Views: 42
Solidernews.com. Yogyakarta. INDONESIA telah mengalami kemajuan dalam mengembangkan kebijakan terkait pendidikan inklusif. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, contohnya. Kebijakan ini mengatur hak bagi difabel untuk menikmati pendidikan inklusif. Memberikan kesempatan kepada difabel menempuh pendidikan yang sama, sebagaimana nondifabel.
Selain itu, Indonesia juga telah memiliki Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekniologi Nomor 48 Tahun 2023. Permen tersebut mengamanatkan perguruan tinggi menyediakan akomodasi yang layak bagi mahasiswa difabel. Termasuk menyediakan Unit Layanan Disabilitas (ULD). Hasilnya, lebih kurang 93 perguruan tinggi di Indonesia telah memiliki ULD.
Bagaimana dengan Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta? Kampus yang memiliki reputasi kuat bidang seni ini, sudah menasbihkan diri sebagai perguruan tinggi inklusif sejak beberapa tahun silam. Memberi kesempatan dan meluluskan difabel dengan berbagai jenis difabilitas menjadi bukti. Ada difabel fisik, autis, tuli. Ketiganya di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Serta seorang tottaly blind di Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) jurusan teater.
Inklusivitas lainnya, diwujudkan dengan penyediaan fasilitas aksesibel (aksesibilitas). Diantaranya menyediakan jalan landai atau ramp, jalan pemandu (guiding block), serta lift. Pendampingan dan dukungan teknologi juga disediakan, oleh kampus yang berada di Jalan Parangtritis KM 6.5, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Galeri RJ Katamsi, misalnya. Tempat pameran karya seni ini, menjadi contoh pemberian aksesibilitas yang cukup baik. Di gedung itu sudah menyediakan jalan landai di depan gedung. Sehingga lantai I dapat diakses dengan mudah, oleh para pengguna kursi roda, tongkat penyangga tubuh, anak-anak, ibu hamil dan sebagainya.
Adapun untuk menunju lantai dua, tiga dan empat, Galeri RJ Katamsi ISI Yogyakarta telah menyediakan lift, dengan keluasan 1,5 m. Yang memungkinkan penggguna kursi roda bermanuver dengan leluasa. Lift juga dilengkapi dengan pegangan tangan (hand rail), tombol lift berhuruf braille, suara dan running text atau tulisan berjalan.
Kolaborasi multi kultur
Baru-baru ini Selasa (6/5/2025), ISI Yogyakarta melibatkan komunitas difabel dalam berbagai kegiatan kampus. Sebanyak 35 mahasiswa dan dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), melakukan kunjungan ke Jogja Disability Arts (JDA). Mengusung tema Design Thinking Workshop, kegiatan ini berkolaborasi dengan 12 mahasiswa master of design dan dosen Hochschule Hannover, Germani.
Berdialog dan tukar pikiran atau sharing, mewarnai aktivitas kegiatan yang berlangsung selama lebih kurang tuga jam (09.00 – 12.00 WIB). Pertanyaan-pertanyaan kritis disampaikan para peserta workshop. Apa, bagaimana, tantangan atau problem yang dihadapi JDA, menjadi catatan bagi para mahasiswa baik ISI Yogyakarta maupun Hochschule Hannover.
Kami menyelenggarakan Workshop Design Thinking sebagai upaya kolaboratif untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh komunitas, organisasi, atau instansi terkait di Yogyakarta. Mengidentifikasi isu-isu utama, mengajak pemangku kepentingan dalam merancang solusi inovatif, serta memperkuat sinergi antar sektor guna menciptakan perubahan yang berkelanjutan, ialah tujuan dari workshop.
Tersebut di atas mengemuka dari Dosen FSRD Program Studi Desain Interior Nandang Setiawan, dalam sebuah perbincangan dengan solidernews.com, Selasa (6/5/2025).
“Dalam prosesnya, kami menggunakan metode Design Thinking dengan beberapa tahapan. Yaitu empati, identifikasi masalah, ideasi, pembuatan prototipe, serta pengujian solusi. Dengan demikian strategi yang dihasilkan tidak hanya inovatif, tetapi juga dapat diterapkan secara nyata,” lanjutnya.
Dalam TOR yang diterima solidernews.com dijelaskan bahwa workshop ini juga menghadirkan narasumber dari kalangan masyarakat difabel, untuk berbagi pengalaman serta perspektif berharga dalam merespons berbagai tantangan di masyarakat. Organisasi seni JDA, Sukri Budhidarma menjadi salah satu yang dilibatkan, untuk berbagi praktik-praktik yang dilakukan.
“Kehadiran mereka tidak hanya memperkaya diskusi, tetapi juga mengingatkan pentingnya merancang solusi yang adaptif dan sensitif terhadap keberagaman kebutuhan. Dengan menghadirkan suara-suara yang kerap kurang terdengar, kami berharap proses ini dapat menghasilkan strategi yang lebih menyeluruh, adil, dan berdampak luas,” terang dosen muda lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) 2022 itu.
Disampaikannya pula bahwa, kegiatan tersebut merupakan wadah kolaboratif yang tidak hanya berkontribusi dalam merancang solusi inovatif. Tetapi juga memberikan kesempatan untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam lingkungan yang beragam.
Melalui workshop, mahasiswa akan terlibat dalam proses kreatif dan eksploratif, bertukar wawasan dengan para ahli dari berbagai disiplin, serta bersama-sama menciptakan strategi yang berdampak nyata.
Hadirkan solusi positif
Di akhir kunjungan, Ketua Program Design Thinking Workshop 2025 Shabrina Tamimi, menjelaskan beberapa hal. Pertama, kunjungan kali itu semacam asesmen, atau mencari problem apa yang dihadapi difabel. Hasil atau outputnya, kata dia, bukan berarti hanya desain atau produk. Melainkan, mahasiswa memiliki logika berpikir inklusif. Sehingga mereka mampu berpikir desain inklusif. Hasilnya, bisa jadi sistem, servis, event, atau produk.
“Asesmen ini mencari isu atau masalah apa yang dihadapi teman-teman difabel. Kemudian peserta workshop membuat akan problem statemen dulu. Apa sih masalah yang sebebarnya? Ada tahapan desain thinking yang harus dilewati. Misalnya problem statemen, ideasi (mencari solusi)-nya apa?
Poin-nya, ada positif solusi yang bisa dilakukan. Tidak harus produk, tapi logika berpikirnya inklusif. Bisa servis, sistem, atau event. Yang penting related (berhubungan) dengan problem statemen,” tandas Shabrina yang juga Dosen Desain Interior ISI Yogyakarta itu.
“Dengan kolaborasi multi chulture, yang kali ini dengan case JDA dan Bawayang, Kita ada pemikiran bagaimana dengan isu inklusif, bagaimana mahasiswa bisa mencari solusi bersama, menggunakan desain thinking kolaboratif. Yang terpenting peserta bisa terlibat dalami proses. Sehingga bisa belajar thinking desain incluisive,” pungkas Shabrina Tamimi.
Mustahil tanpa pelibatan semua
Sebagai salah satu organisasi seni yang memberikan kesempatan setara kepada para seniman difabel. Ketua JDA Sukri Budhidarma (Butong), mengapresiasi kunjungan ISI Yogyakarta yang berkolaborasi dengan mahasiswa dari Jerman itu. Ketika berbicara isu difabel, kata dia, dibutuhkan kolaborasi dengan banyak pihak.
Lanjut dia, “Tidak semua tentang isu difabel itu harus difabel sendiri yang memikirkan. Misalnya, ketika bicara tentang filsafat, tak hanya orang-orang dari filsafat saja yang punya pemikiran. Makanya, ketika ada orang lain bicara difabel dengan keilmuannya, sebagai difabel saya pribadi menerimanya. Memberikan kesempatan berbagi dan berkolaborasi. Itu yang selama ini dilakukan JDA,” ujarnya.
Partisipasi dan kolaborasi kelompok difabel dan nondifabel dalam kebijakan dan praktik inklusi sangat penting. Kesempatan setara untuk berpartisipasi dan berkolaborasi pada berbagai aspek kehidupan, serta berperan aktif di dalamnya, dibutuhkan.
Akhirnya, kata Butong, “Bahwa apa yang dilakukan ISI Yogyakarta itu positif. Ada empati, lalu mencari tahu problem atau tantangan yang dihadapi komunitas difabel. Selanjutnya dibawa ke kampus, untuk berpikir desain inklusif. Ada banyak pihak yang dilibatkan, sebagai upaya mendorong inklusivitas kampus,” pungkasnya.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan









