Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Extra Cost Of Disability: Antara Kesejahteraan, Tantangan, dan Kepekaan Pemerintah Pada Kehidupan Difabel

Views: 18

Solidernews.com, Yogyakarta—Berbicara mengenai problematika difabel tentu tiada akan ada habisnya. Isu yang sering diangkat mulai kesetaraan, inklusifitas, tantangan, dan sebagainya, sering menjadi bahan diskursus maupun wacana aksi dari para aktivis pemerhati difabel. Terkadang terdapat aspek-aspek kecil yang luput dari publikasi maupun perhatian. Salah satunya ialah aspek “extra cost of disability”.

 

Apa itu extra cost of disability? Bila melansir dari artikel yang berjudul “Extra CostsDisability Price Tag 2023: the extra cost of disability,” yang diterbitkan oleh scope.org.uk, menjelaskan bahwa extra cost of disability adalah biaya tambahan hidup dalam keseharian masyarakat difabel. Di mana biaya ini sangat berbeda dengan masyarakat nondifabel. Biaya tambahan itu cenderung tinggi dan membengkak jauh dari kebutuhan umum masyarakat nondifabel. Karena sebab kedifabelan, sehingga ada beberapa biaya yang harus dipenuhi. Seperti pembelian alat bantu, perawatan dokter, dan sebagainya.[1]

 

Juwita dalam artikelnya menyatakan, “Extra Cost Of Disability ini disebabkan masyarakat difabel yang harus membeli dan melakukan servis berkala pada alat bantu yang digunakan. Seperti difabel netra dengan tongkatnya, difabel fisik dengan kursi rodanya, Difabel Tuli dengan alat bantu dengarnya, serta banyak lagi. Tidak hanya itu. Aspek akomodasi transportasi juga menjadi point utama sebab tingginya pengeluaran masyarakat difabel. Karena tidak semua difabel bisa mendapatkan fasilitas layak pada transportasi umum, maka akan ada biaya tambahan untuk taksi, modifikasi kendaraan, dan sebagainya. Selain itu, medical check up, terapi khusus, juga pembelian obat rutin, makin menambah pengeluaran bagi masyarakat difabel”.[2]

 

“Lha, bagaimana lagi, mas. Saya harus tetap melakukan kewajiban sebagai ketua organisasi yang harus wara-wiri. Jadi, biaya operasional dan akomodasi memang terasa begitu tinggi. Apalagi jarak rumah saya menuju sekretariat itu lebih dari 17 Km. Jadi, ngojol, ngetrans, dan lain-lain tentunya menambah pengeluaran saya,” Tutur Endro, difabel netra yang menjadi ketua salah satu organisasi difabel, saat diwawancara mengenai pengeluaran ekstra dalam kesehariannya, pada pertengahan bulan Juni 2024.

 

Buntut dari Adanya Extra Cost Of Disability

Pengaruh nyata dari extra cost of disability, tentunya sangat terasa pada sisi ekonomi. Dengan adanya biaya-biaya sebab karena kedifabelan, tentu hal itu akan sangat berbeda dengan pengeluaran masyarakat nondifabel. Mulai servis alat bantu, pembelian obat rutin, transportasi dan lain-lain, akan terus membebani hari-hari masyarakat difabel, dengan beban extra cost yang sangat besar bagi ekonomi difabel.

 

Belum lagi fakta, kalau masyarakat difabel itu rata-rata berada pada garis kemiskinan. Bahkan World Bank menyatakan” Penyandang difabel lebih berisiko mendapat hasil sosial ekonomi yang merugikan. Seperti pendidikan yang lebih sedikit, hasil kesehatan yang lebih buruk, tingkat pekerjaan yang lebih rendah, dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. Kedifabelan juga dapat meningkatkan ancaman kemiskinan, melalui kurangnya kesempatan kerja dan pendidikan, upah yang lebih rendah, dan sulitnya meningkatkan kelayakan biaya hidup penyandang difabel.”[3]

 

Irvan pun menyatakan bahwa, “Difabel dipandang sebagai guncangan kesehatan yang dapat meningkatkan risiko kemiskinan. Difabel dan kemiskinan memiliki hubungan yang kompleks, bersifat dua arah, dan terkait dengan pengucilan sosial. Sebuah literatur Bank Dunia (WB) menunjukkan bahwa sekitar 15% sampai 20% populasi miskin di negara berkembang adalah penyandang disabilitas dan rumah tangga dengan anggota penyandang disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkungkung kemiskinan.”[4]

 

“Karena menggunakan BPJS, seringnya tidak maksimal, menyulitkan, dan kadang informasinya tidak terserap dan tersampaikan dengan baik pada kalangan difabel. Sehingga membuat saya yang memiliki kondisi difabel fisik, lebih sering memilih untuk periksa di dokter yang membuka praktik di rumahnya. Medan lebih ramah dengan kursi roda, pelayanan responsif, dan dokter yang menangani itu dapat melayani dengan baik, menjadi poin pertimbangan saya, mas. Namun, ya, itu. Saya tetap bayar BPJS bulanan tapi jarang menggunakan. Periksa ke dokter praktik, itu biayanya juga tidak sedikit, juga saya tidak bisa menggunakan ojek motor, sehingga lebih sering pakai grab/go jek/maxim car. Tentu harganya juga lumayan”, Ujar Dwi (Difabel fisik) yang menceritakan pengeluarannya sewaktu mengakses kesehatan, pada awal bulan Mei 2024.

 

Nah, Extra Cost Of Disability ini tentunya menjadi persoalan masyarakat difabel dengan segala komplekssitasnya. Memiliki pengeluaran besar, tidak bisa dikurangi, tetapi pendapatan dan peluang kerja begitu susah dan upah yang didapatkan pun kadang tidak bisa 100% menutupi extra cost yang harus ditanggung difabel. Berhemat pun bukan menjadi solusi terhadap masalah ini.

 

Pemerintah Punya Kewenangan dan Masyarakat Punya Kepedulian

Tentu institusi pertama yang memiliki kewenangan dan kekuatan untuk membantu masyarakat difabel untuk meringankan beban mereka, adalah pemerintah itu sendiri. Bagaimana perundangan yang sudah ditetapkan itu benar-benar dijalankan dan diaplikasikan, khususnya terkait peraturan pemerintah tentang difabel. Contohnya adalah UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Kemudian bagaimana penerapan ini juga terealisasikan pada tingkat provinsi dan kabupaten. Dengan membuat kebijakan-kebijakan publik tentang pelayanan difabel bisa benar-benar diwujudkan sebagaimana amanat UU. No. 8 Tahun 2016.

 

Dilansir dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dalam kajianya yang bertajuk “Konsesi dan Insentif untuk Mendorong Partisipasi Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, menjelaskan bahwa pemberian paket konsesi dapat mengurangi biaya yang ditanggung difabel, serta dapat mendorong partisipasi mereka dalam perekonomian secara lebih efektif dibandingkan dengan pemberian bantuan tunai (cash transfer). Konsesi ini perlu dipandang sebagai bagian dari paket perlindungan sosial, yang dapat melengkapi peran bantuan tunai secara efektif dan mengurangi dampak negatif ketika penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan. Di mana konsesi ini telah diatur dalam UU. No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, pasal 114 sampai 116 yang mengamanatkan untuk mengatur rancangan peraturan turunan terkait konsesi. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang kepada Penyandang Disabilitas berdasarkan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Konsesi pendidikan, kesehatan, transportasi, serta jaminan perkerjaan bisa menjadi langkah awal bagi pemerintah, untuk meringankan beban extra cost difabel.

 

Selain itu, pemerintah juga bisa memperbanyak peluang kerja bagi masyarakat difabel, dengan memperbanyak workshop, pelatihan, dan pendampingan terhadap difabel. Poin pengembangan skill yang sesuai kebutuhan zaman, akan memperbesar peluang difabel untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka. Pelatihan, workshop, dan pendampingan yang merata kepada masyarakat difabel, disosialisasikan, disusun, dan direalisasikan dengan melibatkan para difabel dalam menyusun program ini di tiap-tiap daerah yang memiliki kelompok difabel. Tentu hal ini dapat menjadi poin untuk meningkatkan taraf kesejahteraan ekonomi difabel.

 

Maka dari itu, dengan pahamnya kita tentang beban extra cost of disability yang harus ditanggung rekan difabel, setidaknya ini bisa meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan penyelesaian pada problem yang dihadapi para difabel. Baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, semuanya bisa menjadi kawan difabel dalam meringankan beban yang ditanggung. Tentu sesuai kapasitas yang dimiliki. Karena yang paling penting adalah bukti nyata, bukan hanya tebar harapan semata.[]

 

Reporter: Wachid

Editor       : Ajiwan

[1] Scope, “Extra CostsDisability Price Tag 2023: the extra cost of disability” https://www.scope.org.uk/campaigns/extra-costs/disability-price-tag-2023/ diakses pada 10 Agustus 2024.

[2] Juwita, “Mengenal dan Memahami Extra Cost of Disability” https://mitranetra.or.id/mengenal-dan-memahami-extra-cost-of-disability/, diakses pada 09 Agustus 2024.

[3] World Bank, “Disability Inclusion Overview” https://www.worldbank.org/en/topic/disability/, diakses pada 10 Agustus 2024.

[4] Irvan. Y, “Disabilitas dan Kemiskinan: Keadaan Dengan Tantangan Ekonomi yang Menantang” https://himiespa.feb.ugm.ac.id/disabilitas-dan-kemiskinan-keadaan-dengan-tantangan-ekonomi-yang-mendatang/, diakses pada 10 Agustus 2024.

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air