Views: 13
Solidernews.com – Yayasan Sapda pernah mengeluarkan. rilis bahwa pada 2022 pihaknya menemukan 81 kasus kekerasan pada perempuan difabel yang terlaporkan, sebagian besar terjadi kepada ragam difabel rungu-wicara sebanyak 31 kasus, kemudian ragam difabel intelektual 22 kasus serta ragam difabel mental 14 kasus. Sementara berdasarkan bentuk kekerasan, jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi paling tinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual perkosaan 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga 15 kasus.
Setiap penyintas/survivor mengalami dua hingga enam bentuk kekerasan sekaligus.
Menilik Catahu Komnas Perempuan tahun 2022, menurut data dari lembaga penyedia layanan, terkait kekerasan terhadap perempuan difabel yang ditangani oleh Komnas Perempuan adalah 72 kasus.
Upaya pencatatan-pencatatan ini juga menghasilkan temuan tentang adanya hambatan berlapis yang menjadi tantangan tersendiri bagi jalannya proses pendampingan penyintas kekerasan berbasis gender dan disabilitas, mulai dari hambatan individu, keluarga, lingkungan, regulasi, hingga sarana dan pra sarana.
Hal ini tentu memprihatinkan. Bayangkan saja, itu hanya angka-angka yang muncul dan baru pada satu atau dua lembaga saja. Bagaimana realitas yang sebenarnya adalah seperti gunung es. Di atas disebutkan yang menimpa difabel mental ada 15 orang. Apakah faktor ia sebagai perempuan difabel yang memiliki disabilitas mental adalah satu-satunya faktor? Tidak. Justru kerentanan mereka yang dijadikan sebagai objek kekerasan sebab pelaku yang biasanya merasa berkuasa dan bisa menguasai korban menempatkan diri lebih tinggi dari korban
Lalu bagaimana jika perempuan nondifabel kemudian menjadi korban kekerasan yakni KDRT oleh suaminya sehingga ia akhirnya mengalami gangguan kesehatan jiwa, apakah potensi rentan KDRT yang dialaminya akan menjadi salah satu trigger/pencetus yang melatarbelakangi korban kemudian mengalami gangguan jiwa?
Contoh itu disajikan dalam film “Sehidup Semati” garapan Upi Avianto. Laura Basuki memerankan Renata, seorang istri yang sangat patuh kepada suami lantas mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangg (KDRT). Berulangkali ia mengalami kehilangan realitas kehidupan nyatanya. Ia tidak bisa membedakan mana kehidupan perkawinan yang indah dan ideal seperti impiannya atau laksana perkawinan toxic yang penuh dengan tipu-tipu daya serta pukulan-pukulan fisik yang kerap ia alami.
Renata menerima rasa kesakitan secara fisik tersebut dengan berat hati sebab tidak ada dukungan keluarga apalagi tokoh agama bagi dirinya dan suami yang agamis, yang semestinya bisa melindunginya. Alih-alih diberi pertolongan atau setidaknya ada pembelaan, ia justru mengalami perundungan oleh keluarga. Ia disalahkan atas perlakuan suaminya kepadanya sebagai seorang istri yang tidak becus mengurus rumah tangga. Padahal sangat jelas, ia datag ke rumah keluarga besar dalam keadaan luka-luka lebam karena pukulan dan sangat membutuhkan support system.
Suatu ketika Renata menanyakan kepada suaminya atas status pekerjaan sang suami setalah mendapat telepon dari kantor. Setelah bertubi-tubi mengalami sendiri ketimpangan hubungan suami istri m : Suami suka tidur menyendiri di kamar yang lain yang selalu ia sebut sebagai kamar kerja. Padahal di kamar itu Renata sudah melihat gelagat yang tidak baik, ada perempuan lain tinggal di sana. Lantas apa balasan dari itu? suaminya menyuruhnya meminum obat, diduga obat psikiatrik. Terlepas apakah ia sudah memiliki gangguan kejiwaan terlebih dahulu atau memang sang suami yang sangat kejam sengaja menempatkannya sebagai pesakitan alias orang ‘sakit jiwa” yang pantas diperlakukan semena-mena.
Terlepas pula dari apa yang terjadi di masa lalu Renata, ia yang menyimpan luka trauma, setiap hari melihat laku kekerasan oleh sang ayah terhadap ibunya. Luka yang sampai kapan pun tak akan pernah sembuh. Luka yang akan terus mengendap meski sejuta permintaan maaf terucap.
Pesan dari film ini kiranya adalah, mau dalam kondisi mental seperti apa dirimu; memiliki trauma kekerasan tinggal bersama keluarga toxic di masa lalu, atau tidak memiliki pun, yang namanya kekerasan baik fisik, seksual yang di dalam film Sehidup Semati terjadi di ranah rumah tangga, kekerasan tersebut dapat mengakibatkan luka batin. Ia bisa mencetus berubah menjadi satu bentuk perlawanan berupa kekerasan kemudian berbalik menyerang pelaku. Seperti yang terjadi di film “Sehidup Semati” yang endingnya bikin miris. Kemenangan perempuan korban yang harus dibayar dengan kematian.[]
Reporter : Astuti
Editor : Ajiwan