Views: 15
Solidernews.com, Bantul. EQUALITERA Artspace, diinisiasi keberadaannya oleh Yayasan Jogja Disability Arts (JDA). Kehadiran dan eksistensinya, berhalauan untuk memberi ruang kepada para difabel pelaku seni, membangun mahakarya bagi diri sendiri. Serta, memberi kesempatan kepada mereka, menjadi lebih maju.
Dengan begitu, para difabel pelaku seni dapat menentukan tujuan hidup. Membangun citra diri (image) positif. Tanpa harus membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Fokus dengan mengembangkan kelebihan, dengan cara mencintai diri sendiri.
Tersebut di atas, mengemuka dari Ketua JDA, Sukri Budi Dharma, atau yang biasa dipanggil dengan nama Butong, dalam sambutannya pada pembukaan pameran Akar Rasa Setara, Senin (30/9/2024). Sebuah pameran karya seni rupa kontemporer, dengan dukungan Kementerian Pendidikan melalui Dana Indonesiana.
Pernyataan senada disampaikan Direktur Galeri RJ Katamsi Nano Warsono, sekaligus Dosen ISI Yogyakarta. Dia mengatakan bahwa Equalitera Artspace, diharapkan dapat menjadi ruang bersama, tanpa membedakan.
Ekosistem bermakna
“Eksistensi Equalitera akan bermakna, ketika ada teman-teman difabel yang berkarya. Sehingga bermanfaat bagi ekosistem seni. Karena tanpa semua itu, ruang ini tak berarti apa pun,” ujar Nano.
Selain itu, Di Jogjakarta ini difabel butuh ruang yang layak. Ruang untuk mempresentasikan karya. Yang selama ini, belum banyak mendapatkan tempat. Adanya Equalitera, difabel jadi punya roadmap. Ketika mau pameran tunggal, sebagai contoh. Silahkan menghubungi kami. Ruang ini menjadi ruang presentasi bagi teman-teman difabel. Menjadi ruang yang fleksibel. Menjadi sarana inkusi dan solidaritas. Sehingga perbedaan itu cair.
Tak lupa ditekankan Nano, ungkapan terima kasih kepada Dana Indonesia. Dana tersebut, diakui Nano bermanfaat untuk keberlangsungan seni bagi difabel pelaku seni di Jogja. Serta, menjadi pusat pengembangan seni di Indonesia.
Berjejaring dan berkolaborasi, adalah komitmen Yayasan JDA. Berbasgai kerja sama yang telah dilakukan tak hanya dengan pemerintah Indonesia, namun juga berjejaring dengan difabel pelaku seni dari manca negara. Ini menjadi point penting. Seni di Indonesia berjejaring dan merangkul teman-teman difabel seniman.
“Adapun, bingkai pameran kali ini adalah Akar Rasa Setara. Munculnya seni pada kalangan disabilitas, karena adanya rasa kesetaraan dan keberpihakan. Ketika kesetaraan dipraktikkan, maka akan lahir solidaritas. Karena, seni itu bukan hanya soal artistik saja. Butuh orang-orang yang tak hanya peduli terhadap dirinya sendiri, melainkan membangun kepedulian untuk orang lain,” tandas Dosen Seni Rupa ISI Yogyakarta itu.
Terobosan Komunikasi kreatif
Sedang, Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria, dalam sambutan yang dibacakan Staf Ahli Kominfo, FX Rudy Gunawan, mengatakan bahwa, berkesenian merupakan salah satu medium komunikasi kreatif bagi penyandang disabilitas. Bukan perkara mudah, tentu saja. Terlebih, ketika kini telah memasuki era atificial itelegence (AI), yang sudah merambah dunia seni.
“Kita patut gembira melihat kehadiran para disabilitas pelaku seni. Karya mereka menambah ragam kesenian. Dulu tak terbayangkan akan mampu dilakukan oleh seniman dengan keterbatasan penglihatan (buta), tuli, autis, down syndrome,” sebagaimana dituliskan dalam teks sambutannya.
Di tengah pesatnya perkembangan AI sebagai wujud intervensi budaya digital, hari ini terlenggara pameran Akar Rasa Setara, sekaligus soft launching Equalitera Artspace sebagai ruang seni yang diinisiasi JDA.
Bisa dianggap sebuah terobosan komunikasi kreatif dari seniman dengan disabilitas. Akar Rasa Setara yang dimaknai sebagai keberpihakan pada tradisi, adat dan kearifkan lokal. Juga memegaskan adanya spirit kesetaraan dan inklusivirtas dalam budaya busantara.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan