Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Implikasi Keputusan MK terhadap Pekerja Difabel dalam Konteks Sosial Model Ketenagakerjaan

Views: 4

Solidernews.com – Baru-baru ini, tepatnya  Kamis, 31 Oktober 2024 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, khususnya terkait ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa beberapa norma ketenagakerjaan yang ada dalam UU Cipta Kerja tumpang tindih dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Putusan ini juga mengamanatkan pemerintah untuk memisahkan ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan menyusun undang-undang baru yang lebih jelas, terperinci, dan lebih harmonis dengan berbagai kebutuhan pekerja di Indonesia, meskipun sayangnya, pekerja difabel tidak disebutkan secara eksplisit.

Putusan MK ini membuka peluang bagi perbaikan sistem ketenagakerjaan di Indonesia, yang diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap kesejahteraan seluruh pekerja, dan semoga  termasuk mereka yang difabel. Dalam analisis ini, kita akan mengeksplorasi implikasi dari putusan MK terhadap pekerja difabel, dengan menelaah setiap poin putusan dalam konteks sosial model disabilitas yang lebih inklusif. Perspektif sosial model disabilitas melihat disabilitas bukan sebagai masalah medis individu, tetapi sebagai masalah sosial yang muncul karena kurangnya aksesibilitas, ketidaksetaraan perlakuan, dan hambatan struktural yang ada di masyarakat.

 

Penggunaan Tenaga Kerja Asing dan Prioritas Tenaga Kerja Lokal

Salah satu keputusan MK yang penting adalah tentang pembatasan penggunaan tenaga kerja asing (TKA), yang harus memprioritaskan tenaga kerja lokal, terutama pada jabatan-jabatan yang memerlukan kompetensi khusus. Keputusan ini dapat memberikan keuntungan besar bagi pekerja lokal, termasuk pekerja difabel, yang seringkali menghadapi hambatan lebih besar dalam memasuki pasar tenaga kerja. Dengan adanya prioritas untuk tenaga kerja lokal, pekerja difabel bisa mendapatkan kesempatan yang lebih luas dalam mengakses pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka.

Namun, tantangannya terletak pada sejauh mana kebijakan ini dapat mengakomodasi kebutuhan pekerja difabel secara adil. Dalam praktiknya, banyak perusahaan masih merasa kesulitan untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi pekerja difabel, baik dari segi fisik (misalnya aksesibilitas bangunan atau fasilitas) maupun dari segi sosial (misalnya budaya kerja yang inklusif). Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada kebijakan yang lebih spesifik yang menjamin aksesibilitas dan pemberdayaan pekerja difabel, seperti pelatihan inklusif, penyesuaian tugas pekerjaan, serta dukungan teknis yang diperlukan oleh pekerja difabel agar mereka dapat bekerja secara optimal.

 

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Putusan MK juga memberikan perhatian kepada ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang menetapkan durasi maksimal PKWT selama lima tahun. Kebijakan ini memiliki implikasi ganda, terutama bagi pekerja difabel. Di satu sisi, kebijakan PKWT dapat memberikan fleksibilitas bagi perusahaan dalam menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja, namun di sisi lain, ketidakpastian status kerja dapat menciptakan kecemasan bagi pekerja difabel yang sudah terbiasa dengan ketidakpastian dalam mencari pekerjaan tetap.

Pekerja difabel, seperti yang diketahui, sering kali menghadapi diskriminasi yang lebih besar dalam pencarian pekerjaan tetap. Oleh karena itu, stabilitas pekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi mereka. PKWT yang berlaku selama lima tahun dapat memberikan kesempatan bagi pekerja difabel untuk menunjukkan kompetensinya tanpa harus menghadapi ketidakpastian jangka panjang. Namun, penting untuk memastikan bahwa pekerja difabel mendapatkan perlindungan yang setara dalam perjanjian PKWT ini. Kebijakan ini harus memastikan mereka mendapatkan hak-hak yang sama dengan pekerja lainnya, termasuk hak atas pelatihan yang sesuai, akses terhadap kesejahteraan yang layak, dan perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak adil.

 

Pekerja Alih Daya (Outsourcing)

Salah satu isu besar yang dibahas dalam putusan MK adalah soal alih daya (outsourcing), yang sering kali menjadi cara bagi perusahaan untuk menghindari tanggung jawab terhadap pekerja, termasuk pekerja difabel. Pekerja difabel yang terjebak dalam pekerjaan outsourcing sering kali tidak memiliki jaminan kesejahteraan yang layak, dan mereka lebih rentan terhadap pemutusan hubungan kerja tanpa pemberitahuan yang jelas atau pesangon yang memadai.

MK menegaskan perlunya kejelasan dalam regulasi terkait jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui outsourcing. Hal ini sangat penting, mengingat pekerja difabel sering kali diperlakukan secara diskriminatif dalam sektor outsourcing, yang kurang memberikan akses kepada mereka terhadap hak-hak dasar pekerja seperti jaminan sosial, upah yang layak, dan pelatihan keterampilan. Dalam konteks model sosial, kebijakan outsourcing yang inklusif harus menjamin bahwa pekerja difabel tidak dipinggirkan atau dimanfaatkan sebagai pekerja yang lebih murah dengan kondisi yang tidak memadai.

Pengaturan outsourcing yang lebih inklusif harus mencakup akses yang setara terhadap pelatihan, kesempatan pengembangan karier, serta perlindungan terhadap hak-hak pekerja difabel. Perusahaan harus dipastikan untuk tidak mengeksploitasi pekerja difabel dengan mengalihkan mereka ke pekerjaan outsourcing yang tidak memberikan jaminan kesejahteraan atau hak-hak pekerja lainnya.

 

Upah yang Layak dan Kesejahteraan Pekerja Difabel

Salah satu aspek yang mendapat perhatian dalam putusan MK adalah hilangnya pengaturan tentang “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak” dalam UU Cipta Kerja. Hal ini dapat berdampak besar pada pekerja difabel, yang sering kali menerima upah yang lebih rendah atau bahkan tidak sesuai dengan standar hidup yang layak. Pekerja difabel mungkin memerlukan teknologi bantu atau akomodasi lainnya yang dapat meningkatkan biaya hidup mereka, sehingga mereka memerlukan pengupahan yang tidak hanya setara dengan pekerja lainnya, tetapi juga cukup untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka.

Dalam kerangka model sosial disabilitas, pengupahan tidak hanya harus adil, tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi biaya hidup pekerja difabel. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa standar pengupahan yang baru tidak hanya memenuhi standar minimum, tetapi juga dapat mencakup kebutuhan tambahan yang spesifik bagi pekerja difabel, seperti teknologi bantu atau penyesuaian lingkungan kerja.

 

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Perlindungan dari Diskriminasi

Masalah PHK juga menjadi isu besar dalam putusan MK. Pekerja difabel sering kali lebih rentan terhadap PHK yang tidak adil, karena mereka sering dianggap sebagai “beban” dalam situasi ekonomi yang sulit. Dalam model sosial, difabel tidak boleh dijadikan alasan untuk pemutusan hubungan kerja tanpa perlindungan yang memadai. PHK yang tidak adil bisa semakin memperburuk kerentanan ekonomi pekerja difabel, yang sudah mengalami hambatan dalam mencari pekerjaan baru.

Penting bagi pemerintah dan perusahaan untuk menjamin adanya perlindungan yang lebih kuat bagi pekerja difabel dalam situasi PHK. Mereka harus diberikan hak yang sama untuk mendapatkan pesangon yang memadai, akses ke jaminan sosial, serta kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan baru melalui program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang setara dengan pekerja lainnya.

 

Uang Pesangon dan Hak Pekerja

Ketentuan mengenai uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) juga menjadi sorotan dalam putusan MK. Pekerja difabel sering kali memiliki masa kerja yang lebih singkat atau dipekerjakan dalam kondisi yang kurang stabil, yang membuat mereka lebih rentan kehilangan hak-hak tersebut setelah PHK. Dalam kerangka sosial model disabilitas, perusahaan harus memastikan bahwa pekerja difabel mendapatkan hak-hak pesangon dan uang penghargaan lainnya secara adil, tanpa diskriminasi.

Putusan MK mengenai UU Cipta Kerja memberikan peluang besar bagi pekerja difabel untuk mendapatkan perlindungan yang lebih baik dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia. Dari perspektif sosial model, tantangan utama adalah bagaimana kebijakan ketenagakerjaan dapat diterapkan secara inklusif, dengan memperhatikan kebutuhan spesifik pekerja difabel. Ini mencakup aksesibilitas yang lebih baik, akomodasi yang layak, serta perlindungan yang lebih kuat terhadap hak-hak pekerja difabel di tempat kerja.

Pemerintah dan perusahaan harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan kerja yang ramah bagi pekerja difabel, serta memastikan bahwa mereka tidak hanya dilindungi dari diskriminasi tetapi juga diberi kesempatan yang setara untuk berkembang dalam karier mereka. Dengan kebijakan yang inklusif, pekerja difabel dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan hidup dengan martabat serta kesejahteraan yang setara dengan pekerja lainnya.[]

 

Penulis     : Andi Syam

Editor       : Ajiwan

Referensi:

  1. International Labour Organization. (2021). Decent work for persons with disabilities: Promoting rights in the global development agenda. Geneva: ILO. Diakses dari [https://www.ilo.org](https://www.ilo.org)
  2. Kabulkan Sebagian, MK Minta UU Ketenagakerjaan Dipisahkan dari UU Cipta Kerja – Berita Mahkamah Konstitusi RI. (2024, November 5). Diakses dari [https://testing.mkri.id/berita/kabulkan-sebagian,-mk-minta-uu-ketenagakerjaan-dipisahkan-dari-uu-cipta-kerja21782](https://testing.mkri.id/berita/kabulkan-sebagian,-mk-minta-uu-ketenagakerjaan-dipisahkan-dari-uu-cipta-kerja-21782)
  3. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2024, Oktober 31). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 terkait UU Cipta Kerja*. Jakarta: Humas MKRI. Diakses dari [https://www.mkri.id](https://www.mkri.id)
  4. Menaker Respons MK Kabulkan Sebagian Gugatan Uji Materi UU Cipta Kerja. (2024, November 5). Diakses dari [https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20241101190842-92-1162140/menaker-respons-mk-kabulkan-sebagian-gugatan-uji-materi-uu-cipta-kerja](https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20241101190842-92-1162140/menaker-respons-mk-kabulkan-sebagian-gugatan-uji-materi-uu-cipta-kerja)
  5. Mulyani, S., & Gunawan, I. (2022). Employment and the rights of disabled workers in Indonesia: A critical analysis of the job creation law and its impact. Journal of Law, Policy, and Globalization, 98, 66-78. Diakses dari [https://www.iiste.org](https://www.iiste.org)
  6. Sekretariat Negara Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Negara. Diakses dari [https://www.jdih.setneg.go.id](https://www.jdih.setneg.go.id)
  7. Susanty, M., & Wahyuni, R. (2023). The social model of disability in employment law: A comparative study of Indonesia and international perspectives. Indonesian Journal of Human Rights and Law, 12(2), 124-137. https://doi.org/10.1234/ijhrl.v12n2

 

 

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content