Views: 29
Solidernews.com – Pada Rabu, 2 Juli 2025, GELITIK (Gerakan Literasi Inklusi) kembali menyelenggarakan Lunch Talk edisi kedua secara daring, mengangkat topik “Tunjangan Disabilitas, Perlukah?” Diskusi ini menjadi ruang penting untuk membongkar realitas ekonomi komunitas difabel di Indonesia. Diskusi dilaksanakan secara daring melalui platform zoom.
Masyarakat difabel hidup dengan extra cost of disability—biaya tambahan yang tidak bisa dihindari demi memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti mobilitas, komunikasi, pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan. Ini bukan tentang gaya hidup, tetapi tentang bertahan hidup. Namun hingga kini, belum ada skema tunjangan bagi difabel secara nasional yang sistematis dan menyeluruh. Negara justru memilih diam, sementara Masyarakat difabel dipaksa menanggung sendiri beban yang semestinya menjadi kewajiban negara.
Diskusi dimoderatori oleh Ayu Puspita Ningrum, mahasiswa Master of Public Policy dari Australian National University sekaligus peer support worker di Stride Mental Health. Ia membuka sesi dengan menyoroti belum rampungnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Konsesi sebagai salah satu amanat utama dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
Sembilan tahun setelah undang-undang disahkan, RPP ini masih tertahan di meja birokrasi, padahal merupakan langkah awal untuk memastikan akses terhadap bentuk tunjangan atau pengurangan beban biaya dasar bagi difabel.
Hendry Hernowo, Ketua Forum Inklusi Disabilitas Kabupaten Magelang dan alumni Monash University, membagikan pengalaman hidup sebagai difabel netra parsial yang tinggal di daerah pedesaan berbukit. Ia harus mengeluarkan biaya besar hanya untuk transportasi dan perangkat pembaca layar demi bisa bekerja dan menjalani aktivitas sehari-hari. Sistem pendataan baru bernama Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) kerap menyimpulkan bahwa difabel adalah “mampu” hanya karena pengeluarannya tinggi—tanpa mempertimbangkan bahwa pengeluaran itu timbul dari kebutuhan aksesibilitas yang tidak bisa ditunda. Akibatnya, banyak yang dicoret dari program bantuan sosial seperti PBI BPJS Kesehatan.
Ironisnya, negara memiliki skema tunjangan untuk menanggung biaya tambahan (extra cost) bagi ASN di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Namun kelompok difabilitas—yang setiap hari menanggung biaya hidup tambahan lebih berat—tidak memperoleh perlakuan yang sama. Sementara itu, banyak alat bantu bagi difabel yang harus diimpor dan dikenakan pajak tinggi, padahal alat-alat ini bersifat esensial untuk menunjang hidup dan produktivitas.
Herman Wahidin, kandidat doktor dari University of Melbourne dan co-founder SCI United Indonesia, mengangkat realitas hidup orang dengan Spinal Cord Injury (SCI) atau cidera saraf tulang belakang. Setiap harinya, orang dengan SCI yang hidup di kursi roda, harus menanggung tambahan biaya hidup terkait kebutuhan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB), seperti kateter, popok dewasa, dan obat pencahar. Belum lagi rentannya terhadap luka tekan karena posisi duduk terus-menerus dan infeksi saluran kencing yang membutuhkan biaya medis yang tidak sedikit. “Kondisi ini membuat singkatan SCI seringkali diplesetkan menjadi Super Cost Injury—karena biaya ekstra yang berkelanjutan dan tidak bisa dihindari” ungkapnya.
Ia melanjutkan, Yang lebih mengkhawatirkan, ketiadaan akses terhadap tunjangan dan layanan kesehatan dapat meningkatkan risiko kematian. Luka tekan duduk yang tak tertangani bisa menjadi infeksi serius dan menyerang tulang, begitu juga infeksi saluran kemih yang bisa menyebabkan gagal ginjal menjadi ancaman yang nyata. Bagi banyak orang dengan SCI yang tinggal di pelosok, tantangan terkait transportasi dan akses kesehatan dirasakan lebih pelik lagi dibandingkan dengan di perkotaan.
Ayu Puspita Ningrum, megungkapkan juga bahwa biaya ekstra sebagai seorang difabel psikososial juga sangat tinggi. Mereka membutuhkan obat-obatan dari dokter yang harganya mahal, dimana obat-obatan tersebut ada yang ditanggung oleh BPJS dan lebih banyak yang tidak.
Diskusi juga menyoroti pentingnya pembaruan dan penyempurnaan data. Hendry menekankan bahwa data terpilah berdasarkan jenis difabel, usia, dan wilayah sangat penting untuk memastikan intervensi kebijakan yang tepat sasaran. Herman menambahkan bahwa di negara maju, termasuk Australia, pajak yang tinggi digunakan untuk menjamin perlindungan sosial bagi kelompok rentan, baik berupa konsesi atau fasilitas lainnya. Indonesia harus mulai menata ulang prioritas fiskalnya agar lebih adil terhadap warganya yang paling tersisih.
Dari forum ini, GELITIK merumuskan tujuh rekomendasi kritis:
- Tunjangan bagi difabel bukan belas kasihan, tetapi hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), serta Pasal 16 dan 17 UU No. 8 Tahun 2016.
- Negara perlu menetapkan Indeks biaya tambahan yang timbul akibat kondisi difabel, guna memetakan kebutuhan hidup berdasarkan jenis dan tingkat kedifabelan.
- Konsesi harus menjadi langkah awal dalam skema tunjangan bagi difabel, dan RPP terkait konsesi harus segera disahkan. Konsesi dapat diwujudkan melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan sektor swasta.
- Tunjangan bagi difabel harus dirancang secara nasional dan terintegrasi, bukan bergantung pada kebijakan lokal yang sporadis.
- Berlakukan subsidi pajak dan bea masuk untuk alat bantu bagi difabel, agar kelompok difabel tidak menanggung beban ganda.
- Reformasi data sosial ekonomi harus menjamin keadilan, agar pengeluaran tinggi akibat aksesibilitas tidak menyebabkan komunitas difabel terhapus dari skema bantuan sosial.
- Libatkan kelompok difabel secara aktif dalam perumusan kebijakan, agar solusi yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan nyata.[]
Reporter: Andi Syam
Editor : Ajiwan