Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Implikasi Pemahaman APH atas Kerentanan Difabel Berhadapan dengan Hukum dalam Pemutusan Perkara

Views: 24

Solidernews.com, Yogyakarta. Difabel. Senyatanya, bukan sekedar istilah yang menggambarkan keberbedaan fisik, intelektual, mental, maupun sosial. Melainkan, perjuangan atas pengakuan hak dan kesetaraan, antara orang berkebutuhan berbeda, dengan orang pada umumnya.

Dalam berbagai sisi kehidupan, perlakuan terhadap mereka belum sepenuhnya adil dan setara. Tak jarang, perlakuan yang diterima tak dipahami sebagai hak yang semestinya didapatkan. Melainkan karena rasa iba atau belas kasihan.

Perlakuan tak adil dan setara tersebut, terjadi pula saat mengakses peradilan atau berhadapan dengan hukum. Cukup banyak difabel yang berhadapan dengan hukum, umumnya mereka menjadi korban atas tindakan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Meski, ada juga difabel yang menjadi pelaku tindak pidana. Mereka juga mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan kondisinya.

Sebuah catatan. Bahwa, ketimpangan perlakuan terhadap difabel yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya karena peraturan perundang-undangan yang tidak ramah difabel. Minimnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terhadap hambatan atau kerentanan difabel, adalah sebab lain.

Catatan berikutnya, perlakuan yang diterima difabel ketika berhadapan dengan hukum, pun belum banyak didokumentasikan. Jikalau pun ada, hanya berupa cerita sekilas, yang menunjukkan ketidakberdayaan.

 

Riset SIGAB Indonesia

Kasus difabel berhadapan dengan hukum ini, menjadi konsentrasi SIGAB Indonesia. Lembaga yang berkantor di Jogjakarta ini melakukan penelitian (riset) terhadap dua putusan hukum (sidang), yang terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Gunung Kidul dan Magetan. Riset tesebut, telah didesiminasikan di Yogyakarta, pada Senin (27/5/2024). Diselenggarakan secara hybrid, secara daring dan luring.

Riset tersebut, berfokus pada: pertama, bagaimana cara hakim mengenali kerentanan penyandang disabilitas; kedua, implikasi kerentanan dalam aspek formil putusan; dan ketiga, gagasan ke depan, mengenai legal method untuk memutus perkara dengan menghormati kerentanan disabilitas.

Bukan tanpa alasan tentunya. Sebagai lembaga advokasi untuk kesetaraan difabel, SIGAB Indonesia mencatat berbagai temuan. Satu di antaranya, terdapat kerentanan yang tidak dipahami aparat penegak hukum (APH), pada aspek penegakan hukum terhadap difabel sebagai korban dan saksi korban. Kerentanan tersebut akan berpotensi semakin rentan, ketika APH tidak mau memahaminya.

Difabel fisik, intelektual, mental dan sensorik. Ketika beraktivitas sosial, mereka mengalami hambatan (kerentanan). Berbagai temuan kasus, mereka sering kali menjadi korban tindak pidana. Menjadi semakin rentan, karena APH tidak menyadari kerentanan yang dihadapi difabel. Alhasil, upaya melaporkan kasus kepada pihak kepolisian, tak jarang berakhir sia-sia. Tidak diproses, karena dianggap sebagai warga tak cakap hukum.

Dalam kontek kasus kekerasan seksual, difabel cenderung memiliki kerentanan lebih tinggi sebagai korban kekerasan seksual. Ini karena kemampuan untuk melindungi diri mereka yang terbatas. Apakah karena hambatan komunikasi, atau intelektual? Hal ini, mengemuka dari Angkie Yudistia, difabel Tuli yang berkantor di kantor staf khusus kepresidenan itu.

Kemudian, akses informasi bagi difabel terkait pendidikan seksual, membutuhkan cara yang khas (spesifik). Hambatan komunikasi dan intelektual ini menjadi penting dipahami oleh hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara. “Memahami kerentanan difabel, adalah salah satu syarat. Sementara syarat lainnya adalah memahami kebutuhan-kebutuhan difabel terkait hambatannya atau secara normatif disebut akomodasi yang layak,” ujar Angkie.

 

Memaknai kerentanan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pada pasal 5 ayat (1) dan pasal 4 ayat (2) yang mengatur persamaan hak penyandang disabilitas di mata hukum. Mengakui mereka sebagai subjek hukum sebagaimana warga negara lainnya, memposisikannya sebagai individu yang mandiri, bukan sebagai individu yang patut dikasihani atas hambatannya.

Pemberlakuan undang-undang ini mengharuskan pemerintah pusat dan daerah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat, meningkatkan budaya inklusi. Dengan tujuan, menjamin hak atas keadilan dan perlindungan hukum bagi difabel. Ketentuan tersebut memungkinkan untuk melindungi difabel dari tindakan diskriminasi. Mewajibkan pemerintah menyediakan sarana dan prasarana (akomodasi yang layak), sesuai kebutuhan.

Memaknai kerentanan difabel berhadapan dengan hukum, sudah dipunyai Hakim PN Magetan. Hal itu tercermin dalam putusan pengadilan Nomor 133/Pid.Sus/2022/PN.Mgt. Terutama pada bagian menimbang 2 (dua) unsur tindak pidana. Pertama, unsur menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang. Kedua, unsur dilakukan terhadap penyandang disabilitas.

 

Poin peradilan fair

Membangun proses peradilan yang inklusif dan aksesibel tetap menjadi fokus SIGAB Indonesia. Hal ini dikemukakan Direktur SIGAB Indonesia, M. Joni Yuliyanto, pada agenda diseminasi. Lanjutnya, riset difabel berhadapan dengan hukum, menjadi sesuatu yang strategis untuk menjadi gagasan bersama. Sebuah upaya membangun peradilan yang lebih fair (berkeadilan).

Sudah banyak kemajuan yang dibangun bersama. Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2020, satu di antaranya. Serta, Pedoman bagi Kejaksaan yang tertuang pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 39 Tahun 2022.

“Kemajuan yang patut diapresiasi. Di sisi lain, ada pekerjaan rumah yang terus harus didorong. Yakni membangun peradilan, yang memastikan putusan terkait difabel berhadapan dengan hukum, tanpa melupakan aspek kerentanan yang menyertai difabel,” ujar Joni.

Mewakili Mahkamah Agung, Hakim Anggota Jupriyadi, SH., M.Hum, menyampaikan pandangan terkait isu kerentanan penyandang disabilitas. Menurut dia, pemahaman atas kerentanan penyandang disabilitas, adalah poin penting yang wajib diperhatikan hakim dalam memutus perkara. Untuk itu, lanjut dia, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 39 Tahun 2022, terkait Tata Cara Pemohonan dan Kompensasi.

Jika belum terakomodir, ujar dia, korban atau ahli waris bisa mengajukan permohonan restitusi. Dengan mekanisme yang diatur pasal 11 dan 12 PERMA tersebut. Jupriadi menyerukan, “Komitmen MA yang dituangkan dalam Perma, agar diterapkan di seluruh tanah air, dengan tidak membedakan,” ujarnya melalui platform digital zoom, Senin (27/5).

 

Prinsip dilembagakan

Sedang Albert Wirya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, juga menyampaikan tanggapannya. Beberapa prinsip yang sudah dilembagakan terkait hak difabel, sudah diratifikasi. Pada pasal 13 ratifikasi tersebut menyangkut akses bagi difabel.

Karenanya, negara anggota harus memastkan adanya akses yang efektif bagi difabel, setara dengan yang lain. Terkait dengan prosedural dan akomodasi yang kayak, untuk memfasilitasi peran efektif langsung dan tidak langsung. Termasuk ketika difabel menjadi saksi di semua tahapan pidana, termasuk investigasi dan penilaian pertama.

Kepentingan difabel tidak saja diwakilkan. Tapi berpartsipasi efektif. Baik sebagai saksi maupun penyintas. Penting adanya peran difabel, agar difabel dapat keadilan dan terlibat aktif dalam persidangan.

Dalam putusan PN Magetan, difabel belum dilibatkan secara aktif. Meski keterangan sudah dicatat, hasil kesaksian dari saksi penyintas sama persis dengan surat dakwaan. “Saya mencurigai ada hal yang belum dieksplor atau digali lebih jauh. Dan penyandang disabilitas tidak didampingi dalam proses pengadilan,” ungkap Albert.

Sedang Di PN Wonosari, lanjut dia. Meski ada pendamping saat korban memberikan kesaksian, tapi tidak dibahas peran juru bahasa isyarat dalam persidangan. Sementara penyintas yang mengalami disabilitas ganda, butuh layanan Juru Bahasa Isyarat (JBI).

Albert memungkasi tanggapannya, dengan menyampaikan dua hal. Pertama, pentingnya memastikan penyandang disabilitas memberikankesaksian dengan aman dan nyaman.Kedua, diperkenankan adanya fasilitas lain, penggunaan audio visual, ketika berada dalam peradilan jarak jauh. []

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan Arief

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air