Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Hari Nol Diskriminasi, 56% Masyarakat Enggan Berpacaran dengan Difabel

Views: 61

Solidernews.com – Setiap tahun, tanggal 1 Maret diperingati sebagai Hari Nol Diskriminasi di seluruh dunia. Meskipun demikian, kita masih menyaksikan adanya praktik diskriminasi yang berlangsung di berbagai negara. Menurut laporan dari UNAIDS, ketidaksetaraan dalam hal pendapatan, gender, usia, status sosial, kesehatan, lapangan kerja, orientasi seksual, penggunaan narkoba, etnis, ras, kelas, asal-usul suku, dan agama tetap menjadi permasalahan yang relevan hingga saat ini. Bahkan, diskriminasi juga dialami oleh masyarakat difabel. Hal inilah kunci pembahasan di tulisan ini.

 

Hari Nol Diskriminasi t menjadi kesempatan bagi kita untuk merenungkan apakah di Indonesia, praktik-praktik diskriminasi terhadap difabel sudah berhasil kita redam sepenuhnya atau masih tetap berkecamuk di tengah masyarakat.

 

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh yayasan Lentera Hati, terungkap bahwa 67 persen dari masyarakat difabel mengaku telah mengalami diskriminasi. Bentuk-bentuk diskriminasi ini seringkali berupa kata-kata yang menyakitkan, ejekan, hinaan, atau komentar merendahkan yang menghina martabat mereka.

 

Namun, tidak hanya itu, dampak fisik dari diskriminasi juga terasa nyata. Dari survei tersebut, 23 persen dari mereka mengaku pernah mengalami perlakuan diskriminatif secara fisik, termasuk tindakan kekerasan atau pelecehan yang menghina dan melukai hati mereka.

 

Selain itu, data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada tanggal 19 Desember 2022, menunjukkan fakta yang mengejutkan. Pada periode tersebut, tercatat 987 laporan kekerasan yang melibatkan   difabel. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari diskriminasi terhadap difabel masih familiar di sekitar kita.

 

Bahkan, lebih detail lagi menunjukkan, dengan 84 kasus kekerasan yang menimpa laki-laki difabel (sekitar 8,5 persen), sementara perempuan difabel, menunjukkan, menyumbang jumlah yang mencengangkan sebesar 91,5 persen dari total kasus tersebut. Ini bukan hanya angka, melainkan seruan keras untuk tindakan nyata guna melindungi dan memperjuangkan hak-hak mereka yang rapuh ini.

 

Sementara diskriminasi difabel di duna kerja, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2022), menunjukan realitas. Pada tahun 2021, tercatat bahwa hanya sekitar 5,37% dari total tenaga kerja di Indonesia adalah  difabel, atau setara dengan 7,04 juta orang. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 0,61% dibandingkan tahun sebelumnya, di mana pada tahun sebelumnya jumlahnya mencapai 5,98%, atau sekitar 7,67 juta orang. Meski demikian, ketika kita merunut lebih detail, mayoritas dari individu dengan difabel pada tahun 2021 memilih untuk menjadi pengusaha mandiri, dengan jumlah mencapai 2,06 juta orang. Namun, angka ini masih memperlihatkan bahwa partisipasi difabel dalam pasar tenaga kerja masih terbilang rendah. Fenomena ini mungkin dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk kendala-kendala dalam akses terhadap kesempatan kerja.

 

  1. Stigma yang didapati difabel: Terdapat stigma negatif yang masih melekat kuat terhadap individu dengan difabel di masyarakat. Hal ini memengaruhi persepsi perusahaan dalam merekrut individu dengan disabilitas.
  2. Kurangnya Fasilitas Ramah difabel di Lingkungan Kerja: Banyak perusahaan belum mengimplementasikan fasilitas yang ramah terhadap difabel, sehingga membuat mereka sulit untuk bekerja secara optimal.
  3. Keterbatasan Kesadaran masyarakat akan Kepedulian terhadap difabel: Masyarakat masih kesulitan untuk memahami dan menghargai perbedaan, sehingga terkadang difabel mengalami diskriminasi sosial di lingkungan kerja.
  4. Ketidakberpihakan terhadap Kepatuhan terhadap Kebijakan Ketenagakerjaan yang Inklusif: Pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan terhadap kebijakan yang mendukung inklusi tenaga kerja bagi difabel masih lemah, sehingga peluang kerja bagi mereka seringkali terbatas.
  5. Ketidaksesuaian data difabel: Masih terdapat perbedaan data tentang jumlah difabel, yang mengakibatkan sulitnya penanganan yang efektif terhadap isu-isu yang mereka hadapi.

 

Dalam kerangka yang lebih luas, tantangan ini menegaskan perlunya tindakan nyata dari semua pihak, baik pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat, untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan memberikan kesempatan yang setara bagi  difabel dalam dunia kerja.

 

Meskipun di lingkungan pemerintahan sendiri, diskriminasi masih merupakan isu yang nyata, seperti yang diungkapkan oleh Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dalam laporan mereka terhadap seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2019, yang mencantumkan persyaratan yang memberatkan bagi difabel (BBC News Indonesia, 2019). Tambahan lagi,  difabel sering menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka.

 

Dalam upaya menegakkan keadilan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan karier, dan pengembangan karier dilakukan secara adil tanpa adanya diskriminasi terhadap difabel. Komitmen ini tercermin dalam Pasal 45 Undang-Undang no. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Tindakan nyata perlu diambil untuk mengubah paradigma dan memastikan hak-hak difabel dihormati dan dilindungi sepenuhnya dalam dunia kerja.

 

Dalam ranah pendidikan, data yang dihimpun dari Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 mengungkapkan. Hanya sekitar 56 persen dari anak-anak difabel yang berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, sedangkan hampir 3 dari 10 anak  difabel tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali.

 

Menurut Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang mengalami difabel dan masih bersekolah hanya sebesar 5,48 persen. Sementara itu, sekitar 23,91 persen dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengakses pendidikan atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali. Bahkan, lebih dari 70 persen dari  difabel telah terpinggirkan dari dunia pendidikan, entah itu karena berhenti sekolah atau tidak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Ini menunjukam dunia pendidikan masih sarat bentuk diskriminasi terhadap teman-teman difabel

 

Dalam konteks sosial romantika, diskriminasi juga masih menjadi permasalahan yang menghantui. Hasil dari survei yang meneliti kecenderungan berpacaran dengan individu  difabel menyatakan. Mayoritas responden, sebanyak 56%, mengakui bahwa mereka tidak bersedia untuk menjalin hubungan asmara dengan  difabel. Bahkan, ada 10% dari mereka yang menyatakan bahwa mereka sangat tidak bersedia untuk melakukan hal tersebut. Hanya sekitar 32% responden yang menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menjalin hubungan dengan teman-teman difabel, sementara 2% sisanya mengaku bersedia untuk melakukannya jika mereka merasa cocok. Hal ini menyoroti adanya stigma dan prasangka yang masih mewarnai pandangan masyarakat terhadap difabrl dalam ranah hubungan sosial.

 

Pada Hari Nol Diskriminasi ini, kita diingatkan akan pentingnya mengambil pelajaran dari kenyataan yang ada di sekitar kita. Meskipun kita telah maju dalam banyak hal, kenyataannya masih terdapat perilaku diskriminasi yang dialami oleh  difabsl. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk tidak hanya merayakan kesetaraan, tetapi juga untuk menghadapi fakta bahwa diskriminasi belum sepenuhnya teratasi. Masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan, masih banyak upaya yang harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua individu. Pada hari ini, kita diingatkan bahwa perjuangan melawan diskriminasi adalah tugas bersama, dan hanya dengan perhatian dan kerja keras dari semua kalangan, kita dapat mencapai visi sebuah masyarakat yang bebas dari diskriminasi dan penuh dengan keadilan untuk semua.[]

 

Penulis: Hasan Basri

Editor      : Ajiwan

 

 

  1. Disabilitas di Indonesia: Tantangan Akses Pekerjaan dan Realitas Diskriminasi

 

Oleh:

Nabila Aditya & Ellyana Dwi Farisandy

Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya (2022)

 

  1. Pandangan Penyandang Disabilitas dan Tantangan Aksesibilitas Fasilitas Publik di Kota Malang

– Slamet Thohari

 

  1. [Situs Web Radio Republik Indonesia](https://www.rri.co.id/index.php)

 

  1. “Penyandang Disabilitas Masih Sering Mengalami Diskriminasi” – Berita dari Kepulauan Riau.

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content