Views: 30
Membaca tentang bunuh diri bisa memicu perasaan tidak nyaman, sedih, atau tertekan. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal sedang mengalami kesulitan emosional atau berpikir tentang bunuh diri, penting untuk mencari bantuan segera. Anda tidak sendirian, dan ada banyak dukungan yang tersedia.
Solidernews.com – Setiap 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day). Hari ini diinisiasi oleh International Association for Suicide Prevention (IASP) dan didukung oleh World Health Organization (WHO). Peringatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pencegahan bunuh diri di seluruh dunia, serta mempromosikan aksi-aksi untuk mendukung kesehatan mental.
Data mengenai angka bunuh diri menunjukkan bahwa masalah ini adalah salah satu tantangan kesehatan global yang serius. Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun, sekitar 700.000 nyawa terenggut l akibat bunuh diri, yang berarti ada satu kematian akibat bunuh diri setiap 40 detik di seluruh dunia. Bunuh diri juga menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 15 hingga 29 tahun secara global.
Di Indonesia sendiri, angka bunuh diri tercatat sekitar 3,4 per 100.000 penduduk. Walaupun lebih rendah dibandingkan rata-rata global (9 per 100.000 penduduk), masih ada peningkatan kesadaran yang diperlukan terkait isu ini.
Data terakhir menunjukkan bahwa dari Januari hingga Oktober 2023, terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia. Angka ini sudah melampaui jumlah kasus sepanjang tahun 2022 yang sebanyak 900 kasus. Kasus bunuh diri paling banyak terjadi di Jawa Tengah dengan 356 kasus, diikuti oleh Jawa Timur (184 kasus), dan Bali (94 kasus). Lokasi terbanyak kasus bunuh diri adalah di permukiman atau perumahan (741 kasus), dan waktu kejadian sebagian besar terjadi pada pagi hingga siang hari.
Jika dilihat dari data pada periode Januari hingga Juni 2023, tercatat 585 kasus bunuh diri.
Umumnya, angka bunuh diri pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Menurut data global, laki-lali tiga kali lebih mungkin untuk bunuh diri dibandingkan perempuan. Di Indonesia, tren ini juga serupa, dengan laki-laki memiliki angka bunuh diri lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi angka bunuh diri termasuk gangguan mental (seperti depresi dan kecemasan), penyalahgunaan zat, masalah keuangan, serta pengalaman kekerasan atau kehilangan.
Upaya pencegahan dilakukan dengan kampanye dan program untuk pencegahan bunuh diri terus digalakkan, dengan fokus pada peningkatan akses layanan kesehatan mental, peningkatan kesadaran masyarakat, dan pengurangan stigma terhadap masalah kesehatan mental.
Data ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa negara memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah, masalah ini tetap menjadi prioritas kesehatan yang penting.
Lantas bagaimana mengatasi stigma di masyarakat yang menyebabkan orang yang mengalami depresi atau gangguan mental lainnya tidak terbuka? Mengatasi stigma terhadap depresi dan gangguan mental lainnya memerlukan pendekatan yang komprehensif untuk mengubah persepsi masyarakat dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung.
Kerentanan yang Lebih Tinggi Pada Difabel
Difabel, atau penyandang disabilitas, memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap perilaku bunuh diri dibandingkan populasi umum. Beberapa faktor yang meningkatkan kerentanan difabel terhadap perilaku bunuh diri meliputi:
- Tingkat Depresi dan Kecemasan yang Lebih Tinggi
– Prevalensi Depresi dan Kecemasan: Difabel sering menghadapi risiko lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Penelitian menunjukkan bahwa difabel dua hingga tiga kali lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental dibandingkan dengan individu nondifabel, terutama jika mereka merasa terisolasi secara sosial atau mengalami diskriminasi. Gangguan mental yang tidak ditangani dapat meningkatkan risiko perilaku bunuh diri.
- Isolasi Sosial, Ekslusivism, dan Diskriminasi
– Kurangnya Dukungan Sosial: Difabel sering menghadapi diskriminasi dan stigma sosial, yang bisa menyebabkan perasaan tidak berharga, kesepian, dan kurangnya dukungan sosial. Isolasi sosial ini dapat memicu stres emosional dan perasaan putus asa, yang merupakan faktor risiko signifikan untuk bunuh diri.
- Hambatan Akses terhadap Layanan Kesehatan Mental
– Keterbatasan Akses Layanan: Banyak difabel kesulitan mengakses layanan kesehatan mental yang berkualitas. Hambatan fisik, biaya, dan kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang kebutuhan spesifik mereka dapat membuat difabel tidak menerima dukungan yang memadai. Kurangnya layanan ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental mereka dan meningkatkan risiko bunuh diri.
- Faktor Ekonomi dan Pengangguran
– Kesulitan Ekonomi dan Pengangguran: difabel sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang lebih besar, seperti pengangguran dan diskriminasi di tempat kerja. Ketidakpastian ekonomi ini dapat menambah tekanan psikologis, yang dapat menyebabkan perasaan putus asa dan meningkatkan risiko perilaku bunuh diri.
- Pengalaman Trauma dan Kekerasan
– Kekerasan dan Penyiksaan: Penelitian menunjukkan bahwa difabel lebih rentan mengalami kekerasan, baik fisik, emosional, maupun seksual. Pengalaman kekerasan ini dapat memicu trauma yang mendalam dan berkontribusi terhadap risiko bunuh diri yang lebih tinggi. Banyak difabel juga menghadapi kekerasan atau penganiayaan dalam bentuk neglect/penelantaran atau perawatan yang tidak memadai, yang dapat meningkatkan stres dan rasa tidak berdaya.
- Kurangnya Kesadaran dan Pendidikan tentang Kesehatan Mental
– Minimnya Pendidikan dan Kesadaran: Kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan mental di kalangan difabel dan masyarakat umum sering kali menyebabkan keterlambatan dalam mencari bantuan. Stigma dan mitos terkait dengan kesehatan mental juga menghambat difabel dari mencari dukungan psikologis atau terapi yang mereka butuhkan.
Saat ini, belum tersedia data spesifik mengenai angka bunuh diri di kalangan difabel di Indonesia. Namun, secara umum, difabel dapat memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap bunuh diri karena berbagai faktor, seperti keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan mental, diskriminasi, stigma, isolasi sosial, dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa kasus, mereka mungkin mengalami kesulitan tambahan, termasuk kurangnya dukungan sosial dan lingkungan yang inklusif.
Menurut Indonesian Association for Suicide Prevention / Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), stigma sosial yang melingkupi bunuh diri dapat menghambat pelaporan yang akurat dan menyebabkan underreporting kasus bunuh diri, termasuk di kalangan difabel. Diperkirakan, angka bunuh diri yang tidak dilaporkan bisa mencapai minimal 300% dari data resmi yang tercatat.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan
Sumber:
– World Health Organization (WHO)
– Data dari berbagai penelitian kesehatan mental yang mencakup populasi disabilitas
– Kementerian Kesehatan Indonesia
– Laporan dari berbagai NGO yang bekerja di bidang kesehatan mental dan hak-hak penyandang disabilitas