Views: 13
Solidernews.com – Mungkin kita pernah mendengar kalimat ini: “Put something in the right plase,” yang kira-kira bila kita maknai dalam konteks bahasa Indonesia, berarti tempatkanlah sesuatu pada tempatnya. Pepatah ini harus kita internalisasi dalam diri dan perbuatan, termasuk dalam menilai kinerja para pemangku kebijakan di negeri ini. Tak dapat dipungkiri bahwa pemangku kebijakan di negeri ini masih sering tidak maksimal dalam penegakan dan impelementasi regulasi yang mereka buat sendiri. Masih banyak regulasi-regulasi yang belum tepat sasaran, terutama mengenai regulasi tentang pemenuhan hak-hak difabel. Tetapi, apakah kita pesimis kepada mereka sang pemangku kebijakan itu? Menurut penulis, hal tersebut kurang tepat juga. Toh, pemangku kebijakan yang kini berkuasa juga pilihan rakyat itu sendiri, termasuk kita semua. Jadi, sungguh kurang elok bila kita menyesali dan selalu menghujat segala kebijakan yang diambil oleh para pemangku kebijakan yang notabenenya kita pilih sendiri.
Apakah penulis termasuk sangat pro pemerintah? Sebenarnya, tidak juga. Penulis juga sering memberi kritik dan saran kepada pemerintah. Namun, penulis juga merasa perlu mengajak diri dan semua pembaca agar lebih jeli dan objektif lagi dalam menilai sesuatu. Istilahnya, “boleh menilai, tetapi jangan sekali-kali gemar menghakimi.” Jangan-jangan kita semua yang kini sering menghujat penguasa dan menganggap semua kebijakannya adalah buruk, malah pada waktu silam kita adalah pendukung fanatik. Atau bisa jadi, kita pada waktu yang lalu merupakan pendukung lawan politik penguasa sekarang, tapi kan kita juga lihat, bahwa mereka para elit itu malah sekarang ini telah menjadi satu, dan bahkan menjadi bagian penting dalam kabinet kekuasaan. Marilah kita sebagai manusia pembelajar, terutama kita yang difabel membuka mata hati, pikiran, dan meluaskan perasaan, bahwa jangan-jangan kita adalah korban dari permainan politik busuk mereka aktor-aktor di balik layar yang hanya ingin melihat kehancuran persatuan bangsa, tanpa pernah betul-betul memikirkan kemaslahatan orang lain, terutama kita yang difabel.
Melalui tulisan sederhana ini, penulis ingin mengajak seluruh pembaca, bahwa segala sesuatu yang di dalamnya ada keburukan, pasti pula ada kebaikan yang terkandung, begitu pun sebaliknya. Jadi, bagi penulis, penguasa yang ada sekarang patut juga diberi apresiasi bila dapat mengakomodir kebutuhan dan hak-hak difabel. Contohnya kisah dua teman difabel netra yang berhasil menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang sempat diwawancarai oleh Solidernews.com
Ia bernama Fazlur Rahman, S.Pd., M.Pd. yang berasal dari Kab. Kerinci (Jambi) dan sekarang tinggal di Jakarta Timur. Difabel netra yang waktu itu juga sebagai Ketua Bidang Kader di Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini berbagi ceritanya.
“sekarang, alhamdulillah saya telah memiliki pekerjaan tetap yaitu sebagai tenaga pengajar di SMA 87 jakarta selatan,” ujarnya.,
“alhamdulillah saya sebagai Pegawai Negeri Sipil tahun 2019, dan saya juga mau berbagi proses menjadi PNS. saya adalah tunet yang tidak begitu lancar dalam teknologi karena masih dalam proses. Di waktu tahun 2019, saya mendaftarkan diri butuh bantuan orang lain, begitu kemudian saya didaftarkan teman saya dengan saya berada di sampingnya, dengan tekat dan niat karena Allah SWT. saya mendaftarkan diri, kemudian setelah mendaftarkan diri saya membaca syarat dan kiat-kiat dalam tes CAT atau SKD (seleksi kompetensi dasar), saya membuka Youtube, membeli buku CAT dan mengumpulkan soal-soal SKD dari tahun sebelumnya. dan selama menunggu nomor pendaftaran dan pengumuman SKD di keluarkan saya tetap belajar dan membaca dengan metode hp, laptop, dan minta bacakan dengan orang lain termasuk gambar-gambar,” ungkapnya berbagi.
“Setelah beberapa waktu, nomor pendaftaran saya lulus menuju tahap selanjutnya yakni menuju SKD, dan saya tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini karena tahun 2018 juga pernah mendaftarkan diri tapi saya gagal,” tuturnya.
“Saya belajar siang dan malam, dan pemerintahan DKI membuka 2 persen untuk penyandang disabilitas dan saya mengambil itu dengan menetapkan formasi guru bahasa Ingris di SMA 87. proses SKD, saya tes di kantor Wali Kota Jakarta Selatan dengan disediakannya komputer khusus untuk tunanetra sehingga kita bisa tes dengan kompetensi sportif dan mengandalkan kualitas diri bukan nilai kasihan ataupun jaringan. ketika setelah tes SKD, alhamdulillah saya lulus dan melebihi passing grade atau ambang batas dari aturan tes SKD. saya mengerjakannya dengan hikmat dan penuh dengan rasa sportifitas dan terlayani dengan baik, oleh Pemerintah DKI jakarta. alhasil saya lulus menuju tahap SKB seleksi basic. dan ternyata yang dibutuhkan hanya 11 kuota dan yang lulus hanya saya diantara 44 lainnya. Dan alhamdulillah saya bisa melewati SKB dengan baik dan saya mengajar di sma 87.”, papar pria yang lebih akrab dipanggil bang Alun di organisasi Muhammadiyah maupun di komunitas difabel netra ini panjang lebar.
Kemudian, difabel netra selanjutnya yang juga bercerita pengalamannya mengenai pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil kepada Solidernews.com ` adalah Ahmad Syarif, S.Pd.I., M.Pd. yang terangkat sebagai tenaga pendidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Madrasah Aliyah Negeri 2 Probolinggo Jawa Timur.
“Kalau yang soal lulus PNS, mungkin tempatku termasuk yang berjalan sesuai harapan. Waktu masa pendaftaran awal seleksi berkas, karena memang jalur disabilitas yang kuambil, alhamdulillah Kanwil Kemenag Jatim sama sekali tidak mempersulit, meskipun saya juga dari luar daerah, tidak mempermasalahkan itu.” Tuturnya. Menurut Syarif, ada juga beberapa teman yang dipermasalahkan oleh kanwil Kemenag di daerah lain, dengan alasan bahwa teman difabel netra yang mendaftar itu adalah totally blind, sehingga pada saat seleksi administratif, teman difabel netra yang total itu pun digugurkan. Namun lain halnya yang dirasakan oleh Syarif, karena Kanwil Kemenag Jatim sangat akomodatif dan tidak mempermasalahkan meskipun Syarif juga adalah seorang totally blind. Katanya lagi, pada saat awal-awal sepertinya memang ada juga yang meragukan keberadaan seorang difabel netra untuk mengajar, namun secara umum, penerimaan pihak sekolah dan siswa-siswa baik terhadapnya. Dalam soal tugas mengajar, Syarif pun tidak dibedakan dengan guru-guru lain yang nondifabel. Sekarang ini Syarif mengajar pada beberapa kelas dari semua tingkatan dan jurusan (Agama, IPS, dan IPA) sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam. Selain aktif mengajar, Syarif juga dipercaya terlibat dalam beberapa kegiatan sekolah seperti panitia penerimaan siswa baru sebagai wakil sekretaris PPDB dari tahun 2020 hingga tahun 2021 silam. Di luar aktivitas pembelajaran di sekolah, Syarif juga membuat kelompok diskusi literasi bagi para siswa yang memiliki ketertarikan pada bidang literasi. Selain mengajar, yang tentunya telah menjadi kewajibannya sebagai tenaga pendidik, Syarif juga sering memberikan edukasi dan penyadaran (disability awareness) kepada siswa-siswanya. Di tahun 2021, ia juga dipercaya memegang tugas tambahan sebagai kepala perpustakaan, sekaligus menjadi pembina klub literasi siswa hingga sekarang.
“Alhamdulillah penerimaan mereka cukup baik dan sangat luwes menerima keberadaan saya sebagai guru mereka yang adalah guru difabel netra pertama dan satu-satunya di sekolah madrasah tersebut,” ungkap pria asal Pinrang Sulawesi Selatan yang juga seorang penulis ini.
Semoga kisah dua difabel netra di atas membuka hati dan pikiran kita, bahwa Pemerintah tidak selalu abai akan pemenuhan hak-hak difabel. Namun, kita juga tidak boleh menutup mata dan telinga kalau memang pada faktanya, pemerintah sering membuat kebijakan yang belum pro difabel atau inklusif. Maka dari itu, kita semua memegang peranan penting dalam mengawal dan membersamai seluruh kebijakan pemerintah agar semakin hari semakin banyak lagi kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada difabel atau kelompok rentan secara umum. Tak peduli kita berada dalam lingkup pemerintahan ataupun tidak. Karena yang harus kita ingat, pemerintah adalah bagian dari kita dan kita adalah sekumpulan orang yang disebut rakyat dan memilih pemerintah sehingga pemangku kebijakan itu ada.[]
Reporter: ZAF
Editor : Ajiwan