Views: 4
Solidernews.com – Hari Toleransi Internasional diperingati setiap tanggal 16 November sebagai momen global untuk merayakan keberagaman, memperkuat dialog lintas budaya, serta mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk difabel. Peringatan ini didasarkan pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi yang diadopsi UNESCO pada 1995, yang kemudian ditetapkan oleh PBB setahun berikutnya sebagai perayaan tahunan.
Deklarasi ini menegaskan bahwa toleransi bukanlah sikap pasif, melainkan penghormatan aktif terhadap keberagaman budaya, cara hidup, dan ekspresi manusia. Toleransi menjadi kunci untuk membangun komunitas yang damai dan berkelanjutan di tengah masyarakat multikultural.
Sejarah Lahirnya Hari Toleransi Internasional
UNESCO memprakarsai inisiatif untuk mempromosikan toleransi global pada 1993. Pada 1995, mereka mengadopsi Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi , dan pada 16 November, PBB mencanangkan hari tersebut sebagai peringatan resmi. Tujuan dari deklarasi ini adalah untuk:
– Menegaskan pentingnya penghormatan terhadap keragaman budaya, agama, dan etnis.
– Menghapus diskriminasi serta menciptakan kesetaraan dan kebebasan bagi setiap individu.
Penetapan hari toleransi berakar pada sejarah panjang konflik global yang sering dipicu oleh intoleransi dan diskriminasi. Dalam konteks dunia modern, toleransi dianggap sebagai elemen penting untuk mencapai perdamaian dan harmoni di tengah keberagaman.
Hubungan Hari Toleransi dengan Kehidupan Inklusif
Toleransi memiliki hubungan erat dengan konsep inklusi yang mendorong partisipasi setara bagi semua individu dalam masyarakat. Beberapa contoh penerapan toleransi dalam kehidupan sehari-hari meliputi:
- Inklusi Sosial: Menghapus stigma terhadap kelompok minoritas seperti difabel atau kelompok rentan lainnya
- Inklusi Pendidikan: Memberikan akses pendidikan yang setara bagi individu dengan kebutuhan khusus melalui kurikulum yang disesuaikan.
- Inklusi Ekonomi: Membuka peluang kerja dan kewirausahaan untuk kelompok marjinal.
Relevansi di Indonesia
Sebagai negara yang kaya akan keberagaman, Indonesia menjunjung tinggi nilai Bhinneka Tunggal Ika. Peringatan ini sering diwujudkan dalam bentuk dialog lintas agama, festival budaya, dan kampanye kesadaran publik. Program seperti ini berkontribusi dalam memperkuat harmoni sosial dan mendorong kehidupan yang damai.
Isu Inklusifitas dan Disabilitas Dalam Aktivisme di Indonesia
Ketika ada pertanyaan, apakah isu inklusivitas dan difabel dalam aktivisme masih menjadi topik yang penting, jawabannya iya. Sebagaimana yang dilansir dari gusdurian.net di bawah ini:
Simposium Best atau Beda Setara telah selesai digelar. Acara ini berlangsung selama dua hari, yakni Kamis-Jumat (15-16/11/2024)
di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Festival Beda Setara atau Best Fest yang digelar selama satu minggu penuh. Simposium yang mengusung tema “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sebagai Kritik Sosial untuk Kewargaan yang Berkeadilan” itu menghasilkan sembilan rekomendasi.
Rekomendasi dibacakan oleh Direktur Jaringan GUSDURIAN Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid dan Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURIAN Jay Akhmad didampingi oleh para dewan pengarah Jaringan GUSDURIAN, direktur lembaga dalam jaringan, koordinator wilayah Jaringan GUSDURIAN, serta tim perumus.
Pembacaan rekomendasi didahului dengan pengantar yang dibawakan oleh Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURIAN Jay Akhmad. “Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam melindungi kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) bagi warganya. Fenomena berkembangnya peraturan perundang-undangan diskriminatif, baik di tingkat nasional maupun lokal, memperlihatkan adanya kecenderungan mayoritarianisme yang memberikan kewenangan kepada negara atau kelompok mayoritas untuk menentukan keyakinan yang dianggap benar atau salah,” kata Jay.
Berikut adalah 9 rekomendasi yang dihasilkan Simposium Beda Setara 2024:
- Mendorong pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif dan langkah aktif untuk menghapus atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif, seperti UU No. 1/PNPS/1965, Undang-undang ITE, Undang-undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) dan lainnya. Upaya ini sekaligus sebagai wujud nyata dari komitmen Asta Cita dalam memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan penghormatan terhadap HAM.
- Mendorong Kementerian HAM untuk secara proaktif mendorong penghapusan serta revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminasi untuk menciptakan lingkungan hukum yang lebih inklusif dan adil.
- Mendorong Kementerian PPN/Bappenas melalui Direktorat Hukum dan Regulasi untuk memperkuat pemetaan serta penetapan kebutuhan regulasi yang mendukung penguatan jaminan HAM dan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB).
- Mendorong Kepala Daerah terpilih untuk memberlakukan moratorium terhadap penggunaan regulasi diskriminatif dan lebih berfokus pada penguatan layanan publik yang bersifat inklusif dan non-diskriminatif. Melalui Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkominda), Kepala Daerah juga diimbau untuk mengambil langkah proaktif dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) serta mendorong implementasi program-program yang mempromosikan toleransi dan penghormatan terhadap KBB di masyarakat.
- Mengajak masyarakat sipil untuk mengadvokasi penghapusan atau revisi kebijakan diskriminatif seperti UU Cipta Kerja, UU ITE, serta regulasi daerah. Masyarakat sipil juga dapat memanfaatkan jendela kebijakan seperti Ranperpres PKUB, Perpres no. 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, dan RPJMN 2025-2029 untuk mengarusutamakan KBB.
- Mengajak masyarakat sipil untuk memperkuat advokasi regulasi perlindungan bagi pembela HAM, memperluas jejaring advokasi regional dan internasional, serta mempromosikan KBB sebagai perspektif kritis dalam program negara, seperti Moderasi Beragama dan perda toleransi.
- Mengajak masyarakat sipil menggunakan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) sebagai pendekatan kritis dan interseksional, serta mengarusutamakan kesetaraan gender, disabilitas, inklusi sosial, dan lingkungan dalam isu KBB.
- Mengajak masyarakat sipil untuk mempersiapkan aktor-aktor baru yang berperspektif KBB untuk mengisi institusi negara dan memperkuat kemitraan kritis dengan pemerintah guna mendorong jaminan KBB.
- Mengajak masyarakat sipil memaknai ulang konsep negara seperti kerukunan, harmoni sosial, dan beragama maslahah untuk memperkuat narasi yang inklusif dan menjamin pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan.
Kata Beberapa Tokoh Tentang Toleransi
Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghidupkan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut disampaikan Alissa sebagai refleksi terhadap Peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November 2024.
Alissa berpendapat bahwa, semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan, tetapi harus menjadi landasan untuk menciptakan ruang hidup bersama yang harmonis di tengah keberagaman.
“Kita harus melihat warga negara yang berbeda agama, latar belakang, suku, dan lainnya sebagai saudara. Jangan sampai sentimen agama atau kesukuan menghancurkan persatuan kita,” tegasnya di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada Jumat (15/11/2024).
Menurut Alissa, intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa tahun belakangan ini akibat berkembangnya pola keberagamaan yang semakin eksklusif. Pola ini menciptakan jarak antara kelompok mayoritas dan minoritas sehingga menjadikan perbedaan sebagai alasan konflik. “Praktik keberagamaan yang eksklusif membuat kita mengambil jarak dan memandang yang berbeda sebagai lawan,” terangnya.
Lebih lanjut, Alissa memberi sorotan terhadap dampak desentralisasi pemerintahan terhadap meningkatnya kasus intoleransi. Dengan adanya kewenangan yang lebih besar di tingkat daerah, mayoritas di kabupaten atau kota tertentu sering kali mendominasi kebijakan.
“Desentralisasi mempermudah mayoritas di level kabupaten untuk berkuasa, sehingga muncul privilese berdasarkan agama. Akibatnya, demokrasi disederhanakan menjadi mayoritarianisme, yaitu pandangan bahwa mayoritas berhak menentukan kebijakan politik,” tuturnya.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum turut memperburuk kebebasan beragama di Indonesia. Menurutnya, fokus pemerintah pada harmoni sosial sering kali mengabaikan hak-hak konstitusional kelompok minoritas.
“Pendekatan harmoni sosial membuat minoritas harus mengalah demi kerukunan. Namun, Gus Dur pernah mengingatkan bahwa perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Jika keadilan tidak ditegakkan, kerukunan yang dibangun akan rapuh,” kata putri sulung Gus Dur ini.
Bagi Alissa, Peringatan Hari Toleransi Internasional menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kebangsaan. Alissa menegaskan bahwa toleransi bukan berarti mengorbankan keadilan, tetapi menjadikannya sebagai fondasi untuk membangun persatuan yang kokoh. “Semoga ke depan, kita bisa terus menjaga persaudaraan dalam keberagaman dan mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari,” pungkasnya.
Sedikit berbeda dengan pernyataan di atas, Ayu Meilindatul Hikmah (Ketua Komunitas Peduli Inklusi Nusantara Unit Malang) merasa bahwa toleransi di Indonesia tidak ada masalah, cuman terkadang kebablasan. Menurut Ayu, toleransi di Indonesia sudah cukup baik, terutama dalam hal agama, suku, dan ras. Ia mengungkapkan bahwa jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, Indonesia memiliki kemajuan yang signifikan. “Kan di luar Indonesia masih ada masalah tentang agama dan ras. Tapi kalau di sini, sejauh yang aku tahu, toleransi antarmanusia sudah cukup baik,” jelasnya pada Solidernews.com melalui pesan WhatsApp 19/11.
Namun, Ayu menyoroti toleransi dalam konteks disabilitas yang menurutnya masih perlu penyesuaian. Ia mengapresiasi berkembangnya kesadaran terhadap difabel atau disability awareness di berbagai kalangan. Meski demikian, Ayu merasa bahwa toleransi ini terkadang justru berlebihan.
Sebagai contoh, ia menjelaskan situasi di lingkungan kampus. “Kalau ada tugas kelompok, teman-teman nondifabel suka nanya, ‘Kamu sanggup nggak?’ Terus yang difabel bilang, ‘Iya, aku sanggup.’ Tapi ternyata dalam prosesnya, si difabel melewati tenggat waktu yang sudah ditentukan,” ceritanya. Menurut Ayu, meskipun itu adalah sebuah kesalahan, teman-teman nondifabel sering kali enggan menegur. “Padahal kalau difabel salah, ya ditegur aja, sama seperti nondifabel. Itu kan bentuk keadilan,” tegasnya.
Ayu menilai sikap sungkan tersebut justru menjadi hambatan bagi difabel untuk berkembang. “Kalau difabel terus-menerus ditoleransi dalam hal yang seharusnya jadi tanggung jawab mereka, mereka nggak akan maju,” tambahnya. Ia berharap ada keseimbangan dalam memperlakukan difabel, yakni memberikan dukungan tanpa mengurangi rasa tanggung jawab dan komitmen mereka.
Ketika ditanya lebih lanjut, Ayu juga menyoroti toleransi di daerah asalnya, Bali. Ia mengatakan bahwa toleransi di sana tidak hanya mencakup aspek agama dan ras, tetapi juga disabilitas. “Di tempatku, semua hal sudah ditoleransi. Aku nggak tahu ya spesifiknya di tempat lain gimana, tapi kalau di Bali ya gitu,” ungkapnya.
Secara keseluruhan, Ayu merasa toleransi di Indonesia sudah baik, meskipun masih ada ruang untuk perbaikan dalam beberapa aspek. “Kalau aku lihat dari berita-berita, toleransi di Indonesia secara umum sudah bagus kok. Tidak ada masalah besar,” tutupnya.
Mari memperingati Hari Toleransi Internasional, karena momen ini tidak hanya menjadi pengingat akan pentingnya keberagaman, tetapi juga mengajak masyarakat untuk mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menghormati keberagaman, memahami satu sama lain bahwa memang perbedaan adalah suatu keniscayaan, dan saling peduli tanpa label atau sekat-sekat yang semakin memperluas jurang perpecahan. Dengan begitu, harapannya kita semua dapat membangun dunia yang lebih inklusif, adil, dan harmonis.[]
Penulis: Andi Syam
Editor : Ajiwan Arief
Referensi:
- Gusdurian. (2024, November 16). Hari Toleransi Internasional, Gusdurian ajak masyarakat hidupkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan. Diakses pada 17 November 2024, dari [https://nu.or.id/nasional/hari-toleransi-internasional-gusdurian-ajak-masyarakat-hidupkan-bhinneka-tunggal-ika-dalam-kehidupan-j0qA8](https://nu.or.id/nasional/hari-toleransi-internasional-gusdurian-ajak-masyarakat-hidupkan-bhinneka-tunggal-ika-dalam-kehidupan-j0qA8)
- Kampung Gusdurian. (2024, November 15). Rampung digelar, Simposium Beda Setara 2024 hasilkan 9 rekomendasi. Diakses pada 19 November 2024, dari [https://gusdurian.net/2024/11/15/rampung-digelar-simposium-beda-setara-2024-hasilkan-9-rekomendasi/](https://gusdurian.net/2024/11/15/rampung-digelar-simposium-beda-setara-2024-hasilkan-9-rekomendasi/)
- Katadata.co.id. (2024, November 16). Hari Toleransi Internasional, sejarah, tema, dan signifikansinya. Diakses pada 17 November 2024, dari [https://katadata.co.id](https://katadata.co.id)
- Muallifa, R. (2024, November 16). Apa itu Hari Toleransi Internasional 16 November 2024? Momen untuk merayakan keberagaman demi kehidupan yang lebih baik. Diakses pada 17 November 2024, dari [https://www.liputan6.com](https://www.liputan6.com)
- NU Online. (2024, November 10). Festival Beda Setara dan refleksi nilai toleransi di Indonesia. Diakses pada 17 November 2024, dari [https://nu.or.id](https://nu.or.id)