Views: 11
solidernews.com, Yogyakarta – Badan kesehatan dunia (WHO), mencatat lebih dari 2,5 miliar difabel di dunia membutuhkan satu atau lebih alat bantu. Alat bantu dimaksud, di antaranya: kursi roda, krug penyangga tubuh, protese, alat bantu dengar, tongkat putih, atau teknologi alat bantu berupa aplikasi yang mendukung komunikasi dan kognisi.
Namun, hampir satu miliar dari mereka, tidak memiliki akses untuk mendapatkan alat bantu yang dibutuhkan. Hanya 3 persen difabel yang memiliki akses akan alat bantu yang mengubah hidup itu. Kondisi demikian terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Pernyataan di atas disampaikan Kylie Shay, Team Lead WHO, dalam sebuah konverensi bertajuk ‘Mendukung Penyediaan Alat Bantu dan Teknologi di Negara-negara Selatan: hambatan yang terjadi dan rencana aksi nyata”. Konferensi ini diselenggarakan oleh Perkumpulan OHANA Indonesia, bekerja sama dengan Disability Rights Fund (DRF) dan The PRAKARSA. Konferensi dihelat secara hybrid. Secara tatap muka di Hotel Santika, Yogyakarta, serta online melalui platform zoom, Kamis (12/7/2023).
Kamis malam waktu Indonesia Barat, Kylie juga memberikan rekomendasi perlunya memperluas ketersediaan dan akses, meningkatkan kesadaran akan kebutuhan alat bantu, serta menerapkan kebijakan inklusif, sebagai upaya meningkatkan kehidupan milyaran orang dengan disabilitas.
Mengubah hidup
Menurut Kylie, teknologi bantu adalah sarana pengubah hidup. Teknologi tersebut membuka pintu bagi difabrl untuk mendapatkan akses secara luas di bidang pendidikan dan pekerjaan. Teknologi bantu juga akan memudahkan difabel berinteraksi sosial. Kondisi yang memungkinkan lahirnya kemandirian dan bermartabat.
Lebih lanjut dia mengatakan, menghalangi akses difabel untuk mendapatkan alat bantu, bukan sekedar melanggar hak asasi manusia. Cara-cara tersebut akan menutup kesempatan bagi difabel mencapai kemandirian baik ekonomi maupun sosial.
Kemudahan dan keterjangkauan difabel mengakses alat bantu adalah hal penting. Hal ini seharusnya menjadi kewajiban negara dalam mewujudkannya. Terutama di negara-negara dengan sumber daya terbatas.
“Alat bantu memberikan perubahan besar terhadap penggunanya. Untuk itu kami meminta semua negara, khususnya negara dengan penghasilan terbatas, untuk mendanai dan memprioritaskan akses teknologi pendukung. Sekaligus memberi kesempatan kepada setiap orang, memenuhi potensi dalam hidup,” tandasnya.
Akses Alat Bantu
Bidang teknologi alat bantu adalah bidang yang sangat luas. Banyak ragam untuk membantu pengguna dalam berbagai hal. Pendengaran, penglihatan, pengasuhan, dan sebagainya. Bisa dibayangkan, kata dia, “Bagaimana jika alat bantu bisa diakses dengan mudah oleh semua orang,” pertanyaan Kylie. Sekaligus pernyataan tegas pentingnya alat bantu bagi difabel.
Dari sudut pandang WHO, alat bantu adalah produk kesehatan, imbuhnya. Produk penting yang perlu disediakan secara universal, bagi siapa pun yang membutuhkan.
Laporan global yang diluncurkan Dirjen WHO 2022 bersama Dirjen Unicef, menampilkan komitmen pemimpin politik terhadap alat bantu. Hal tersebut bertujuan agar WHO bisa memperoleh pertanggung jawaban pemimpin, terhadap ketersediaan alat bantu.
Adapun upaya mengetahui situasi akses terhadap alat bantu secara global, WHO bersama para mitra, bekerja keras selama tiga tahun mengumpukan data dengan berbagai perangkat.
“Kami menunjukkan bentuk teknologi dengan rapid assessment”, kata Kylie. Lanjutnya, kami meminta pemerintah menunjukkan indikator kemajuannya. Hal ini dalam upaya melihat keseriusan negara dari sisi sistem. Dari data ini kami mengidentifikasi kebutuhan alat bantu jauh lebih besar dari yang tersaji dalam data.
“Lebih dari setengah milyar orang, membutuhkan alat bantu lebih dari satu. Semakin bertambah usia, kebutuhan akan alat bantu semakin meningkat. Akan naik secara signifikan, menjadi 3,5 miliar pada tahun-tahun mendatang (2050),” terang leader WHO petang itu.
Pengaruh kesenjangan ekonomi
Pada paparannya, Kylie juga menyoroti kesenjangan besar dalam mengakses alat bantu, antara negara dengan pendapatan rendah dan negara dengan pendapatan tinggi. Hasil riset dan analisia terhadap 35 negara, ditemukan fakta, hanya 3 persen warga di negara miskin yang dapat mengakses alat bantu. Sedang di negara kaya, 90 persen difabel mampu mengaksesnya.
Sementara, dari sudut pandang CRPD pada pasal 32 tentang kerjasama internasional. Di dalamnya tertulis, adanya kewajiban negara dalam mewujudkan kemudahan difabel mengakses alat bantu.
Mendorong pemerintah dapat saling bekerja sama, harus dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat. Dengan tujuan, pemerintah membuka akses seluas mungkin terhadap alat bantu. Fakta, bahwa lansia, menjadi bagian pengguna alat bantu tersebut. Dua dari tiga orang lansia, setidaknya membutuhkan satu alat bantu.
Kylie juga menghimbau, untuk bersama mengangkat wacara lebih luas, membuka kesempatan diskusi dengan banyak pihak. Dismapaikannya pula, bahwa laporan global menyatakan, difabel membayar secara mandiri melalui klinik. Digarisbawahinya, kondisi demikian menambah beban finansial penggunanya.
“Alat bantu mahal, tak mudah dijangkau oleh sebagian besar penyandang disabilitas di negara dengan pendapatan rendah. Ini kesempatan untuk mendorong pemerintah membuat akses yang memudahkan mencapai alat bantu,” himbauan Kylie.
Keadilan dan Kesadaran
Melakukan aksi pada lima bidang utama, perlu diagendakan. Aksi ditujukan bagi mereka yang terdampak, dilakukan bersama berbagai pihak. Baik pengguna maupun penyedia layanan alat bantu. Dengan goal, difabel tidak harus pergi terlalu jauh, untuk mendapatkan alat bantu yang dibutuhkan. Dengan demikian, indikator kemajuan negara terwujud.
Dibutuhkan juga, tenaga profesional terlatih, untuk memberikan dukungan pada penggguna alat bantu. Kemudian penguatan sistem pada suatu negara. Serta, melakukan assessment terkait rintangan terbesar apa yang dihadapi. Apakah pada personil atau pengguna alat bantu, atau pada akes yang tak mudah.
Mulai mengintegrasi produk sampai tingkat bawah, menjadi pesan penting salah satu petinggi badan kesehatan dunia itu. Hal tersebut dimungkinkan dapat menciptakan layanan kesehatn dan pendidikan, transportasi yang terjangkau hingga tingkat bawah. Sehingga, difabel tidak harus pergi jauh untuh dapat mengaksesnya.
Sekali lagi Kylie menggarisbawahi, pentingnya teknologi alat bantu dalam membantu orang-orang dalam konteks kemanusiaan. Dalam darurat kebencanaan, difabel harus merespon situasi darurat.
Menyampaikan argumentasi kuat pada negara, terkait perlunya investasi alat bantu. Bahwa alat bantu akan bernilai ekonomi bagi negara. Dengan berinvestasi 1 dolar alat bantu, dapat menghasilkan nilai ekonomi 9 dolar bagi negara. Sehingga masuk akal, bagi negara untuk berinvestasi dalam penyediaan alat bantu.
Di akhir sesinya, Kyle berbagi prkatik baik yang telah dilakukan WHO. “Kami menyediakan pelatihan online, untuk petugas kesehatan primer yang akan berkerja langsung dengan masyarakat., Selanjutnya, mengembangkan alat bantu dalam situasi darurat kebencanaan, yang telah diterapkan, di Ukraina dan Sudan.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief