Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ini Tantangan Difabel Kasat Mata dengan Difabel tak Kasat Mata

Views: 19

Solidernews.com – Difabel kasat mata merupakan istilah untuk difabel yang kedifabelan nya terlihat oleh mata telanjang. Ada banyak daftar nama difabel kasat mata yang bisa penulis sebutkan, namun mayoritas dari mereka biasanya memiliki difabel jenis daksa atau fisik.

 

Sedangkan difabel tak kasat mata adalah difabel yang kedifabelannya tidak bisa langsung terlihat oleh mata telanjang. Daftar nama untuk difabel tak kasat mata ini bisa banyak jumlahnya, namun biasanya jenis difabel yang masuk kategori ini adalah difabel sensorik tingkat ringan, difabel intelektual tingkat ringan, difabel mental tingkat ringan hingga sedang dan mayoritas orang dengan penyakit kronis tingkat ringan hingga sedang.

 

Tantangan difabel kasat mata vs tantangan difabel tak kasat mata

Tingkat terlihatnya difabel yang dimiliki oleh setiap orang dengan ragam difabel yang berbeda beda menentukan perbedaan tantangan yang akan dihadapi oleh orang difabel tersebut.

 

Pertama yaitu perbedaan dalam hal tantangan penerimaan masyarakat terhadap difabel tersebut dalam berbagai setting kehidupan. Contoh pertama yaitu dalam setting pekerjaan, dalam setting ini orang yang memiliki difabel kasat mata biasanya menerima penolakan dari pihak pencari kerja pada saat difabel orang tersebut tampak oleh penerima kerja tersebut. Berbeda ceritanya dengan difabel tak kasat mata yang biasanya akan mengalami kesulitan pada saat sudah diterima suatu pekerjaan karena difabel yang dialaminya. Pada saat orang tersebut mengungkapkan difabelnya, barulah penolakan akan mulai terjadi baik itu dalam bentuk pengasingan dari pergaulan dunia kerja hingga dibuat tidak betahnya orang tersebut agar orang tersebut resign dengan sendirinya sehingga perusahaan tidak perlu membayar uang tunjangan. Begitupula dalam hal setting pergaulan kehidupan sosial, kurang lebih tantangannya memiliki pola yang mirip. Orang dengan difabel kasat mata akan ditolak pada awal proses bergaul pada saat difabelnya tersebut pertama kalinya terlihat oleh orang lain. Sedangkan untuk difabel tak kasat mata, biasanya penolakannya akan mulai terjadi Ketika difabel tersebut mengungkapkan difabelnya akibat kesulitan untuk menyembunyikan difabelnya dalam jangka waktu yang lama. Dari sini dapat dilihat bahwa difabel kasat mata biasanya mengalami penolakan pada saat difabelnya pertama kali terlihat oleh orang lain, sedangkan difabel tak kasat mata biasanya mengalami penolakan di akhir pada saat orang difabel tersebut mengungkap kedifabelan nnya.

 

Kedua yaitu tantangan dalam hal pengakuan identitas difabelnya di mata masyarakat. Bagi orang dengan difabel kasat mata, pengakuan identitas difabel yang dimilikinya di mata Masyarakat cenderung lebih mudah. Tidak akan banyak perdebatan yang terjadi di masyarakat pada saat membicarakan status difabel yang dimiliki seseorang pada saat seseorang memiliki difabel yang terlihat. Berbeda ceritanya dengan difabel tak kasat mata. Biasanya orang dengan kondisi difabel tak kasat mata memiliki kesulitan untuk mendapatkan pengakuan identitas difabelnya di mata Masyarakat. Hal ini khususnya dialami oleh orang dengan difabel mental dan orang dengan penyakit kronis baik itu karena kelainan genetic sejak lahir maupun gangguan yang baru terjadi di usia tertentu. Selain itu, tenaga ahli Kesehatan yang merupakan bagian dari Masyarakat saja akan memperdebatkan status difabel yang dimiliki orang dengan difabel tak kasat mata tersebut, apalagi Masyarakat awam yang sama sekali tidak belajar terkait kondisi difabel tak kasat mata yang dialami orang tersebut.

Ketiga yaitu dari segi dukungan yang didapatkan dari masyarakat kepada difabel tersebut. Kondisi difabel kasat mata yang terlihat oleh orang lain biasanya membuat sebagian orang merasa iba sehingga orang lain akan rela untuk membantu difabel tersebut. Contoh, difabel daksa dibantu untuk menaiki kendaraan yang memiliki tangga. Contoh lain yaitu dipersilahkannya difabel daksa untuk duduk di kursi yang sudah ditempati penumpang tersebut. Contoh lainnya adalah tidak akan ada teguran yang didapat oleh difabel tersebut pada saat menggunakan fasilitas untuk difabel apabila difabel yang dialami oleh orang tersebut adalah difabel kasat mata. Namun berbeda ceritanya dengan pengalaman hidup orang dengan difabel tak kasat mata. Misalnya, orang difabel yang memiliki jenis difabel penyakit kronis fibromyalgia tidak akan dibantu pada saat menaiki bis bertangga, tidak akan ditawari tempat duduk oleh orang tertentu, dan akan diusir apabila menempati fasilitas yang diperuntukkan untuk difabel. Padahal kondisi fibromyalgia membuat orang tersebut akan merasakan rasa sakit disekujur badan setiap saat ia bergerak. Padahal difabel daksa maupun fibromyalgia sama sama jenis difabel Fisik. Namun dukungan yang didapat sangat berbeda, satunya mendapat dukungan yang layak, satunya tidak mendapatkan dukungan yang layak. Semua itu semata mata karena hanya karena difabel yang satunya terlihat, sedangkan difabel yang satunya lagi tidak terlihat.

 

Keempat yaitu tantangan yang masih berkaitan dengan dukungan. Namun tantangan keempat ini lebih spesifik ke akomodasi yang layak untuk jenis difabel tertentu. Untuk difabel yang kasat mata seperti difabel daksa dan untuk sebagian difabel tak kasat mata seperti difabel Sensorik yang dialami secara tunggal, buku Paduan khusus yang dibuat yang menjabarkan cara cara spesifik untuk mendampingi difabel tersebut sudah ada sehingga seharusnya lebih mudah bagi orang lain untuk mengetahui cara mendampingi difabel tersebut. Namun kenyataannya di lapangan adalah tidak banyak yang ingin mempelajari terkait hal tersebut sehingga implementasi dari isi buku Paduan tersebut masih buruk di lapangan. Berbeda ceritanya dengan sebagian difabel tak kasat mata yang lain seperti difabel mental dan difabel penyakit kronis, buku Paduan khusus yang berisi cara spesifik mendampingi difabel mental dan penyakit kronis belum ada. Andaikan ada, biasanya hanya ad acara pendampingan untuk difabel tersebut yang menjabarkan garis besarnya saja. Sisanya apabila orang dengan kondisi difabel mental dan difabel penyakit kronis tersebut memburuk maka tidak ada pilihan lain selain membawa mereka ke tenaga Kesehatan professional yang bisa menangani mereka pada saat gangguan difabelnya memburuk.

Pesan yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah baik itu difabel kasat mata maupun difabel tak kasat mata memiliki tantangan yang mereka alami yang berbeda beda antar jenis difabel. Tantangan tantangan tersebut harus dihadapi dengan cara mempelajari jenis difabel yang dialami dan menemukenali dukungan yang layak yang tepat untuk jenis difabel tertentu. Selain itu, tidak semua difabel itu harus terlihat ke difabel an nya oleh orang lain karena difabel ada juga yang tidak terlihat. Ketiga, difabel tak kasat mata biasanya membutuhkan intensitas bantuan tenaga Kesehatan professional dengan frekuensi yang lebih sering dibandingkan difabel kasat mata. Kalau dalam UU 8 tahun 2016, hak tersebut Bernama habilitasi dan rehabilitasi.[]

 

Penulis: Rahmat Fahri Naim

Editor    : Ajiwan

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content