Views: 22
Solidernews.com –
Di balik jargon inklusi keuangan dan semangat digitalisasi layanan publik, masih banyak difabel di Indonesia yang bertanya-tanya, Bank ramah difabel, apa mungkin? Bagi sebagian difabel, mendatangi bank bukan sekadar soal setor dan tarik uang, melainkan sebuah perjuangan untuk diakui sebagai manusia dewasa yang berhak mengatur hidup dan keuangannya sendiri.
Sayangnya, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah kampanye layanan publik. Tak sedikit difabel netra yang ditolak membuka rekening karena datang sendiri, atau difabel fisik yang kesulitan mengakses mesin ATM karena sarana fisik yang tidak inklusif. Yang lebih ironi adalah respons petugas bank yang kadang bersikap seolah-olah kondisi kedifabelan juga selaras dengan ketidak mampuan untuk menjaga keamanan keuangan secara mandiri.
Robert, difabel netra yang bercerita pada solidernews, pada 15 Juli 2025, menjelaskan kalau penolakan yang sering ditemuinya karena alasan kedifabelan yang dimiliki. Mulai dilarang memiliki ATM, mengaktifkan M-Banking, serta harus memiliki pendamping untuk mengakses pelayanan bank, menjadi sorotan yang Robert alami.
“Alasan klise yang saya temui ketika ada penolakan akses suatu layanan Bank itu ya karena saya tunanetra,” ujar Robert.
Merefleksi Hari Bank Indonesia
Pada tanggal 5 Juli 2025, Indonesia memperingati “hari Bank Indonesia”. Meski begitu, 5 Juli bukanlah hari lahir Bank Indonesia. Melainkan sebuah peringatan tentang lahirnya Bank Nasional Indonesia (BNI) pada 1946, sebagai bank nasional pertama Indonesia.
Sementara itu Bank Indonesia (BI) baru terlahir resmi pada 1 Juli 1953, sebagai hasil nasionalisasi De Javasche Bank—bank peninggalan Hindia Belanda. Bank Indonesia (BI) difungsikan untuk mencetak uang, menjaga stabilitas nilai Rupiah baik terhadap harga barang dan jasa, maupun terhadap mata uang asing.
Mengusung tema “Inovasi Digital dan Inklusi Keuangan untuk Ekonomi Berkelanjutan”, Hari Bank Indonesia 2025 menjadi momen perenungan, refleksi, juga penyadaran betapa pentingnya lembaga keuangan dalam membangun stabilitas negara. Penghormatan kepada para nasabah, utamanya nasabah difabel juga turut menjadi hal yang patut untuk dicermati.
Perlu diingat, sesuai amanat UU. No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Pasal 90, menjelaskan bahwa masyarakat difabel berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk dalam hal keuangan serta hak untuk memperoleh akses terhadap pelayanan perbankan dan non-perbankan. Di mana dari hal itu, dapat dipahami bila masyarakat difabel berhak dan memiliki kesamaan akses terhadap pelayanan keuangan yang ada.
Sebagai masyarakat difabel, kita patut mengapresiasi upaya-upaya layanan keuangan inklusif yang terus dilakukan. Baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan beberapa pihak lain. Berbagai keputusan, peraturan, dan kolaborasi sudah dijalankan, sehingga perlahan layanan keuangan di Indonesia mulai dapat diakses masyarakat difabel.
Kehadiran “Pedoman Akses Pelayanan Keuangan untuk Disabilitas Berdaya (Pedoman SETARA)” yang diterbitkan dan diarahkan oleh OJK, menjadi komitmen lanjutan untuk membangun sistem ramah difabel di ruang layanan keuangan Indonesia. Dalam pedoman tersebut, terdapat Panduan penerapan inklusi difabel mencakup ketentuan umum serta panduan praktis pada berbagai aspek, seperti aksesibilitas infrastruktur fisik, aksesibilitas infrastruktur digital, kepekaan dalam layanan, kemudahan akses dokumen, mekanisme penanganan pengaduan konsumen, dan panduan bagi pendamping. Panduan ini dapat menjadi acuan bagi penyedia jasa keuangan dalam mengembangkan layanan keuangan yang inklusif bagi calon konsumen difabel.
Polemik Difabel Pada Pelayanan Perbankan Indonesia
Dari sekian langkah, strategi, upaya, dan janji pihak penyedia jasa keuangan, masih terdapat realitas lapangan yang menyulitkan kalangan difabel. Hal-hal dan persoalan klasik tentang akses dan pelayanan bank terhadap calon konsumen difabel, masih belum terselesaikan secara maksimal.
Tidak meratanya pemahaman tentang difabel di tempat penyedia jasa keuangan masih menjadi soal. Masih ditemui bank dan petugas yang memberi pelayanan kurang baik terhadap calon konsumen difabel. Mulai akses layanan yang memerlukan persyaratan rumit, penolakan beberapa turunan pelayanan seperti akses kartu ATM dan M-Banking, pelayanan bank digital yang menyusahkan difabel, mesin ATM yang kurang aksesibel, serta beberapa persoalan lain, masih meliputi difabel.
Seperti yang disampaikan Rachmat Effendy, pegiat isu difabel, dan seorang difabel yang pernah membuka rekening di suatu bank, tapi ia mendapatkan perlakuan kurang bijak dari Customer Service (CS) yang melayani. Dirinya harus menandatangi beberapa perjanjian yang cukup banyak, dan secara tidak sadar ternyata di rekam selama proses pembuatan rekening. Proses Perekaman video itu tanpa seizin dari dirinya.
“Sudah disusun tanda tangan persyaratan lebih, respons kurang enak, eh ternyata saya juga direkam selama pembuatan rekening oleh pegawai bank tanpa seijin saya. Kan itu merupakan tindakan yang mengganggu dan bila karena alasan keamanan, bila tanpa seijin dari saya, itu termasuk melanggar privasi saya,” katanya, dikutip dari postingan sosial media pribadi @Rachmateffendy04, pada 14 Juli 2025.
Pada kesempatan lain, solidernews juga terhubung dengan Ahmad, difabel asal Ciamis yang juga seorang wirausahawan. Dirinya bercerita pernah mendapatkan pelayanan kurang mengenakan di bank swasta. Saat beralih di bank pemerintah, dan mendaftar di daerahnya, dirinya kembali mendapatkan diskriminasi tidak boleh memegang kartu ATM dengan alasan demi keamanan, tanpa penjelasan yang dapat diterima olehnya.
“Saya pernah ke bank swasta. Tapi di sana responsnya kurang baik. Akhirnya saya mendaftar di bank pemerintah. Tapi, ya itu. Tidak boleh pegang kartu ATM demi alasan keamanan yang alasannya sendiri tidak dapat saya terima. Akhirnya sebab hal itu, saya memutuskan beralih menabung di bank digital,” jelas Ahmad, 14 Juli 2025.
Menguatkan pengalaman Ahmad, Rahma yang juga seorang nasabah difabel dari Jawa Barat, saat bercerita dengan solidernews pada 15 Juli 2025, menjelaskan, “Saya pernah mengalami diskriminasi dengan alasan keamanan yang tidak dapat saya terima. Tidak boleh memegang kartu ATM, m-Banking, dengan alasan karena saya calon nasabah difabel.”
Layanan Digital Yang Perlu Diperbaiki
Pada aspek layanan digital yang ditawarkan bank, juga perlu perbaikan di berbagai sektor. Mulai kemudahan akses m-Banking, pelayanan pengaktifan QRIS bagi UMKM difabel, dan perlunya pembuatan aplikasi yang harus memuat aksesibilitas yang sesuai standar. Karena hal ini juga menjadi layanan yang berhak diakses difabel secara maksimal dan mandiri.
Leni, Ketua HWDI Bali, menjelaskan bahwa banyak UMKM difabel yang menggunakan produk bank, salah satunya QRIS. Namun, saat ingin mendaftarkan, difabel masih dipersulit dengan syarat yang harus dipenuhi. Selain itu, bank harus tahu kalau tidak semua difabel mampu untuk berkunjung langsung ke bank.
“QRIS ini mulai banyak dipakai oleh perempuan difabel yang bergelut di UMKM. Namun, persyaratan untuk pendaftaran masih menyulitkan difabel. Keharusan datang ke bank juga menjadi tantangan. Sebab belum semua gedung bank itu memiliki aksesibilitas yang baik. Jadi, pengembangan fitur yang lebih berpihak kepada difabel ini perlu dikembangkan,” jelasnya, dikutip dari media sosial Bali Sruti, 15 Juli 2025.
Rachmat Effendy menambahkan, polemik soal adanya kebijakan otorisasi pendaftaran saat mengaktifkan M-Banking harus ada yang menggunakan kedipan mata turut menjadi problem. Hal ini baginya tidak relevan terhadap difabel netra, yang tidak semua memiliki bola mata yang dalam keadaan baik. Ada difabel netra yang memiliki satu bola mata, bahkan tidak memiliki bola mata yang memungkinkan untuk berkedip. Kebijakan ini sangat mendiskriminasi nasabah difabel netra.
“Padahal ada bank yang saat mendaftarkan dan mengaktifkan m-Banking itu bisa tanpa kedipan mata. Kenapa di pembaharuan yang ada, bank yang saya maksud ini memasukkan kebijakan harus otorisasi lewat kedipan mata. Bahkan itu saat mau login. Tentu hal ini tidak dapat dilakukan difabel netra yang tidak memiliki bola mata yang utuh,” jelas Rachmat.
Sudah saatnya lembaga keuangan di Indonesia tidak lagi memandang difabel sebagai pihak yang “Lemah dan berisiko”, melainkan sebagai warga negara penuh yang memiliki hak atas akses keuangan yang adil, mandiri, dan setara. Inklusi keuangan bukan sekadar jargon dalam brosur atau kampanye digital, melainkan wujud nyata dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. Momentum Hari Bank Indonesia seharusnya menjadi pengingat bahwa sistem keuangan yang kokoh adalah sistem yang merangkul semua lapisan masyarakat, termasuk difabel. Dengan komitmen dan pembenahan menyeluruh, bank ramah difabel bukan hanya mungkin, tapi juga harus menjadi kenyataan yang tidak boleh diabaikan.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan








