Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Inklusi bukan Mimpi, Hal Kecil Bisa Dimulai dari Bestie

Views: 37

Solidernews.com – Inklusi, sebuah kondisi kesetaraan ideal kini tangah diupayakan berbagai kalangan. Pegiat advokasi difabel, pegiat masyarakat rentan, masyarakat sipil, bersma pemerintah tengah mengupayakan berbagai hal untuk menuju kondisdi tersebut dengan berbagai program. Namun kondisi ideal yang di idamkan tersebut sebenarnya dapat dimulai dari hal-hal kecil. Dari hubungan pertemanan misalnya, inklusivitas dapat dibangun anter teman dalam berbagai kesempatan dan situasi.

 

Kebersamaan antar pertemanan dapat terjadi dalam situasi apapun dan dimanapun. Seperti yang terjadi di Desa Kalisari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Di depan teras rumah, sekelompok anak muda berkumpul memperlihatkan keakraban yang unik, di mana perbedaan tidak menjadi penghalang untuk saling ejek dan tertawa bersama, hingga menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan mengingat kembali momen-momen lucu di masa lalu.

 

Di dalam obrolan santai mereka, terdapat nuansa keakraban yang membuat orang lain merasa canggung sampai tercengang. Salah satu teman, yang memiliki kedifabelan, terkadang menjadi sasaran candaan dari teman yang lain. Meski begitu, tidak terlihat kepedulian yang berlebihan atau kesedihan di wajahnya. Mereka telah membangun hubungan yang sangat kuat sehingga mampu melewati batas-batas stereotip dan ketakutan.

 

Perlu ditekankan bahwa candaan dan ejekan itu tidak mengenal perbedaan. Baik teman difabel maupun non-difabel, saling ejek dengan penuh keakraban. Ini adalah bukti bahwa dalam kebersamaan mereka, tidak ada diskriminasi atau perbedaan perlakuan.

 

Hasanuddin, teman yang kidal;  karena bagian tubuh sebelah kanan lemah mengatakan “Saya tidak merasa tersinggung oleh candaan teman-teman. Itu adalah bentuk  kedekatan yang kami miliki. Malah saya merasa sama seperti yang lain.”

 

Ungkapan ini menunjukkan kedekatan dan kepercayaan yang ada dalam hubungan tersebut. Ini mengindikasikan bahwa teman difabel merasa nyaman dalam lingkungan yang tidak terlalu serius dan dapat berbagi candaan tanpa takut disalahpahami.

 

Pernyataan terakhir Hasanuddin, bahwa dia merasa sama seperti yang lain, menyoroti keinginannya untuk diterima sebagai bagian dari kelompok tanpa adanya diskriminasi atau perlakuan berbeda.

“Kami semua tahu bahwa candaan itu hanyalah bagian dari interaksi kami. Tidak ada yang dimaksudkan untuk menyakiti hati,” tambah yunus non difabel.

“Jika kami kumpul, pasti saya yang banyak dicengin; untungnya saya udah nikah, dan mereka belum pada nikah, jadi saya cengin balik lah,” Ujar Adin difabel amputasi kaki.

“Jika kami kumpul tidak pernah ada batasan. Malah, jika mereka tidak mengecengiku malah saya yang merasa tersinggung,” sambungnya.

 

Jika dalam kehidupan sehari-hari, inklusi bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti sekelompok teman yang duduk bersama tanpa memandang perbedaan. Di lingkungan semacam itu, persahabatan tumbuh dari pengertian, rasa hormat, dan kesamaan, bukan dari pertimbangan tentang apakah seseorang memiliki kebutuhan khusus atau tidak.

 

Misalnya, bayangkan sekelompok teman yang secara rutin berkumpul di kedai kopi atau di taman setiap akhir pekan. Mereka adalah campuran dari berbagai latar belakang, kepentingan. Di antara mereka mungkin ada yang difabel, mungkin seseorang yang menggunakan kursi roda atau seseorang dengan gangguan pendengaran dan mereka tidak memedulikan perbedaan tersebut. Mereka menghargai satu sama lain karena siapa mereka, bukan karena apa yang mereka miliki. Mereka saling mendukung, saling menghargai, dan saling memahami.

 

Jika semangat inklusi semacam ini dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas di masyarakat, maka diskriminasi terhadap teman difabel bisa diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Inklusi bukan hanya sekedar membangun aksesibilitas fisik, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang menerima dan menghargai keberagaman.

 

Dengan menciptakan kesadaran akan pentingnya inklusi dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat membawa perubahan positif dalam cara kita memperlakukan satu sama lain. Inklusi bukan hanya menjadi tujuan yang dicapai, tetapi juga menjadi proses yang terus-menerus diperjuangkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih ramah bagi semua.

 

Cerita ini menunjukkan bahwa teman-teman tersebut menjadi contoh bagaimana inklusivitas bisa diwujudkan melalui tindakan-tindakan kecil, dan bahwa dengan saling menghargai serta menerima perbedaan, lingkungan yang hangat dan inklusif dapat diciptakan bagi semua orang. Dengan kesadaran akan pentingnya inklusi dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, semoga tulisan ini mendorong perubahan positif dalam cara kita memperlakukan satu sama lain, menuju masyarakat yang lebih ramah bagi semua tanpa terkecuali.[]

 

Penulis: Apipudin

Editor    : Ajiwan Arief

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content