Views: 4
Solidernews.com – Situasi ketidakadilan terhadap difabel korban kekerasan seksual masih saja terjadi. Mereka yang mengalami ketidakadilan tersebut, seringkali terhambat dalam proses penanganan. Kasusnya bahkan bisa membuat hak-haknya sulit terpenuhi.
Tidak jarang kasus kekerasan seksual yang terjadi pada difabel sebagai korban lebih dianggap karena ketertarikan seperti suka sama suka atau tanpa paksaan. Proses hukum pun terkadang dihentikan sebab pihak aparat penegak hukum menilai dari usia kalender yang termasuk sudah dewasa atau di atas delapan belas tahun, baik pada usia pelaku maupun korban difabel.
Padahal, dalam kasus yang korbannya adalah perempuan difabel Mental atau Intelektual, usia kalender bisa jauh lebih tinggi daripada usia mental korban. Misalkan secara kalender sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi secara mental atau intelektual sama seperti yang berusia anak. Sehingga sering kali secara usia mentalnya atau intelektualnya, korban masih mudah untuk dibujuk atau beri iming-iming tertentu oleh pelaku.
Ismail dari Suara Perempuan Sulawesi Utara membagi pengalaman saat menjadi pendamping difabel mental kejiwaan yang sulit untuk menggali informasi secara konsisten dari korbannya. “Informasi yang disampaikan korban difabel mental selalu berudah-ubah,” tutur ia.
Bentuk lain ketidakadilan yang terjadi pada difabel korban kekerasan seksual adalah sulitnya mengajukan alat bukti. Dari pengalaman Koalisi Perempuan Ronggolawe Jawa Timur, pihaknya pernah mendampingi korban kekerasan seksual perempuan difabel ganda sensorik yaitu hambatan penglihatan dan pendengaran. Alat bukti berupa foto dan video yang menunjukkan korban seorang difabel ganda ditolak oleh kejaksaan, bahkan berkas perkara pun dikembalikan.
Kejaksaan meminta bukti pendukung dari hasil pemeriksaan Rumah Sakit Umum Daerah yang jaraknya sangat jauh dengan menempuh perjalanan lebih dari satu hari. Layanan fasilitas kesehatan yang ada di daerah korban tidak memiliki alat yang menunjang.
Diskresi yang membuat kasus terhenti begitu saja. Dikresi merupakan sebuah tindakan keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Dalam dinamikanya, kasus kekerasan seksual pada perempuan difabel aparat penegak hukum terkadang melakukan diskresi, keputusan diambil berdasarkan penilaian mereka sendiri.
Aparat penegak hukum mengarahkan keluarga korban untuk bersedia menandatangani surat pernyataan yang isinya, menyampaikan korban tidak bersedia dimintai keterangan dan tidak akan melakukan menuntutan terhadap pelaku. Hal ini membuat proses hukum terhenti begitu saja.
Adanya ancaman lapor balik. Kasus kekerasan seksual yang korbanya adalah perempuan difabel sering dilemahkan dengan ancaman lapor balik oleh pelaku kepada keluarga korban yang berusaha menolong korban saat kejadian.
Upaya lapor balik ini dilakukan oleh pelaku agar korban maupun keluarganya bersedia menghentikan proses hukum yang menjerat pelaku.
Situasi lain dari bentuk ketidakadilan pada korban difabel
(1) Belum semua petugas dapat memahami cara berinteraksi langsung dengan difabel secara umum, termasuk mereka yang memiliki hambatan mental dan intelektual juga hambatan pendengaran. (2) Masih banyak keluarga yang tidak memahami hambatan dan dampak kekerasan pada korban perempuan difabel, sehingga tidak memberikan dukungan. (3) Lingkungan cenderung masih menyalahkan korban, terutama pada korban difabel mental dan intelektual. Masyarakat menganggap korban menikmati pelecehan seksual, hanya karena tidak menunjukan tanda-tanda dampak dari kekerasan yang dialami korban atau tanda adanya trauma pada korban.
Upaya yang bisa dilakukan bersama
(1) Pengarusutamaan terhadap isu-isu difabel dan peningkatan kapasitas terkait pemenuhan akomodasi yang layak secara fokus, rutn dan bertahap. (2) Inisiasi kebijakan internal dan sistem alokasi anggaran tiap lembaga yang mendukung pemenuhan hak akomodasi yang layak bagi difabel. (3) Pemenuhan akomodasi yang layak bukan hanya pada tahapan peradilan, melainkan pada semua proses yang akan diakses oleh difabel berbasis penilaian personal yang partisipatif. (4) Inisiasi sistem pemeriksaan sinergis berbasis layanan satu atap yang melibatkan aparat penegak hukum, pendamping, psikiater dan psikolog serta tenaga medis lainnya untuk memastikan penumbuhan hak difabel. (5) Inisiasi konseling keluarga dan peningkatan kapasitas konselor sebaya untuk meningkatkan dukungan bagi difabel korban kekerasan seksual. (6) Penghapusan mitos dan stigma negatif terhadap difabel melalui pendidikan, budaya, seni, dan medium lainnya secara terus menerus dan berkelanjutan.
Situasi ketidakadilan ini terjadi secara berlapis, bersumber dari level keluarga, lingkungan, sampai aparat penegak hukum dan penyedia lainnya.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief