Views: 42
Solidernews.com – Masyarakat difabel memiliki hak yang sama dalam mengakses hasil pembangunan, seperti aksesibilitas pada ranah fasilitas publik yang mudah dijangkau dan menunjang kemandirian mereka. Setiap disain sudah seharusnya mampu menghasilkan nilai-nilai inklusif yang dibutuhkan semua pihak, ramah terhadap anak, lansia, difabel dan kelompok rentan lain.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan kerangka atau rencana pembangunan lima tahunan yang berada dilevel pemerintah daerah, pada tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Melalui RPJMD yang diimplementasikan di lapangan, menghasilkan pembangunan ruang-ruang publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, tanpa meninggalkan masyarakat difabel.
Pembangunan daerah yang melibatkan organisasi difabel atau OPDis dalam proses penyusunan RPJMD, akan berdampak dalam menciptakan masyarakat yang adil dan berkelanjutan.
Lalu, bagaimana caranya agar masyarakat difabel dapat terlibat dalam pembuatan RPJMD?
Berikut adalah gambaran tentang apa itu RPJMD dan panduan untuk mendorong RPJMD berperspektif difabel. Langakah ini memberikan tahapan penyusunan RPJMD di tingkat pemerintah dan legislatif, serta pengawalan yang perlu dilakukan oleh organisasi difabel.
Mengenal lebih dalam tentang RPJMD
RPJMD adalah dokumen perencanaan strategis lima tahun yang digunakan untuk menentukan kebijakan, program, dan prioritas pembangunan daerah selama masa jabatan kepala daerah.
Memahami kedudukan RPJMD sangat penting, terutama bagi organisasi difabel yang ingin memastikan kebutuhan inklusi difabel terakomodasi dalam perencanaan pembangunan.
Organisasi difabel perlu memahami komponen utama dari materi muatan dalam RPJMD, seperti; (1) Analisis permasalahan dan pemetaan isu strategis yang merupakan proses penting untuk memastikan bahwa dokumen perencanaan pembangunan daerah mencerminkan kebutuhan, tantangan, dan prioritas lokal yang relevan. (2) Visi misi kepala daerah yang menggambarkan kondisi ideal yang ingin dicapai, serta menjelaskan langkah strategis dalam mewujudkan visi tersebut. (3) Tujuan dan sasaran prioritas pembangunan di tingkat daerah, misalnya pendidikan, kesehatan, dan infrastuktur. (4) Arah kebijakan strategis yang merupakan kerangka kerja yang menetapkan langkah-langkah prioritas pembangunan daerah berdasarkan isu strategis yang telah diidentifikasi. (5) Indikator kinerja utama yang menjadi ukuran keberhasilan pembangunan. (6) Program prioritas dan pendanaan yang akan dilaksanakan serta alokasi anggaran yang tersedia.
Peran strategis organisasi difabel dalam penyusunan RPJMD
RPJMD disusun melalui serangkaian tahapan yang sistematis dan partisipatif. Tahapan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat, untuk memastikan dokumen RPJMD menjadi panduan pembangunan yang komprehensif dan strategis selama lima tahun.
Organisasi difabel dapat mengambil peran sebagai berikut; (1) Advokasi dalam mengusulkan kebijakan yang inklusif. (2) Peningkatan kesadaran dengan memberikan informasi kepada pemangku kepentingan. (3) Melalukan telaah RPJMD yang telah tersusun. (4) Melakukan pemantauan dan evaluasi dalam implementasi RPJMD.
Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan organisasi difabel dalam mengawal RPJMD. Peran organisasi difabel tidak berhenti setelah RPJMD diadopsi. Organisasi difabel perlu melakukan pemantauan berkala terhadap pelaksanaan program yang sudah ada.
Setelah RPJMD disusun dan dilaksanakan, organisasi difabel memiliki peran strategis dalam memastikan implementasinya sesuai dengan rencana dan kebutuhan difabel. Mereka dapat melakukan audit aksesibilitas terhadap failitas yang dibangun, memantau efektifitas program inklusif, serta memberikan masukan pada pemerintah, jika ditemukan kendala atau pelanggaran. Keterlibatan organisasi difabel dalam evaluasi, dapat memacu pemerintah lebih responsif dan dapat meningkatkan efektifitas kebijakan inklusif.
Tantangan advokasi dan hal yang harus dipersiapkan organisasi difabel
Tantangan dalam mendorong inklusi difabel dalam RPJMD seringkali dihadapi oleh organisasi difabel, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mengatasinya.
Kurangnya pemahaman tentang inklusi difabel dikalangan pemangku kepentingan, minimnya data dan informasi yang akurat tentang difabel, keterbatasan kapasitas organisasi difabel, keterbatasan akses pada proses penyusunan kebijakan, stigma dan diskriminasi terhadap difabel, dinamika politik lokal, minimnya kolaborasi antar organisasi difabel, serta pergantian kepemimpinan kepala daerah menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan advokasi.
Beberapa hal yang perlu dipersiapkan adalah; pemetaan isu, ketersediaan data lokal, jadwal penyusunan RPJMD, dan hubungan baik dengan pemangku kepentingan.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan