Views: 18
Solidernews.com—Masyarakat Indonesia kembali dikejutkan oleh ancaman dua titik gempa megathrust yang berada di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Hal ini memicu kepanikan, serta menyadarkan masyarakat bahwa mereka kurang mendapatkan edukasi terkait mitigasi bencana, padahal ancaman bencana tersebut nyata di hadapan mata.
Berbicara tentang gempa megathrust, penting untuk memahami potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana ini. Salah satu potensi paling ekstrem adalah tsunami dengan kecepatan tinggi. BMKG menyebutkan bahwa potensi gempa megathrust di Indonesia dapat menyebabkan tsunami, seperti yang terjadi di Nankai, Jepang, pada tahun 1946.
Sangat penting bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok berisiko seperti difabel, untuk memahami cara menanggulangi dan memininimalisir dampak kerusakan akibat gempa. Kesetaraan, akses informasi, dan edukasi kebencanaan sangat penting diberikan dan dipahami bagi kelompok ini.
Kepanikan Massal Akibat Prediksi BMKG yang Ambigu
Keresahan masyarakat Indonesia dimulai ketika sebuah video viral di media sosial menampilkan Kepala BMKG, Dwikorita, yang menyatakan bahwa Jakarta akan lumpuh akibat gempa megathrust. Suasana panik makin meningkat ketika Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa kepanikan ilmuwan Jepang yang meninjau potensi megathrust di Nankai, mirip dengan kepanikan ilmuwan Indonesia yang memantau Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
“Jika gempa dahsyat di Megathrust Nankai Jepang benar-benar terjadi dan menimbulkan tsunami, maka hal itu perlu kita waspadai karena tsunami besar di Jepang dapat menjalar ke Indonesia”, ujar Daryono, dikutip dari UMJ.ac.id.
Informasi dari BMKG ini memicu kesalahpahaman seolah gempa megathrust akan segera terjadi. Saat kepanikan massal terjadi, BMKG mengeluarkan klarifikasi terkait pengumuman dua titik megathrust yang berpotensi menyebabkan bencana besar. Dalam keterangan tertulis pada Kamis, 15 Agustus 2024, Daryono menjelaskan bahwa ini hanya sebagai peringatan dan pengingat bahwa di Indonesia terdapat dua zona megathrust yang berada dalam keadaan kekosongan gempa (seismic gap) yang telah berlangsung ratusan tahun, dan berpotensi menyebabkan gempa berkekuatan besar.
“Peristiwa semacam ini menjadi momen yang tepat untuk mengingatkan kita di Indonesia akan potensi gempa di zona seismic gap Selat Sunda dan Mentawai-Siberut”, imbuhnya.
Kesetaraan Akses Edukasi Mitigasi Bencana bagi Difabel
Dalam konteks kebencanaan di Indonesia, terdapat kelompok berisiko yang salah satunya adalah kelompok difabel. Di mana hingga kini, Kelompok difabel belum mendapatkan hak akses layak terhadap informasi bencana, edukasi mitigasi kebencanaan, dan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang memadai dari pemerintah. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena kelompok difabel sering menjadi korban bencana dengan dampak yang empat kali lebih berat daripada masyarakat nondifabel, terutama mereka yang tidak memiliki pengetahuan kebencanaan.
Alasan utama mengapa difabel menjadi kelompok berisiko saat terjadi gempa adalah keterbatasan mobilitas, lambatnya informasi, dan kurangnya langkah konkret dari pemerintah untuk melibatkan difabel dalam wacana kebencanaan. Serta stigma bahwa kelompok difabel itu masuk dalam kelompok rentan. Edi Supriyanto menjelaskan bahwa di lapangan, difabel masih dianggap sebagai kelompok rentan yang hanya menjadi objek yang harus ditolong, tanpa kesempatan untuk menerima edukasi agar dapat melakukan penyelamatan mandiri. Hal inilah yang meningkatkan jumlah korban jiwa dari kelompok difabel karena mereka tidak mendapatkan pembinaan kebencanaan yang memadai.
“Sejauh ini, isu tentang mitigasi bencana yang melibatkan difabel kurang terlaksana dengan baik. Kami masih terstigma sebagai masyarakat rentan, yang di lapangan hanya menjadi objek untuk ditolong, bukan untuk diedukasi. Parahnya, kadang para relawan yang menolong tidak paham cara menghadapi dan berinteraksi dengan difabel, sehingga malah dapat menimbulkan bencana baru karena ketidaktahuan tersebut,” tutur Edi Supriyanto, Ketua SEHATI Sukoharjo, Jawa Tengah, dalam acara webinar Gerakan Optimalisasi Organisasi Difabel yang dicanangkan SIGAB Indonesia pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Penting untuk dipahami bahwa bencana alam, khususnya gempa bumi, merupakan penyebab peningkatan populasi masyarakat difabel. PBB pun menyatakan bahwa difabel menjadi kelompok yang empat kali lebih terdampak oleh bencana alam. WHO dan World Bank juga mengakui bahwa bencana alam berkontribusi pada peningkatan populasi difabel akibat kerusakan yang ditimbulkan bencana.
Padahal, secara hukum, pemerintah sudah memiliki peraturan yang mendukung. Mulai dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Perka No. 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana, Perka No. 11 Tahun 2014 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, hingga UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang seharusnya menjadi pijakan pemerintah untuk melibatkan difabel agar tangguh dalam menghadapi bencana. Namun, kenyataannya belum terlaksana dengan baik.
Upaya Mitigasi Bencana bagi Difabel
Mitigasi bencana adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam konteks gempa bumi, langkah-langkah mitigasi meliputi perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur yang tahan gempa, serta pendidikan dan pelatihan tentang cara bertahan selama gempa, termasuk bagi masyarakat difabel.
Perencanaan Tata Ruang dan Infrastruktur Tahan Gempa
Perencanaan tata ruang yang mempertimbangkan risiko gempa bumi sangat penting untuk mengurangi dampak bencana. Bangunan dan infrastruktur yang dibangun harus memenuhi standar tahan gempa yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut BMKG, pemilihan lokasi yang aman serta konstruksi bangunan yang sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI) untuk tahan gempa merupakan langkah krusial dalam mitigasi.
- Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat umum serta masyarakat difabel tentang tindakan yang harus diambil saat terjadi gempa bumi, sangat penting diberikan. Program pendidikan yang inklusif, yang mencakup simulasi gempa bumi, penggunaan alat bantu, serta rencana evakuasi yang jelas, dapat membantu masyarakat difabel bertahan dalam situasi darurat. Lembaga seperti ASB (Arbeiter-Samariter-Bund) Indonesia telah mengembangkan program pendidikan khusus untuk masyarakat difabel, yang melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan pelatihan bencana.
Edukasi Pengurangan Risiko Bencana Inklusif
Pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) bagi masyarakat difabel memerlukan pendekatan yang inklusif, di mana kebutuhan khusus mereka harus dipertimbangkan dalam setiap tahap manajemen bencana. Ini meliputi:
- Pemetaan dan Identifikasi Kebutuhan Difabel
Sebelum bencana terjadi, penting untuk memetakan populasi difabel di suatu wilayah serta mengidentifikasi kebutuhan khusus mereka. Data ini dapat digunakan oleh pemerintah dan lembaga terkait untuk membuat rencana evakuasi dan bantuan yang sesuai. Seperti yang dilakukan ASB Jerman dan ASB Indonesia yang sudah melakukan berbagai penelitian dan pemetaan mengenai kerentanan masyarakat difabel terhadap bencana.
- Desain Infrastruktur yang Inklusif
Infrastruktur publik dan fasilitas evakuasi harus dirancang agar aksesibel bagi semua orang, termasuk mereka yang menggunakan kursi roda, alat bantu jalan, atau memiliki keterbatasan penglihatan atau pendengaran. Difagana, sebuah organisasi yang fokus pada advokasi hak-hak difabel, menekankan pentingnya desain inklusif dalam mitigasi bencana.
- Partisipasi Masyarakat Difabel dalam Perencanaan
Masyarakat difabel harus dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan mitigasi bencana. Dengan melibatkan mereka, rencana yang dibuat akan lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. ASB Indonesia dan organisasi lain telah memfasilitasi forum-forum diskusi di mana masyarakat difabel dapat memberikan masukan tentang bagaimana prosedur evakuasi dan sistem peringatan dini dapat dioptimalkan.
- Sistem Peringatan Dini, Komunikasi, dan informasi yang inklusif
Sistem peringatan dini harus dirancang agar dapat diakses oleh masyarakat difabel. Misalnya, alarm peringatan dini untuk gempa bumi yang dilengkapi dengan sinyal visual dan suara yang dapat diakses oleh mereka yang memiliki keterbatasan pendengaran atau penglihatan. Teknologi aplikasi seluler yang dapat mendeteksi potensi bahaya dan sebagai gerbang informasi seputar kebencanaan yang mudah diakses oleh masyarakat difabel juga perlu dikembangkan.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan
Sumber referensi
ASB Jerman & ASB Indonesia. (2020). Panduan mitigasi bencana untuk masyarakat difabel. ASB Indonesia. Retrieved from https://www.asbindonesia.org
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2021). Pedoman standar bangunan tahan gempa. BMKG. Retrieved from https://www.bmkg.go.id
Difagana. (2022). Infrastruktur inklusif: Mengurangi risiko bencana bagi difabel. Difagana. Retrieved from https://www.difagana.org
Kamil, I. (2024, Maret 17). Viral video kepala BMKG sebut gempa megathrust lumpuhkan Jakarta, ini penjelasan Dwikorita. Kompas.com. Retrieved from https://nasional.kompas.com/read/2024/03/17/09134761/viral-video-kepala-bmkg-sebut-gempa-megathrust-lumpuhkan-jakarta-ini
Maulana, F. (2024, Agustus 15). Apa itu gempa megathrust?, dampak, dan zonanya di Indonesia. UMJ.ac.id. Retrieved from https://umj.ac.id/just_info/apa-itu-gempa-megathrust-dampak-dan-zonanya-di-indonesia/
Siswadi, A. (2024, Agustus 15). Klarifikasi BMKG soal gempa megathrust Selat Sunda dan Mentawai yang tinggal menunggu waktu. Tempo.co. Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1904122/klarifikasi-bmkg-soal-gempa-megathrust-selat-sunda-dan-mentawai-yang-tinggal-menunggu-waktu
Supartoyo. (2024, Agustus). Sumber gempa bumi zona Penunjam (megathrust). vsi.esdm.go.id. Retrieved from https://vsi.esdm.go.id/press-release/sumber-gempa-bumi-zona-penunjam-megathrust
United Nations Office for Disaster Risk Reduction. (2017). Disability inclusive disaster risk reduction: Policy framework. UNISDR. Retrieved from https://www.undrr.org