Views: 4
Solidernews.com – Eksistensi pemilih difabel dalam kontestasi dunia politik seperti pada Pemilihan Umum (Pemilu) selalu memiliki daya tawar dalam program kerja, dan visi misi calon kandidat dari peserta pemilu. Meski isu difabel dipandang ada, namun perlu dikaji hingga sejauh mana keberadaan isu difabel memberi pengaruh pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Keberadaan difabel perlu terus didorong sebagai aktor penggerak dalam menghadirkan inklusivitas dan pemenuhan hak bagi semua ragam difabel, sehingga mereka tidak lagi hanya menjadi atribut pemanis untuk mendulang suara dalam berpolitik.
Refleksi isu difabel pada pusaran pemilu
Isu difabel tidak terlewatkan dalam dua dekade, terutama pada substansi terkait pelayanan publik bagi kelompok rentan termasuk difabel dalam tahap masa kampanye pemilu. Momentum politik di 2014 ada kesepakatan Piagam Suharso, yaitu organisasi difabel memprakarsai kontrak politik dengan Presiden Joko Widodo untuk menandatangani piagam yang berisi upaya pemenuhan hak difabel yaitu pengakuan atau penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak difabel yang dimanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Karena itu, secara berkelanjutan gagasan dan program setiap pemimpin terpilih harus ada keberpihakannya dalam mewujudkan hal tersebut.
Tri Mulatsih, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU DIY dalam pendidikan politik bertajuk memperkuat peran kelompok difabel sebagai pilar demokrasi inklusif, memaparkan tentang partisipasi pemilih difabel saat pemilu 2024, untuk di tingkat DIY partisipasi masyarakat tertinggi pada pemilihan presiden dan wakil presiden sebesar 88,88 persen dari total DPT sebanyak 2.870.974 pemilih. Sedangkan tingkat partisipasi pemilu untuk DPD dan DPR RI sebesar 87,36 persen, dan untuk pemilu DPRD provinsi sebesar 87,25 persen.
“Dari akumulasi total DPT difabel 30.503, jika dipilah dari jumlah tadi berdasarkan tingkat partisipasi pemilih difabel pada 2024 sebesar 31,64 persen. Jumlah pengguna hak pilih difabel mencapai 9.650,” ungkap ia.
Persoalan yang berpengaruh pada partisipasi difabel dalam pemilu
Jumlah pemilih difabel pada pemilu 2024 di DIY misalkan, hanya berkisar 30 persen saja. Terkait hal tersebut, Andayani, Akademisi dan Peneliti Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga menilai secara nasional problem partisipasi politik difabel selama ini antara lain karena literasi politik difabel masih rendah, sisten yang belum seluruhnya aksesibel, dan minimnya kesadaran partai politik untuk melibatkan difabel.
“Hasil pemantau mencatat 45 persen TPS tidak memiliki data pemilih difabel,” kata ia.
Menurutnya, situasi tersebut berimplikasi pada pengabaian terhadap layanan, aksesibilitas dan pendampingan yang dibutuhkan pemilih difabel. Pemantauan dilakukan dari masa kampanye hingga pencoblosan dan rekapitulasi perhitungan surat suara dengan melibatkan 218 relawan di 218 TPS pada 24 kabupaten/kota di 20 provinsi.
Meninjau kelayakan aksesibilitas, 54 persen pemilih difabel fisik pengguna kursi roda alami kesulitas saat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara. Problem lain yang ditemukan 41 persen petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) belum paham berinteraksi dengan difabel Tuli, 84 persen TPS tidak menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI), dan 69 persen diantaranya tidak memberikan informasi tata cara pemungutan dengan bahasa isyarat.
“Ada beberapa rekomendasi rumusan bagaimana kebijakan afirmatif yang sangat lengkap, banyak buku panduan untuk pemilih difabel seperti apa,” pungkas ia.
Selain itu, panduan kampanye yang aksesibel juga diperlukan agar difabel tahu bagaimana melakukan pencoblosan maupun rangkaian pemilihan lainnya.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan