Views: 8
Solidernews.com. BERADA di wilayah minim akses dan kesadaran publik, sudah barang tentu akan menghadirkan hambatan tersendiri bagi warga yang meninggalinya. Terlebih jika kondisi tersebut terjadi pada difabel yang dalam kesehariannya membutuhkan dukungan orang lain. Dengan kata lain difabel berat, akan semakin berat ketika tidak hadir padanya berbagai aksesibilitas yang dibutuhkan. Tidak hadir pada mereka kesadaran publik (awarness) tentang kesetaraan hak sebagai warga negara.
Mengunjungi sebuah keluarga di wilayah minim akses di perbukitan menoreh pada Sabtu (31/8/2024). Tinggal pasangan Sutrisno dan Isnaini, serta seorang anaknya Ikhsan, bocah dengan difabel berat (Cerebral Palsy atau CP). Keluarga ini telah meninggali rumahnya selama 18 tahun. Sebuah rumah yang tidak tampak ada penghuni lain. Di belakang rumahnya, adalah jurang yang cukup dalam. Sedang tepat di depan rumahnya ialah tebing tinggi dengan rimbun pepohonan.
Minim berinteraksi dengan orang lain, kecuali harus keluar rumah untuk membawa anaknya berobat atau terapi. Selebihnya, pasangan itu mengisi waktu dengan menganyam gedebog pisang menjadi tas tempat cucian (laundry). Sebulan sekali turun untuk mengunjungi balai desa, mengambil bantuan sosial non PKH (program keluarg harapan). Salah satu program pemerintah pusat, bagi keluarga rentan miskin.
Penyisiran dan pendataan dibutuhkan, tidak hanya agar difabel dan keluarganya bisa makan. Lebih dari itu, bahwa anak-anak difabel juga butuh mendapatkan layanan terapi yang mudah, yang disediakan pemerintah. Anak-anak difabel juga butuh pendidikan, dalam kondisi apapun kedisabilitasannya.
Hilangkan stigma
Menghilangkan stigma bahwa difabel adalah orang yang tidak mampu, adalah kunci utama. Awarness atau kesadaran publik terhadap difabel dan keluarganya atas kesamaan hak dan kesempatan menjadi kunci berikutnya. Tanpa keduanya, maka hambatan demi hambatan akan berkelindan, semakin lama semakin tidak mudah.
Selain menghilangkan atau melawan stigma, negara juga harus memastikan ketersediaan infrastruktur yang aksesibel. Demikian juga dengan akses informasi, sebisa mungkin sampai pada masyarakat marjinal di desa paling tertinggal sekali pun. Hal ini dibutuhkan agar partisipasi difabel tidak tertinggal dari setiap tahapan dan proses pembangunan.
Sebab, mendapatkan manfaat dari proses pembangunan negara merupakan hak sebagai warga negara. Menjadi tugas negara melibatkan semua elemen masyarakat dalam proses pembangunan, termasuk dofabel dan atau keluarganya. Dalam proses ini, pandangan dan perlakuan setara, harus dimiliki oleh setiap pemangku kepentingan, di pusat maupun daerah.
Alfian Nur Ikhsan (9). Adalah bocah dengan difabel berat, CP. Menurut kedua orangtuanya, kondisi CP ini terjadi semenjak dia dilahirkan. Ikhsan memang lahir dalam kondisi cukup umur, dan cukup berat badan. Namun bocah ini lemas saat dilahirkan ibundanya. Proses persalinan, diperkirkan menjadi faktor kedisabilitasan Ikhsan. Ikhsan sangat sulit bertambah berat badan. Bukannya bertambah, berat badan bocah itu justru turun. Kondisi tersebut membuat Ikhsan harus menginap di rumah sakit. Setelah dinyatakan membaik, Ikhsan pun bisa pulang meninggalkan rumah sakit tanpa edukasi apapun.
Pada usia enam tahun, orang tua Ikhsan baru mengenal dan tahu kesempatan bahwa anaknya membutuhkan terapi. Terapi dibutuhkan agar kondisi fisik Ikhsan dapat diperbaiki. Informasi dan kesempatan terapi ini diperolehnya dari sebuah perkumpulan para orang tua yang memiliki anak CP di daerah tersebut.
Sebulan satu kali, Ikhsan mendapatkan terapi. Ikhsan pada akhirnya juga mendapatkan berbagai bantuan alat bantu kesehatan. Di antaranya: kursi roda, sepatu CP (AFO), dan back slap (penyangga tangan). Semua bantuan diperoleh dari organisasi swasta di Kota Yogyakarta.
Sayangnya, tak satupun alat bantu tersebut yang dioptimalkan penggunaannya. Minimnya informasi dan pemahaman atas alat bantu kesehatan, berdampak pada kedifabelan Ikhsan semakin menurun. Kini, bocah berumur 9 tahun itu, hanya memiliki berat badan 3,3 kilogram. Fisik Ikhsanpun tidak sebagaimana kondisi anak pada umumnya. Kakinya kecil, kaku dan menyilang. Sedang tangannya selalu mengepal pun juga kaku. Leher Ikhsan tak sanggup menyangga kepalanya. Bocah ini, juga tidak menunjukkan kontak mata dan respon baik terhadap stimulus.
Minimnya dukungan publik dan kurangnya awareness dan pemahaman dari lingkungan dalam hal ini keluarga, berdampak pada Ikhsan yang terkungkung dalam kedifabelannya. Dunia yang merdeka, penuh warna, menjauh dari kehidupan bocah laki-laki itu.
Berbagai masalah berkelindan pada kehidupan Ikhsan dan kedua orang tuanya. Kendala geografis wilayah, kendala sistem informasi, minimnya kesadaran dan layanan publik, telah mengungkung Ikhsan. Dia tak sanggup menyuarakan kebutuhannya, tapi lingkungan sekitar semestinya bisa membantunya.
Namun ada secercah harapan bagi Ikhsan. Yakni, saat orangtuanya bisa memahami bentuk komunikasinya. Mulutnya mengecap, itu menandakan Ikhsan lapar dan minta makan. Jika Ikhsan merengek, adalah bentuk komunikasi saat dirinya merasa tidak nyaman. Entah karena sakit, karena ingin dibopong, atau karena buang air kecil atau besar.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief