Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Ini Akibatnya Jika Difabel Tidak Terpapar Informasi tentang Kesiapsiagaan Bencana

Views: 11

Solidernews.com – Informasi bukan sekadar data yang tersedia di layar ponsel atau website resmi. Dalam konteks kebencanaan, informasi adalah alat penyelamat, sarana peringatan, dan bentuk paling awal dari perlindungan warga negara. Sayangnya, di negeri yang rutin dilanda bencana ini, tidak semua warga memiliki akses yang setara terhadap informasi darurat.

Pengelolaan Bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan adalah contoh nyata bagaimana informasi teknis yang dikelola dengan baik tetap bisa gagal menyelamatkan, ketika tidak dibarengi dengan sosialisasi yang inklusif. Melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, data ketinggian air, status buka-tutup pintu bendungan, hingga rilis resmi tersedia secara berkala. Namun, siapa yang bisa mengakses informasi tersebut? Siapa yang memahami dampaknya secara langsung? Dan siapa yang dilibatkan dalam menyusun sistem penyampaiannya?

Banjir besar yang terjadi di kota Makassar dan sekitarnya pada awal tahun akibat dibukanya pintu air bendungan secara signifikan menyisakan pelajaran penting. Tersedianya informasi tidak sama dengan tersampaikannya informasi.

Nabila,  seorang difabel netra yang tinggal di kawasan perumahan di Kota Makassar sempat menjadi korban atas bencana banjir. Rumahnya bukan berada di wilayah rawan banjir, bukan pula langganan genangan. Tapi pada malam itu, air dari Bendungan Bili-Bili yang dibuka lebih besar dari biasanya merambat ke wilayahnya. Banjir masuk ke rumahnya sekitar pukul 02.00 dini hari WITA, namun Nabila dan keluarganya baru terbangun pada pukul 04.00, setelah dibangunkan oleh tetangga. Tanpa peringatan dini yang dapat ia akses, tanpa sistem komunikasi yang menjangkau, ia tak lagi sempat menyelamatkan barang-barang elektronik seperti handphone, rice cooker, oven, blender, air Fryer, bor, setrika, pemanggang roti dan masih banyak lagi yang telah mengapung  di atas air banjir saat ia bangun. Nabila tak pernah mendapat sosialisasi tanggap bencana, ia kebingungan harus menyelamatkan apa terlebih dahulu. Alhasil, sebuah surat tanah dan dua buah laptop yang menyimpan data akademik, termasuk proposal skripsi, rusak total. Yang lebih mengerikan, kabel listrik yang biasa tergeletak di lantai ikut terendam—membawa risiko arus listrik yang bisa berakibat fatal jika terlambat disadari.

Dalam wawancara bersama solidernews (15/04/2025) Nabila berbagi cerita, bagaimana ia merasa begitu panik saat disadarinya rumahnya dalam keadaan banjir, “kan di rumah tidak ada orang melihat, ya. Kami bertiga adalah difabel netra semua. Jadi sesubuhan itu kita berkeliaran meraba seisi rumah dengan kaki, mencari-cari barang apa saja yang perlu diselamatkan. Untungnya pas pertama kali bangun, saya langsung ingat untuk mematikan listrik. Itu juga karena saya selalu terngiang-ngiang kata orang, bahwa listrik itu berbahaya, kalau ada apa-apa selalu ingat matikan listrik. Saya juga lupa menutup pintu setelah mematikan listrik, akhirnya banyak barang yang lari keluar rumah,” kenangnya dengan tawa.

Perempuan yang akrab disapa Lala itu juga menekankan pentingnya tim penyelamat yang berprespektif inklusi. Menurut ceritanya, selama terendam banjir kurang lebih 24 jam, rumahnya tak pernah didatangi tim penyelamat seperti damkar dan sejenisnya. Bahkan saat dia kesulitan mendapat makanan pun, tak ada tim penyelamat yang dapat dihubunginya.

“Padahal pas keesokan harinya sepupuku datang ke rumah, saat air sudah agak surut. Katanya ada perahu karet di luar yang berkeliling perumahan. Kata sepupuku sih biasanya kalau begitu kita bisa langsung minta tolong saja misal butuh bantuan, tapi kan saya dan keluarga tidak bisa tahu bahwa ada mereka di luar. Kami tidak lihat,” ucap Lala.

Apakah informasi tentang peningkatan debit air bendungan tersedia? Ya. Tapi apakah Nabila sebagai warga netra pernah mengetahui bahwa ia dan keluarganya berada dalam ancaman? Tidak. Karena tidak ada sistem yang dirancang untuk menyentuh warga seperti dirinya.

Senasib dengan Nabila, juga ada difabel korban banjir bernama Amir. Ia  seorang laki-laki dewasa berusia 30-an tahun yang tinggal di kawasan padat penduduk di perbatasan Kabupaten Maros dan Kota Makassar. Untuk beraktivitas, Amir harus menggunakan kruk setelah mengalami kecelakaan yang menyebabkan cedera permanen pada kaki kirinya. Sebagai pekerja lepas dan penyintas dari keluarga berpenghasilan rendah, Amir tinggal seorang diri di rumah kontrakan kecil berbahan semi permanen.

Saat debit air di Bendungan Bili-Bili meningkat drastis dan pintu air dibuka lebih lebar dari biasanya, tidak satu pun informasi peringatan bahaya menjangkau rumah Amir. Tidak ada pengeras suara, tidak ada pesan teks, tidak ada relawan. Ketika air mulai masuk ke rumahnya sekitar pukul tiga dini hari, Amir tidak mampu bergerak cepat untuk menyelamatkan barang-barangnya karena sulitnya ia bergerak menggunakan kruk dengan keadaan lantai licin tergenangi air bercampur lumpur.

Air naik dengan cepat hingga setinggi paha. Dalam kondisi dingin, panik, dan kesulitan berpindah tempat, Amir hanya mampu menyelamatkan dompet dan ponselnya saja. Sejumlah barang lain seperti dokumen penting, serta alat bantu tambahan yang ia simpan untuk kebutuhan aktivitas luar rumah, seluruhnya terendam. Tidak sampai di sana, setelah banjir surut, ia pun kesulitan mengakses layanan kesehatan dan distribusi bantuan karena tidak masuk dalam daftar penerima prioritas.

“Jadi waktu itu saya tinggal saja menunggu bantuan, karena mau keluar sendiri kan juga susah. Kalau banjir begitu, yang pertama saya tidak lihat lubang. Yang kedua licin sekali jalanan untuk tongkatku. Malah nanti saya yang jatuh. Ada lagi orang yang datang mau mengevakuasi warga, mereka juga tidak tahu bagaimana cara mengevakuasi orang pakai kruk kayak saya,” ujarnya saat diwawancarai (15/04/2025).

Amir adalah satu dari banyak difabel yang tidak hanya kehilangan harta benda, tetapi juga kehilangan kepercayaan bahwa sistem perlindungan bencana di negeri ini benar-benar hadir untuk semua. Ia menunggu lebih dari dua pekan hingga akhirnya relawan dari organisasi datang dan membantunya mengurus dokumen pengganti dan pengajuan bantuan.

Kasus Amir memperlihatkan bahwa tidak hanya sistem informasi yang gagal menjangkau difabel, tetapi juga sistem respons darurat yang belum inklusif sejak tahap pencatatan data korban.

Padahal, Indonesia sudah memiliki landasan hukum yang jelas. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Difabel dan PP No. 42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas mewajibkan negara untuk menyediakan informasi dalam bentuk yang dapat diakses oleh semua orang, terutama dalam situasi darurat. Namun di tingkat implementasi, prinsip ini belum dijalankan sebagai sistem, hanya sebagai wacana.

Kita perlu menyadari bahwa informasi tidak cukup hanya disediakan—ia harus bisa dijangkau. Itu berarti informasi harus disampaikan melalui format audio yang mudah diakses. Informasi juga harus diterjemahkan dalam bahasa isyarat dan format sederhana, selain itu, informasi juga harus disalurkan lewat jaringan komunitas yang mengenal kebutuhan lokal, dan didesain bersama dengan kelompok difabel, bukan sekadar untuk mereka.

Pengelola bendungan, BPBD, dan pemerintah daerah perlu mengevaluasi pendekatan komunikasi mereka. Bukan menambah kanal informasi, tetapi merombak paradigma penyampaian informasi. Sosialisasi bukan berarti mencetak brosur atau mengunggah di Instagram. Sosialisasi berarti menjamin bahwa informasi menyentuh siapa pun, dalam bentuk apa pun, tepat waktu, dan bisa ditindaklanjuti.

Inklusi Informasi adalah Tanggung Jawab Negara

Jika negara ingin disebut tanggap bencana, maka ukuran pertamanya adalah siapa saja yang dilindungi saat bahaya datang. Pengalaman Nabila dan Amir menunjukkan bahwa informasi yang tidak dirancang untuk semua adalah bentuk diskriminasi yang disamarkan sebagai modernisasi.

Kita tidak kekurangan teknologi, namun kita kekurangan kemauan untuk memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal. Dan selama difabel masih dikejutkan oleh bencana yang sebenarnya sudah bisa diprediksi, maka sistem kebencanaan kita  belum bisa disebut mapan.[]

 

Reporter: Yoga Indar Dewa

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content