Views: 574
Solidernews.com – Dunia perfilman masih belum mencapai tingkat inklusivitas yang memadai, terutama dalam memperlakukan peran-peran difabel. Seringkali, karakter difabel diposisikan dalam konteks ketidakmampuan, tanpa memperhatikan potensi dan martabat mereka sebagai individu. Ini merupakan contoh nyata dari apa yang disebut sebagai ableisme, di mana stigma terhadap difabel masih menjadi bagian tak terhindarkan dari budaya kita.
Film “Agak Laen” merupakan contoh yang paling dekat. Meskipun berhasil meraih lebih dari 8 juta penonton dan dianggap sebagai salah satu yang terbaik pada tahun 2024, film ini juga mencerminkan ketidaksesuaian dalam memperlakukan karakter difabel. Dalam film tersebut, ada karakter bernama Obet (Sadana Agung) digambarkan sebagai seseorang dengan difabel, khususnya ketidakmampuan bicara. Pemakaian karakter ini, terutama dalam konteks kegagalan komunikasi, telah menimbulkan kontroversi karena dianggap mewakili pola pikir ableis, yang memperkuat stereotip dan prasangka terhadap difabel.
Adegan yang menyoroti kesulitan komunikasi Obet dipandang sebagai contoh nyata dari pandangan yang kurang sensitif terhadap realitas difabel. Hal ini menciptakan kesan bahwa karakter-karakter seperti Obet hanya layak untuk ditertawakan atau disoroti atas kelemahan mereka, tanpa memperhatikan potensi dan martabat mereka sebagai individu.
Selain itu, ketidakpuasan juga muncul dari fakta bahwa peran difabel dalam film ini tidak diperankan oleh aktor yang benar-benar mengalami difabilitas dalam kehidupan nyata. Ini memunculkan pertanyaan tentang representasi yang autentik dan kesempatan yang adil bagi teman-teman difabel untuk terlibat dalam industri perfilman. Menunjukkan karakter difabel dengan akurat dan sensitif membutuhkan keterlibatan dan pengalaman langsung dari komunitas tersebut.
Oleh karena itu, ada suara-suara yang mengecam penggunaan karakter Obet dan mempertanyakan keputusan untuk tidak melibatkan aktor difabel yang sebenarnya. Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya inklusi dan representasi yang tepat dalam media, film-film seperti “Agak Laen” diharapkan untuk mempertimbangkan ulang pendekatan mereka terhadap representasi difabel agar tidak memperkuat stigma dan prasangka yang sudah ada.
“Agak Laen” Tuai Kritik
Kritik terhadap film ini bahkan sempat menjadi trending di Twitter, dengan banyak pengguna yang menganggapnya sebagai contoh nyata dari ableisme. Sebagai contoh, akun @XXNZR__ dalam cuitannya menyebut film “Agak Laen” sebagai bentuk diskriminasi terhadap kaum disabilitas. Dia juga menyatakan perasaan kekecewaannya terhadap film tersebut.
“Reaksi pertama gw kelar nonton Agak Laen adalah buka profil yang meranin karakter Obet. Bukan difabel. Ga lama, nanya pendapat beberapa temen difabel yang nonton atau minimal terpapar ceritanya ni film. Pada kesel tuh ternyata. Ya udah ableist berarti ini film. Kelar,” tulisnya.
Dalam cuitannya, dia menyampaikan bahwa setelah menonton film tersebut, reaksi pertamanya adalah mencari informasi tentang pemeran karakter Obet. Dia menyoroti bahwa Obet digambarkan bukan sebagai seorang difabel, melainkan lebih fokus pada ketidakmampuan komunikasinya. Kemudian, dia juga menanyakan pendapat beberapa teman yang merupakan difabel atau paling tidak telah terpapar oleh cerita film ini. Hasilnya, mereka merasa kesal dengan cara karakter difabel dipresentasikan dalam film tersebut. Dengan demikian, menurutnya, film ini dapat dikategorikan sebagai ableist.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh akun @runiarumndari. Meskipun dia mengakui bahwa “Agak Laen” mampu menghibur dan memiliki daya tarik dari segi plot serta chemistry para pemainnya, namun dia merasa beberapa lelucon yang disajikan dalam film tersebut cukup mengganggu.
“Sebelum mengungkapkan keresahanku, harus kuakui bahwa secara keseluruhan AGAK LAEN menghibur, punya keseruan—baik dari segi plot dan chemistry para pemain—yang bisa mengikat atensi penonton sepanjang durasi, serta tampak begitu fresh di antara lautan film horor lokal,” cuit @runiarumndari.
Namun, dia juga menyoroti beberapa lelucon yang mengganggunya, terutama yang berkaitan dengan transpuan, tokoh dengan disabilitas, dan istilah “pelakor”. Dia menilai bahwa istilah “pelakor” saja sudah mencerminkan misogini, apalagi ketika dalam konteks film, karakter tersebut seolah dipandang sebelah mata. Meskipun mungkin dianggap sebagai pembawa suasana atau humor, bagi @runiarumndari, lelucon-lelucon tersebut hanya sekadar mengolok, bukan menciptakan humor yang sejati. Dia setuju dengan pendapat Geger Riyanto dalam tulisannya tentang “Humor dan Kebejatan”, bahwa humor yang sejati adalah yang mampu bermain dengan harapan penonton, dengan adanya setup dan punchline yang menghibur. Namun, lelucon-lelucon dalam film tersebut hanya menyinggung dan tidak memiliki kedalaman humor yang sebenarnya. @runiarumndari juga menyoroti bahwa ada beberapa elemen dalam film tersebut yang sebenarnya bisa dikembangkan menjadi lelucon yang bernada social commentary, namun sayangnya dilewatkan begitu saja. Baginya, jika lelucon “gelap” tersebut diperbaiki, “Agak Laen” bisa menjadi salah satu film lokal favoritnya tahun ini.
Dalam menutup tulisan ini, saya merasa penting untuk mengakui bahwa meskipun langkah-langkah menuju inklusivitas dalam perfilman telah diambil, masih ada banyak ruang untuk peningkatan. Kasus seperti yang terjadi dalam film “Agak Laen” menunjukkan bahwa kita masih jauh dari mencapai representasi yang memadai bagi teman-teman difabel dan kelompok minoritas lainnya.
Penggunaan karakter seperti Obet dalam film tersebut mengundang pertanyaan tentang cara kita memperlakukan dan mewakili orang-orang dengan kebutuhan khusus dalam media. Jika kita benar-benar menghargai inklusi dan keadilan, maka penting untuk menghadirkan representasi yang lebih sensitif dan autentik.
Saya berharap bahwa kritik-kritik yang diungkapkan oleh pengguna media sosial seperti @XXNZR__ dan @runiarumndari, serta suara-suara lainnya yang menyoroti masalah ini, dapat menjadi panggilan untuk refleksi dan perubahan dalam industri perfilman. Kita perlu terus berupaya untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan memastikan bahwa semua orang, tanpa terkecuali, merasa dihargai dan diwakili dalam cerita-cerita yang kita sampaikan.
Dengan kesadaran dan tindakan bersama, saya percaya bahwa kita dapat merumuskan sebuah masa depan di mana semua individu, termasuk difabel dan kelompok minoritas lainnya, dapat merasa diterima sepenuhnya dalam dunia perfilman, serta memperoleh kesempatan yang adil untuk terlibat dalam proses kreatifnya.[]
Pnulis : Hasan
Editor : Ajiwan