Views: 27
Solidernews.com – Siapa sih yang tidak ingin menggapai kemandirian hidup? Tentu, kemandirian peribadi merupakan tujuan setiap manusia yang beranjak dewasa. Namun entah mengapa bila melihat zaman modern kini, kemandirian itu serasa terjal, curam, dan seolah menjadi pencapaian yang rumit. Khususnya bagi sahabat-sahabat muda difabel Gen Z.
Secara pemahaman dasar, kemandirian dapat dipahami dengan suatu perilaku yang dapat ditunjukkan dengan kemampuan untuk berinisiatif, mengatasi masalah yang terjadi, dan dapat menjalankan berbagai kegiatan dengan baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pribadi ataupun kepentingan umum. Dengan hal itu, manusia dapat lebih merdeka dalam memutuskan, melakukan, dan mengaktualisasi hidupnya .
Bila meninjau dari Sophie Bethune dalam risetnya yang diterbitkan american psychological association pada Januari 2019 di Amerika, menyatakan Generasi Z sangat rentan terkena gangguan kesehatan mental. Beberapa persentase yang dipaparkan menunjukkan permasalahan yang kompleks. Mulai dari permasalahan kejahatan, diskriminasi, perkerjaan, pengaruh media sosial, dan sejenisnya. Hal ini tentunya berdampak besar pada proses menggapai hidup mandiri generasi ini, tidak terkecuali para gen Z difabel.
Masalah dan Tantangan Mental Difabel Gen Z yang lebih Kompleks
Bila cita-cita itu dikaitkan dengan tujuan masa depan, bagi difabel keadaan mandiri pun menjadi cita-cita. Tetapi cita-cita itu penuh luka dan masalah yang kompleks. Bahkan generasi Z yang non difabel pun mengalami masalah kompleks, seperti: Krisis mental, tekanan, hegemoni media sosial, depresi, dan permasalahan lainnya, membuat generasi Z sering terbentur pada keadaan yang rumit. Hal tadi juga terjadi pada kaum difabel. Hanya porsi tadi masih ditambah dengan masalah penerimaan diri, minder, dan minimnya pendampingan difabel yang bisa didapat secara mudah.
Belum lagi Gen Z difabel harus melewati masalah klasik, seperti: diskriminasi, kurangnya penerimaan sosial, stigma negatif, dan aksesibilitas, yang sampai kini masih menghajar tanpa ampun. Kadang benturan itu masih ditambah dengan orang tua yang tidak bisa mengarahkan dan tidak mau pusing mencari alternatif solusi masalah bagi anggota keluarga yang difabel. Mereka terkadang hanya melarang, menjaga, dan membatasi, seperti keadaan seekor burung yang dipenjara di sangkar emas.
Minimnya pemahaman isu difabel pada masyarakat
Secara garis besar mengapa kemandirian sangat sulit tergapai para difabel, salah satu masalah dasarnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat pada isu difabel. Tidak jarang masyarakat menganggap bahwa difabel itu adalah sekelompok orang yang lemah, tidak memiliki kompetensi, dan stigma negatif lainnya. Sehingga para difabel cenderung dijadikan objek yang dilemahkan dan untuk selalu dikasihani.
Hal tersebut tentunya cukup mengganggu proses kemandirian seorang difabel. Belum lagi perlakuan diskriminatif masyarakat pada golongan ini, seperti: perlakuan protektif berlebihan, bullying, dan kurangnya kepercayyaan masyarakat pada golongan ini. Dampak yang paling menonjol adalah para difabel jadi kurang percaya diri untuk menunjukkan kemampuannya di tengah-tengah masyarakat.
Tidak jarang ada beberapa pandangan masyarakat yang kurang tepat saat menilai keadaan difabel. Di beberapa kasus ada yang mengatakan difabel itu kutukan, mereka kaum yang tidak berguna, dan kadang menjadi perumpamaan sebuah kondisi hidup yang tidak beruntung. Padahal kondisi difabel bisa diterangkan secara medis. Tidak semua itu harus dikaitkan dengan hal-hal mistis atau sejenisnya. Hal ini tentunya akan menambah beban sosok difabel yang ingin menggapai kemandiriannya.
Kurangnya Wadah yang Mengembangkan Difabel
Harus saya akui pemerintah juga terus berkerja keras demi meningkatkan kemandirian para difabel. Namun, seolah isu difabel menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Mengapa begitu? Mungkin persoalan dasarnya adalah wadah yang meningkatkan kualitas difabel dari segi keterampilan, pengalaman, kreativitas, dan perkerjaan masih belum tercipta dengan baik. Bila ada pun hal ini masih belum tersebar dengan merata.
Persoalan wadah pengembangan kualitas difabel ini sebenarnya menjadi hal yang vital. Karena yang dikembangkan adalah kemampuan untuk menggapai kemandirian. Baik dari segi ekonomi, kesempatan kerja, belajar, dan lingkungan yang suport. Sehingga bukan hanya secara fisik saja, namun kemandirian jangka panjang harus menjadi kesadaran bersama. Baik dari difabel mau pun masyarakat non-difabel.
Aspek yang mendukung tergapainya kemandirian ada dua faktor. Pertama kualitas jasmani dan ruhani. Kedua hal itu ditingkatkan sesuai pada tingkat kemampuan masing-masing. Jadi, wadah pengembangan diri ini begitu penting adanya untuk membentuk jiwa dan batin difabel agar lebih optimis memandang masa depan di kemudian hari. Informasi merata, dukungan, dan diberikannya kesempatan mencoba bisa menjadi langkah kecil kita sebagai wujud kepedulian pada golongan ini.
Momok Kemiskinan yang Setia Mengintai
Salah satu sebab sulitnya pengembangan diri pada sosok difabel adalah mayoritas golongan ini berada pada kondisi ekonomi yang berada di garis bawah. Mengapa begitu? Jelas, karena perkerjaan yang sulit digapai, sulitnya mendapatkan informasi yang terbaru, persebaran wadah yang tidak merata, pemerintah yang kurang dekat dengan golongan ini, dan pola pikir difabel yang kadang juga memandang diri mereka itu lemah tidak bisa melakukan apa-apa.
Harus kita akui elemen ekonomi ini menjadi faktor vital dalam meningkatkan diri, baik soft skill dan hard skill. Memang ada program beasiswa dari pemerintah, pihak swasta, dan pihak terkait. Tapi untuk menempuh pendidikan, mendapatkan akses informasi, kesehatan, dan kesempatan kerja, nyatanya begitu mahal bagi difabel. Karena masih banyak dari golongan ini yang tercekik kemiskinan. Bagaimana golongan ini bisa mendapatkan beasiswa yang jelas memiliki syarat dan kualifikasi, bila mereka minder, lapar, sakit, dan dikekang oleh keluarga? Maka dari itu ini memang hal yang tidak sederhana bagi difabel.
Secercah Solusi Untuk Penyandang Difabel
Dari beberapa hal di atas, tentunya aspek pendampingan, sesi konseling, dan pemberian pelatihan yang dibutuhkan sesuai zaman menjadi poin penting. Pemerintah, masyarakat, orang tua, dan difabel hendaknya memiliki sikap saling terbuka, kepedulian, dan rasa menghargai agar bisa memahami satu sama lain. Berikan kepercayaan dan kesempatan nyata tanpa adanya intervensi tentunya membantu meningkatkan daya sosialisasi bagi difabel.
Bagi difabel layaknya juga memiliki komunikasi yang baik. Sampaikan kebutuhan, aspirasi, minat, dan hal-hal lain dengan pihak terkait. Jangan menjadi jiwa yang konsumtif, harus selalu dibantu, pelit informasi, dan merasa semua yang kini digapai tidak boleh diketahui sesama difabel. Budayakan sharing pengetahuan, pengalaman, dan penguatan pada sesama difabel. Hindari bullying, sarkasme, dan sejenisnya. Mari bersama meningkatkan kualitas diri sesuai bidang yang diminati.
“Bersama kolaborasi masyarakat, difabel menggapai martabat!”[]
Penulis: Wachid
Editor : Ajiwan