Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ini Kata Bagus Utomo : Dari Pengampuan, Terminologi ODGJ hingga Panti

Views: 12

Solidernews.com – Beberapa waktu lalu solidernews.com mewawancarai Bagus Utomo, pendiri dan ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) dan ini bagian kedua.

Tanya : Bagaimana tentang Pengampuan?

Jawab : Pengampuan jadi rancu gara-gara ada organisasi terlalu vokal. Padahal tidak semua difabel harus merdeka sepenuhnya dari caregiver. Karena di Indonesia sistem sosial belum jalan. Kalau di sana (Australia_red) usia 18 tahun kalau anak disabilitas jadi anak negara : dipenuhi haknya, hidupnya bermartabat. Kalau di sini soal pengampuan benar-benar dalam pengobatan keluarga, tidak boleh memutuskan, padahal jika kambuh balik lagi ke keluarga. Padahal kalau dia serampangan gitu,  orang bisa  terlantar.

Pengampuan berhadap hukum biasanya pada  Hak Waris dan Pengampuan Anak. Yang paling banyak di situ. Pada hak reproduksi misalnya, bagaimana dengan bipolar yang mania, misalnya  dia tidur di sana sini, alami seks bebas. Akhirnya keluarga yang ketempuhan, hamil lagi, hamil lagi. Ke orangtuanya akhirnya ya, sudah disterilkan. Itu yang dilakukan sepihak oleh keluarganya. Nah yang harus dilakukan oleh keluarganya adalah, pemerintahnya harusnya menolak jika ada petugas kesehatan yang melakukan tanpa consent. Dalam isu kesehatan lainnya harus consent. Mau ada kasus khusus harus ada fakta, saksi ahli dan sebagainya. Dia berhak milih sehingga bisa balance.

Tanya : Bagaimana dengan aturan BPJS Kesehatan yang tidak mengkaver sakit akibat bunuh diri?

Jawab : Saya bertahun memperjuangkan misalnya dia minum Baygon tapi tidak meninggal. Oleh dokter kemudian ditulis intoksinasi, keracunan. Atau dia gantung diri. Dimasukkannya ke depresi masih bisa. Tapi itu kebijakan dari kemanusiaan dokternya. Sistem ini masih rancu karena mengacu asuransi swasta jadi masalah kesehatan jiwa tidak terkaver terkait upaya bunuh diri.

Harusnya kalau ada kasus bunuh diri yang disebabkan oleh masalah gangguan mentalnya ya nggak harus ‘kucing-kucingan dengan peraturan dong.

Tanya : Bagaimana dengan pilihan istilah yang digunakan? Seperti kita ketahui  KPSI masih konsisten menggunakan kata Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Jawab : Perjalanan kita waktu membentuk Undang-Undang Kesehatan Jiwa,  kita berdebat soal istilah, istilah lagi istilah lagi. Menurut saya, itu masalah selera. Saya masih berpegang teguh istilah ODGJ karena bukan hanya ada di Undang-Undang tapi di luar negeri juga begitu kan, People with mental illness. Dan itu masalah rasa tidak perlu diperdebatkan. People with mental illness salahnya apa.

Demikian juga saya pernah ceramah di Australia. Kalau saya bilang disabilitas psikososial itu jelek karena sudah ada masalah psikologis, masalah sosial lagi. Hayoo…ini kan masalah selera sehingga tidak  akan selesai. Di Australia, saya bilang, saya dari komunitas peduli skizofrenia. Jawabnya ,”oh menarik juga, ya,”. Itu  bagaimana di negara lain yang tidak berbahasa Inggris, istilah skizofrenia itu dianggap netral saja, dan tidak ada stigmanya. Sementara di negara yang menggunakan bahasa Inggris, menyebut skizofrenia itu kesannya negatif.

Kembali lagi sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Itu yang ada di Naskah Akademik Undang-Undang  Kesehatan Jiwa sampai konsenyering bahwa ini adalah proses : tadinya orang gila, kenthir, gendeng dan sebagainya. Kita jadi ODMK untuk mereka yang baru berisiko atau  ringan. Kemudian ODGJ untuk kondisi berat. Sekarang ada lagi. Istilah life experience yakni orang yang  mengalami untuk memberikan penghargaan lagi. Sampai saat orang itu nggak ngurusin bahasa lagi.  Yang penting pulih, sebab diagnosa hanya untuk mengenali gejala. Sama dengan penyakit lain. Kan orang sudah tidak lagi menyebut kata ‘gila’ dengan stigma mereka yang menggelandang, dipasung tapi ‘gila’ itu sebagai sesuatu yang extra ordinary,orang jenius.

Kita akui pasien-pasien skizofrenia, jika  dia tidak minum obat lagi maka dia kambuh lagi. contoh : (ia menyebut satu nama) begitu lepas dari KPSI bikin organisasi sendiri, lalu tidak ada yang mengingatkan minum obat. Sekarang oleh  keluarganya dimasukkan ke panti tradisional. Terpaksa saya ambil lalu, saya masukkan pantinya dokter Heri.

Bayangkan, padahal dia mengedukasi dan menginspirasi banyak orang. Dia bisa kehilangan tilik diri lagi. Makanya Pengampuan untuk  kasus skizofrenia itu tidak bisa tanpa peran keluarga. Full otonomi ada kasus per kasus. Untuk kasus lainnya jangan dicabut sama sekali peran  keluarga..

Saya kapan waktu diundang kementerian sosial untuk revisi peraturan yang nomor sekian. Sebuah organisasi merekrut teman disabilitas netra untuk direkrut. Mereka bilang tidak boleh, mereka harus otonomi. Tidak boleh ada peran keluarga, decicion making. Kemudian didukung teman-teman dari pegiat down syndrome. Jadi nggak boleh kalau gitu.  Teman-teman itu bilang, “Anak-anak kami membutuhkan keluarga.”

Indonesia sebagian penduduknya adalah muslim yang sangat menghargai nasab. Kalau kita cabut gitu saja bisa terjadi konflik dengan budaya setempat, norma-norma yang ada. Kecuali negara mau hadir bahwa si ini ingin hidup merdeka, cariin pekerja sosial cariin rumah, bawa berobat. kalau di Indonesia kencang dibuang oleh keluarganya. Buktinya KPSI ditelponin melulu mau nitip keluarganya. Kalau serampangan begitu maka berdampaklah kebijakan kita. Ada teman-teman di satu organisasi  kehilangan support system ya. Perjuangan masih panjang.

Tanya : Bagaimana dengan panti, apakah masih relevan?

Jawab : Saya ngomong sama pemerintah : Kita itu konsepnya panti itu bentuknya penampungan sementara, di luar negeri bentuknya rumah antara, independent housing yang dibiayai oleh pemerintah. Jadi dia bisa masuk situ gratis tapi nanti ada petugas sosial ngecek obat. Dia bebas mau kerja, mau gaul.

Konsep panti harus sudah berubah dengan pilihan-pilihan dimana mereka yang masuk itu sesuai dengan kondisi masing-masing misalnya untuk pendampingan yang intensif bentuknya masih asrama. Untuk tilikan dirinya yang masih buruk. masih butuh assitensi dari petugas, masih dengan bentuk yang lama tidak apa-apa, tapi masih bekerja sama dengan layanan kesehatan. Sehingga standarnya memenuhi HAM.

Ada lagi rumah antara, dia ada gejala kambuh. dia dititip oleh  keluarganya di situ. Kalau gejalanya meningkat dikirim ke rumah sakit jiwa. Kalau sudah baik pulanglah di panti itu. Keluarganya diedukasi untuk bisa menerimanya. Konsep kedua adalah rumah antara yang disitu ia bebas pergi ke mana saja. Ada lagi yang bentuknya rumah-rumah petak,  yang dia bebas tinggal di situ tapi disubsidi oleh pemerintah.

Masalah perumahan bagi difabel, bukan gangguan jiwa saja. Kalau di Jerman, rumah seperti itu, rumah komunal namanya. Satu rumah ada 10 kamar, dua lantai,  lantai satu bagi teman+teman yang punya kendala mobilitas, bagi kursi roda dan sebagiannya. yang atas bagi disabilitas lain yang tidak ada kendala mobilitas,  mereka harus merangkak satu rumah.  Beberapa orang jadi seakan-akan membentuk satu keluarga, ada living room, ada dapurnya. Saling jaga satu sama lain,  dan dikunjungi oleh petugas secara rutin.

Ini kan inovasi sehingga bentuknya pesantren kesehatan tapi bentuknya seperti kamp konsentrasi. Ada jeruji- jeruji,dan tidak mau bekerja sama dengan medis. Kemarin di sebuah pesantren setelah datang orang medis, setelah  diperiksa sebagian pasien kena hepatitis. Yang sehat masuk situ keluar lagi, Jadi karena negara belum mau hadir sepenuhnya maka masih banyak PR. Belum lagi para kepala daerah yang tidak mau mengeluarkan uang banyak buat bikin panti bina laras untuk orang-orang terlantar. Di Jakarta sendiri overload tapi rata-rata penghuninya dari Jawa Barat, dan tempat lain. Kalau sudah ingat maka akan dipulangkan. Ada keluarga yang dipulangkan. Ada yang tidak punya keluarga sama sekali dan dirawat seumur hidup. Ada ratusan orang.

Ada tiga panti di DKI dan sudah jalan. makanya di jalan sudah jarang terlihat ODGJ.  Beda dengan di Jawa Barat, di Banten. Itu dari zaman Pak Ahok, dia memiliki  teman kuliah skizofrenia. Kita masih berkutat dengan masalah-masalah yang sama. Pabrik obat saja ya. saya sebut x (nama perusahaan_red) untuk skizofrenia itu, hipotesisnya sudah hampir final. Bahwa memang sistem dopamin dan sebagainya harus dengan pengobatan. Tapi sampai sekarang kita masih bergumul dengan ketidakpatuhan minum obat. Ini masalahnya itu itu lagi mereka kemudian mencari kandungan zatnya sudah final tinggal cari konsumsi obatnya caranya bagaimana. Makanya dia bikin long active injection yang sebulan sekali. Sekarang sudah ada yang tiga bulan sekali. Kalau perlu bikin  yang setahun sekali. Bentuknya misalnya seperti susuk KB-lah. Dia nggak harus minum obat. Bisa saja seperti itu sehingga dia lebih nyaman, keluarganya juga tidak capek.[]

 

Reporter: Astuti

Editor     : Ajiwan Arief

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content