Views: 41
Solidernews.com – Memiliki pekerjaan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah, tentunya menjadi tujuan hidup manusia dewasa. Karena dengan berkerja dan memiliki penghasilan, tentunya memberikan dampak yang signifikan untuk kesejahteraan setiap manusia. Termasuk didalamnya adalah masyarakat difabel yang mencapai usia dewasa.
Tidak jarang perkejaan bagi difabel itu mengalami persoalan yang cenderung segmented dan dikotak-kotakkan oleh masyarakat. Seperti difabel netra yang di-stereotype sebagai pemijat dan penjual kerupuk, difabel fisik sebagai teknisi elektro, dan sebagainnya. Tentunya pandangan masyarakat yang seperti itu, sangat merugikan bagi para difabel. Mereka seolah tidak memiliki peluang kerja lain, dan bila berusaha di bidang yang bukan menjadi keumuman (menurut pandangan masyarakat) biasanya para difabel akan menerima cibiran.
Hal di atas tentunya bertentangan dengan UU. No. 8 Tahun 2016 tentang kesetaraan hak bagi disabilitas dan PP. No. 52 Tahun 2019 tentang Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas. Dimana dalam kedua aturan tersebut, tidak ada pembatasan kerja dan peluang usaha bagi difabel. Jadi, cukup tidak benar bila stereotype dan stigma tersebut disandangkan secara sepihak pada para difabel.
Namun terkadang pengkotak-kotakan profesi itu juga kadang memang digaungkan sendiri oleh para difabel yang fanatik akan profesi yang sudah diidentikkan tersebut. Banyak sebab memang. Ada yang memang dilandasi pada pengalaman kerja yang bagus, ada juga yang memang fanatik buta, dan enggannya untuk diajak berkembang lebih jauh. Sehingga mereka seperti katak dalam tempurung yang sulit menggapai dunia luar.
Asal Berani Mencoba dan Memiliki Kemampuan
Pada tahun 2023 menjadi titik awal perjuangan bagi saya. Sebab pada tahun tersebut, saya mendapatkan tawaran kerja sebagai guru ekstrakulikuler di MTS 2 Sleman Yogyakarta sebagai guru seni hadrah. Tentu tawaran tersebut saya terima, karena saya memang berkecimpung di kesenian musik religi hadrah.
Sebagai difabel netra saya tentunya memiliki tantangan yang tidak mudah. Tempat yang menawarkan saya menjadi guru ekstrakurikuler tersebut, adalah sekolah formal yang belum mengadaptasi sistem pendidikan inklusi. Apakah hanya karena hal tersebut saya mundur? Tentu tidak. Tepat di awal tahun 2023 saya resmi menjadi guru ekstrakurikuler hadrah di MTsN 2 Sleman.
Awal kedatangan saya, sambutan dari madrasah kepada saya cukup baik. Mereka hanya menanyakan pengalaman saya sejauh apa berkecimpung di kesenian hadrah. Saat saya jelaskan kalau saya tergabung dalam UKM JQH Al Mizan UIN Sunan Kalijaga, pihak madrasah langsung memberikan kesempatan. Sebab sebagian guru ekstrakurikuler mereka juga mengambil dari Al Mizan. Seperti guru tahfidz dan lain-lain. Karena Al Mizan terdiri dari 5 divisi, yaitu: tilawah, tahfidz, kaligrafi, selawat, dan tafsir Al Quran.
Bangun Strategi Mengajar yang Nyaman Untuk Siswa dan Pengajar Difabel
Dalam proses saya mengajar, untuk memaksimalkan kelas, saya melakukan strategi partner tandem dalam mengajar. Sebab dengan adanya partner mengajar dari orang yang saya percaya, tentunya orang tersebut dapat menyempurnakan kekurangan saya dalam bidang visual. Partner tersebut dapat membantu soal mengisi tanda tangan guru, mengawasi murid, dan membantu mobilitas saat mengajar. Selain itu, ia juga dapat berperan membantu saya untuk mengajar bidang lain. Sebab dalam seni hadrah ada dua elemen secara umum, yaitu: bagian vokalis dan pemain perkusi (pemain alat musik).
Dengan adanya partner tandem, saya dapat mendistribusikan pengajaran secara lebih maksimal. Misal: saya bagian perkusi dan partner saya berada di wilayah pengolahan vokalis. Tapi sekali lagi, semua itu tidak mudah. Berbagai tantangan pasti bermunculan. Namun, saya yakin kalau semua ini saya lakukan dengan professional, tanggung jawab, dan kompetensi yang saya miliki, kelas hadrah ini dapat berjalan dengan baik.
Semula partner saya juga merasa ragu akan tawaran mengajar dengan saya yang difabel netra. Namun, saya sampaikan padanya bahwa yang tidak berfungsi pada diri saya hanyalah organ mata. Jadi, untuk naluri, pendengaran, daya kreatif, kemampuan kognitif, dan strategi pengajaran sudah saya kantongi. Makanya, ia akhirnya memantapkan diri untuk membantu saya mengajar di MTsN 2 Sleman sebagai guru ekstrakurikuler hadrah.
“Awalnya memang saya ragu, mas. Sebab ini mengajar siswa di sekolah yang notabene disitu adalah sekolah formal yang belum menerapkan konsep inklusi. Tapi saat melihat keyakinan sampean, proses mas Wachid di Al Mizan, dan beberapa kali event hadrah yang kita lalui, makanya saya putuskan untuk meyakinkan diri membantu sampean,” tutur Malik (Partner tandem mengajar di ekstrakurikuler hadrah), menceritakan pengalamannya saat mengajar dengan saya pada 20/5/2024.
Maksimalkan Potensi dan Jangan Ragu Karena Kedifabelan
Pada proses selama mengajar hingga hari ini, Malik, partner mengajar saya menyatakan proses belajar yang kami jalankan secara keseluruhan relatif lancar. Bahkan kami berhasil membawa murid ajar untuk mengikuti perlombaan. Yang mana sebelumnya sekolah ini cukup lama tidak mengikuti lomba hadrah. Karena tiadanya guru yang mengajar ekstrakurikuler. Selain itu, ketika Indonesia dilanda Covid-19 kegiatan kreativitas seni hadrah mandek. Jadi, kami membangun dari awal untuk skill hadrah di MTsN 2 Sleman.
Karena saya menyadari kondisi kedifabelan saya, komunikasi, strategi mengajar, dan penentuan metode ajar terus saya gali untuk menemukan formula yang pas. Sehingga dengan perjuangan tersebut, kami dapat mementaskan siswa di agenda-agenda madrasah dengan lancar.
Warsul staf MTsN 2 Sleman saat saya temui sewaktu selesai mengajar pada Senin, 27/5/2024, menyampaikan banyak terimakasih pada kerja keras saya dan Malik. Ia menyampaikan apresiasi dan support pada setiap metode yang kami ceritakan. Selain itu Nasir WAKA MTsN 2 Sleman, di hari yang sama juga memberikan respons positif pada pencapaian ekstrakurikuler hadrah.
Dari pengalaman di atas, saya dapat membuktikan bahwa difabel pun bisa mengajar di sekolah yang belum menerapkan inklusivitas di lingkungan sekolah. Tentu itu saya lakoni dengan perjuangan dan pembuktian dengan kompetensi dan keahlian yang dimiliki. Jadi, kesempatan kerja itu diberikan bukan karena “Kasihan” melainkan karena difabel tersebut memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sekolah.
Maka dari itu, UU. No. 8 Tahun 2016 tentang kesetaraan hak bagi disabilitas dan PP. No. 52 Tahun 2019 tentang Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas, tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan masyarakat penyedia kerja. Melainkan kita sebagai difabel juga harus terus berperan aktif untuk memberikan bukti dan edukasi pada masyarakat non-difabel, bahwasanya kita bisa kok berkerja di lingkup formal. Bukan hanya pada pekerjaan yang di-stereotype pada difabel saja. Namun, jelas tidak mudah. Tapi bila dibarengi keyakinan, keteguhan, kedisiplinan, dan strategi, semua itu pasti ada jalannya.[]
Penulis: Wachid
Editor : Ajiwan