugas jaga itu menyatakan kalau tidak biasa melayani pasien difabel, dokter yang praktik tidak ada, dan berbagai alasan yang kurang masuk akal lainnya. Padahal saat itu kondisi pasien tersebut cukup gawat.
Menurut saya, sudah seharusnya pihak-pihak yang menyediakan jasa kesehatan itu memiliki standar dan SOP yang baik dalam mengelola SDM pelayanan kesehatan. Apalagi yang terkait pada pelayanan pasien difabel. Pengadaan training, FGD, pengawasan kinerja tenaga kesehatan, dan sosialisasi harus terus dilakukan guna menanggulangi adanya masalah pelayanan bagi pasien difabel. Hal ini tentunya tidak bisa dianggap remeh. Sebab semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali harus mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa adanya diskriminasi.[]
Penulis: Wachid
Editor : Ajiwan