Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Gus Dur: Pluralisme, Humanisme, dan Kaitannya dengan Kesetaraan Difabel

Views: 8

Solidernews.com – Gus Dur, bagi Republik Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama dan mantan Presiden Indonesia. Namun, juga sebagai pelopor pemikiran inklusif yang mendalam. Dalam berbagai pandangannya, Gus Dur menekankan pentingnya keberagaman dan penerimaan terhadap semua kalangan, tanpa terkecuali.

Pluralisme adalah salah satu konsep yang sangat dijunjung tinggi oleh Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur. Ia meyakini bahwa pluralisme adalah pondasi penting dalam membangun masyarakat yang damai dan harmonis. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman, pemikiran Gus Dur tentang pluralisme memiliki relevansi yang kuat, terutama dalam hal kesetaraan hak bagi   difabel. Gus Dur berpandangan, Indonesia adalah milik semua elemen masyarakat, tanpa membedakan ras, suku, bahasa, etnis, maupun agama dan keyakinan. Selain itu, bagi Gus Dur, pluralisme berarti menghargai keberagaman yang merupakan bagian dari sunnatullah.

Sebagai figur difabel netra yang memiliki kiprah hingga menjadi presiden ke-4 RI, tentunya pandangan, semangat, keilmuan, dan disiplin dari sosok pria kelahiran Jawa Timur ini patut jadi contoh. Khususnya bagi para difabel muda. Nah, mari kita bedah relefansi pemikiran pluralisme Gus Dur dengan spirit perjuangan kesetaraan hak bagi kelompok difabel.

Difabel dan Kaitannya dengan Pluralisme Pandangan Gus Dur

Gus Dur mengartikan pluralisme sebagai pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan. Ia percaya bahwa setiap individu, terlepas dari latar belakang agama, etnis, atau kemampuan fisik, berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan dihormati. Dalam banyak kesempatan, Gus Dur menekankan pentingnya dialog antarbudaya dan antarkelompok untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik.

Selain itu, Pluralisme, menurut Gus Dur , bukan hanya soal toleransi, tetapi juga tentang keadilan dan kesetaraan hak bagi semua orang. Dalam konteks kesetaraan hak bagi  difabel, prinsip pluralisme yang diusung Gus Dur sangat relevan. Di Indonesia,  difabel sering kali menghadapi berbagai tantangan, baik dalam akses pendidikan, pekerjaan, maupun layanan publik. Masyarakat seringkali masih memiliki stigma dan pandangan negatif terhadap difabel, yang menyebabkan marginalisasi dan diskriminasi.

Gus Dur mengajarkan bahwa setiap orang, termasuk mereka yang memiliki difabel, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tentu dengan kesadaran penuh bahwa adanya masyarakat difabel dan non-difabel itu dijadikan sebagai keragaman. Bukan kekurangan. Berangkat dari hal itu, untuk menciptakan sosial inklusif akan lebih mudah dicapai.

Aksesibilitas dan Kesetaraan Hak

Salah satu langkah penting dalam mewujudkan pluralisme adalah dengan memastikan bahwa semua individu, termasuk  difabel, dapat mengakses layanan dan peluang yang sama. Di Indonesia, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas merupakan landasan hukum yang memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak  difabel.

Namun, implementasi undang-undang ini masih memerlukan perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan adanya semangat pluralisme, harapannya kita memandang aksesibilitas ini menjadi perhatian publik. Karena aksesibilitas itu juga akan bermanfaat bagi semua masyarakat.

Gus Dur sering mengingatkan bahwa keadilan sosial harus mencakup semua lapisan masyarakat. Dengan mengedepankan pluralisme, kita diajak untuk melihat difabel sebagai bagian dari keragaman yang harus dihargai. Pembangunan infrastruktur yang ramah difabel, pendidikan inklusif, serta pemberdayaan ekonomi bagi  difabel adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mewujudkan kesetaraan hak.

Mengajak dan Menyadarkan Atensi Publik

Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang mampu menggugah kesadaran publik. Melalui diskusi dan dialog, ia mengajak masyarakat untuk melihat difabel dengan sudut pandang yang lebih positif. Kesadaran akan keberagaman dan hak-hak  difabel perlu ditanamkan dalam masyarakat, sehingga stigma dan diskriminasi dapat berkurang. Edukasi yang tepat tentang difabel dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan ramah bagi semua orang.

Dalam konteks keberagaman, Gus Dur berkeyakinan bahwa perbedaan adalah anugerah yang harus dirayakan, bukan dijadikan alasan untuk memecah belah. Maka dari itu, kita harus sekuat mungkin untuk menciptakan jembatan antar kelompok yang berbeda, termasuk di dalamnya orang-orang dengan difabel. Belajar dari pendekatan yang Gus Dur gunakan yaitu humanis dan dialogis, tentunya upaya mengurangi stigma dan diskriminasi, itu lebih mudah didapatkan. Serta mendorong masyarakat untuk saling menghormati dan belajar dari satu sama lain.

Maka dari itu, konteks “Pluralisme” yang diusung oleh Gus Dur mengajarkan kita bahwa setiap individu, termasuk penyandang difabel, berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan dihormati. Dengan mengedepankan dialog dan toleransi, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. Kesetaraan hak bagi penyandang difabel di Indonesia harus menjadi perhatian bersama, agar setiap orang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa tanpa terkendala oleh perbedaan. Dengan mengintegrasikan prinsip pluralisme ke dalam kebijakan dan praktik sehari-hari, kita dapat mewujudkan visi Gus Dur untuk masyarakat yang lebih adil dan harmonis.[]

 

Penulis : Wachid Hamdan

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air