Views: 23
Solidernews.com – Perbedaan yang ada di dalam masyarakat hendaknya diterima dan dirangkul bersama-sama. Dengan menciptakan lingkungan dan fasilitas yang aman dan ramah bagi semua kalangan masyarakat. Baik itu kaum rentan seperti perempuan, anak, hingga difabel.
Sayangnya, di lapangan masih banyak ditemui difabel yang belum mendapatkan fasilitas yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, terlebih di lingkungan desa yang jauh dari perkotaan. Masyarakat desa yang masih kental dengan budaya konservatifnya sulit dalam menerima kelompok difabel. Jika ada pemahaman mengenai disabilitas di lingkungan desa pun, orang tua dengan anak berkebutuhan khusus banyak yang kurang memiliki pengetahuan dalam merawat maupun merencanakan masa depan anak, baik itu dalam hal pendidikan maupun kemandirian si anak.
Dibutuhkan sebuah wadah atau organisasi yang dapat membantu dalam memberi arahan maupun pengetahuan tentang difabilitas bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus di wilayah desa, agar mereka dapat lebih paham akan kondisi dan kebutuhan anaknya.
Salah satu konsep untuk mewadahi desa yang ramah difabel adalah desa inklusi, ia merupakan konsep desa yang mendorong warganya untuk menghargai perbedaan serta mengikutsertakan seluruh warga dalam kegiatan sosial, termasuk juga warga difabel.
Salah satu perwujudan kegiatan desa Inklusi yang berhasil dilaksanakan, terangkum dalam buku yang berjudul “Indonesia Dalam Desa inklusi” karya Ishak Salim, M. Syafi’ie, dan Nunung Elisabeth, yang merupakan buku produksi SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel), organisasi non pemerintah yang berdiri sejak tahun 2003, dan melakukan kegiatan temu inklusi pada tahun 2014 dengan anggota masyarakat disabilitas dari seluruh Indonesia.
Dalam rangka merayakan Hari Disabilitas Indonesia secara berbeda, obrolan rapat anggota SIGAB pada sore hari di tahun 2014 itu bermuara pada keinginan agar perayaan hari difabilitas untuk dipusatkan di desa dan gagasan dea inklusi dapat dimatangkan dan disebarluaskan melalui serangkaian diskusi dengan para partisipan pada pertemuan tersebut.
Tidak butuh waktu lama, tim SIGAB mulai mempersiapkan diri, dengan menghubungi pihak mitra untuk menjalin kerja sama, membagi tugas dengan partner kerja sama, hingga mencari dan merekrut relawan untuk membantu jalannya acara. Rapat pertama diadakan pada 17 Oktober 2014 untuk menghimpun berbagai gagasan dalam mewujudkan acara temu inklusi tersebut.
Setelah melalui beberapa rapat untuk mempersiapkan acara dan berbagai gagasan untuk acara, panitia menyiapkan kegiatan pre-event, yakni lomba Photovoice dengan tema “Akses untuk Semua”, lomba blog dengan tema “Proud of Inclusion”, dan lomba Poster inklusi.
Satu hari sebelum Temu Inklusi, 18 Desember 2014, masing-masing seksi memastikan kesiapan tim dan menyiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan.
Peserta yang berasal dari dari luar Jogja, disediakan tempat untuk beristirahat di rumah-rumah dan lokasi yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan Temu Inklusi. Tepat di hari kegiatan, peserta Temu Inklusi dijemput dengan kendaraan transportasi kereta kelinci untuk menuju tempat pelaksanaan acara di kantor desa Sendangtirto.
Kegiatan diawali dengan nyanyian berjudul ‘mama’ oleh anak laki-laki Panca, kemudian Emma bertugas menjadi MC. Kemudian, acara dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama, pembukaan dari ketua panitia, M. Joni Yulianto, penyampaian sambutan oleh kepala desa Sendangtirto, Sardjono, dilanjutkan dengan kata sambutan dari Bupati Sleman yang diwakili oleh Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat, sambutan dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, yang diwakilkan kepada staf pemerintah di deputi dua, dan diakhiri dengan pemukulan gong sebagai peresmian pembukaan acara Temu Inklusi.
Sesi seminar desa inklusi dimulai setelah waktu istirahat sejenak. Tujuan diskusi yang berupa implikasi UU desa terhadap masyarakat difabel di Indonesia berjalan dengan riuh dan membara. Semangat para peserta dalam berkontribusi pada acara Temu Inklusi terlihat dari banyaknya pertanyaan dan pemikiran yang diutarakan oleh para peserta.
Buku ini juga menyediakan informasi yang lebih mendalam tentang partner-partner yang bekerja sama dengan SIGAB untuk mewujudkan acara kegiatan Temu Inklusi.
Hari kedua Temu Inklusi mengandung delapan tema perbincangan yang keseluruhannya penting dan saling terkait. Tema tersebut meliputi: [1] Desa Inklusi dan Urgensi Sistem Informasi Desa, [2] Aksesibilitas, [3] Jurnalisme Inklusi, [4] Pendidikan Inklusi, [5] Ketenagakerjaan, [6] Difabel Berhadapan dengan Hukum, [7] Partisipasi Politik Difabel dan [8] Difabel dan Korupsi. Diskusi yang dilaksanakan di tiga tempat yang berbeda tersebut sempat mengalami sedikit kendala pada penempatan tempat workshop yang berbeda, yang rupanya menyulitkan sebagian peserta. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah panitia yang tidak seimbang dengan dinamika kebutuhan difabel mengenai informasi tentang lokasi.
Terlepas dari kendala yang dialami pada saat pelaksanaan workshop. Ninik Nurcahyo dari KARINA KAS menyatakan bahwa keseluruhan pelaksanaan workshop cukup berhasil. Hal tersebut karena didukung secara penuh oleh seluruh tim Workshop sekaligus dengan rasa kekeluargaan yang kental, serta tidak lupa kelompok relawan yang sangat membantu dalam pelaksanaan workshop.
Di dalam buku ini, terdapat tafsiran kegiatan Temu Inklusi secara tertulis dan lengkap, mencakup narasumber workshop, pembicara, hingga tanggapan yang terjadi pada saat sesi workshop berlangsung. Rangkuman rekomendasi yang disimpulkan dari hasil workshop juga tercatat dengan lengkap pada bagian halaman buku, yang meliputi pembahasan pada delapan tema beserta rekomendasi-rekomendasinya.
Pada hari puncak perayaan Temu Inklusi, agenda yang dilakukan adalah jalan santai pada pagi hari, kemudian konvoi sepeda motor atau reli budaya, acara lomba-lomba yang dipusatkan di salah satu sekolah dasar dan hiburan yang disertai dengan pengumuman pemenang berbagai lomba, baik yang diadakan pada pre-event maupun lomba pada hari itu.
Pada halaman-halaman akhir buku, tercantum testimoni dari beberapa panitia, pejabat publik, dan masyarakat yang mengikuti kegiatan. Tidak lupa pula gagasan, saran, dan kritik dari peserta Temu Inklusi. Pembahasan inti buku ini diakhiri dengan refleksi yang dilakukan dari hasil wawancara M. Joni Yulianto terkait dengan pelaksanaan Temu Inklusi yang telah berhasil terlaksana dengan lancar.
Sebagai penutup, berdasarkan kegiatan Temu Inklusi yang telah dilaksanakan, maka dapat diambil pelajaran berharga, bahwasanya kelompok difabel mampu berpartisipasi secara aktif dan mengeluarkan ide-ide kreatif yang berkaitan dengan hak-hak inklusi disabilitas yang memang seharusnya wajib untuk dipenuhi. Untuk mencapai hal tersebut, teman disabilitas harus diberikan tempat dan audience yang mendukung untuk mewujudkan inklusi yang nyata![]
Penulis: Ni’matul Azizah
Editor : Ajiwan Arief