Views: 37
Solidernews.com -Pendekatan dalam melihat difabel telah mengalami evolusi seiring waktu, dari pandangan tradisional yang menitikberatkan pada belas kasihan dan keterbatasan individu semata, hingga pendekatan dengan lebih holistik yang menempatkan kedifabilitasan sebagai isu sosial dan hak asasi manusia. Dalam jurnal ini, penulis akan membandingkan empat model utama: Charity, Medical, Social, Human Right Base Model atau Hak Asasi Manusia (HAM), dalam konteks melihat dan memahami difabilitas. Setiap model akan didefinisikan, karakteristiknya dipelajari, serta implikasi dan konsekuensi dari masing-masing model akan dibahas.
- Cherity Model
Charity Model (Kemurahan Hati) jenis pendekatan ini melihat difabel dengan sudut pandang filantropis, mereka dianggap lemah, dan harus dikasihani. Di mana individu dengan difabilitas dipandang sebagai objek belas kasihan dan kebaikan. Dalam model ini, fokus utamanya adalah pada pemberian bantuan dan perlindungan kepada individu dengan difabilitas karena mereka dianggap lemah dan tidak dapat mandiri, sering kali melalui amal, sumbangan, dan bantuan sukarela. Namun, model ini cenderung mengabaikan emansipasi individu dan melanggengkan ketidaksetaraan sosial.
Jenis model ini menekankan bahwa orang-orang dengan difabilitas tidak memiliki hak yang setara di masyarakat. Orang-orang dengan difabilitas dianggap kelas kedua yang tidak perlu berperan penting dalam masyarakat.
Selain itu, Charity model pada konteks melihat kedifabilitasan merupakan pendekatan dalam filantropi yang berfokus pada pemberian bantuan kepada individu atau kelompok yang membutuhkan, tanpa mempertimbangkan penyebab atau akar masalah yang mendasarinya. Model ini didasarkan pada prinsip memberi secara langsung kepada yang membutuhkan, tanpa mengubah struktur sosial atau sistem yang mungkin menyebabkan ketidakadilan atau ketidaksetaraan.
Dalam charity model, kegiatan amal seringkali berupa pemberian sumbangan uang, makanan, pakaian, atau pelayanan kesehatan, serta alat bantu seperti tongkat putih, kursi roda, alat bantu dengar, dll, kepada individu atau kelompok difabel yang dianggap kurang beruntung. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi penderitaan langsung tanpa mencoba untuk mengubah struktur sosial dan pemberian solusi yang mendasari masalah tersebut.
Contoh nyata yang dapat kita lihat adalah bantuan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang memberikan Bantuan Modal Usaha Difabel kepada beberapa orang penerima manfaat. Selain itu, beberapa jenis bantuan oleh Pemerintah yang juga masih menerapkan model pendekatan ini yaitu dengan memberikan beberapa bantuan sosial dengan berbagai skema.
Meskipun charity model dapat memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan bagi individu atau kelompok tertentu, kritik terhadap pendekatan ini adalah bahwa itu hanya menangani gejala dari masalah yang lebih besar tanpa menyelesaikan penyebabnya. Hal ini sering dikritik karena dapat memperluas siklus kemiskinan atau ketidaksetaraan dengan tidak menangani masalah pada tingkat sistemik.
- Medical Model
Medical Model (Model Medis) melihat disabilitas sebagai hasil dari patologi atau gangguan medis yang membutuhkan intervensi medis dan rehabilitasi. Dalam pendekatan ini, perhatian utama adalah pada diagnosis, perawatan, dan rehabilitasi fisik atau psikologis. Individu dengan disabilitas sering kali dipandang sebagai pasien yang memerlukan perawatan oleh tenaga medis profesional. Namun, model ini dikritisi karena cenderung mengabaikan aspek sosial dan lingkungan yang mempengaruhi pengalaman individu difabel.
Dalam konteks difabel, Medical Model merupakan pendekatan yang menganggap difabilitas sebagai suatu kondisi yang harus diatasi atau disembuhkan secara medis. Pendekatan ini fokus pada diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi fisik difabel, dengan tujuan mengembalikan individu kepada “keadaan normal” sesuai dengan standar medis.
Berikut adalah beberapa contoh penerapan medical model di Indonesia :
- Layanan Kesehatan dan Rehabilitasi:
- RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta dan RS. Dr. Soeradji Tirtonegoro, Klaten: Kedua rumah sakit ini menyediakan layanan medis dan rehabilitasi untuk difabel, termasuk fisioterapi, terapi okupasi, dan layanan medis khusus.
- Pusat Rehabilitasi:
- Pusat Rehabilitasi YPAC: Terdapat di berbagai kota di Indonesia seperti YPAC Jakarta dan YPAC Surabaya, lembaga ini memberikan layanan rehabilitasi fisik dan medis untuk anak-anak dan dewasa dengan disabilitas, dengan fokus pada terapi medis dan pemulihan fisik
.
- Klinik Khusus:
- Klinik Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT): Klinik-klinik ini di berbagai kota sering menyediakan layanan untuk masalah disabilitas terkait pendengaran, termasuk pemeriksaan dan pemasangan alat bantu.
- Program Pemerintah:
- Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial | Kementerian Sosial Republik Indonesia: Lembaga ini memberikan perhatian pada rehabilitasi medis bagi difabel, termasuk penyediaan alat bantu dan layanan medis.
Berikut adalah contoh literatur yang menjelaskan Medical Model dalam konteks difabel:
Artikel: “The Medical Model of Disability: A Critique of its Past and Present” oleh Tom Shakespeare, dalam jurnal The Lancet, Volume 379, Issue 9826, halaman 1753-1757, Mei 2012.
Artikel ini memberikan kritik mendalam terhadap pendekatan Medical Model terhadap difabilitas. Shakespeare menyoroti bagaimana pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek-aspek penting seperti faktor sosial, politik, dan lingkungan yang memengaruhi kehidupan difabel.
Buku: “Disability Studies: An Interdisciplinary Introduction” oleh Dan Goodley, Bill Hughes, dan Lennard Davis, diterbitkan oleh SAGE Publications, 2012.
Buku ini memberikan tinjauan menyeluruh tentang studi difabilitas dari berbagai perspektif, termasuk kritik terhadap Medical Model. Penulis menjelaskan bagaimana Medical Model telah mendominasi pemahaman difabilitas selama beberapa dekade dan menawarkan pandangan alternatif yang lebih inklusif dan beragam.
Artikel: “The Social Model of Disability: An Outdated Ideology?” oleh Mark Priestley, dalam jurnal Research in Social Science and Disability, Volume 5, 2005.
Artikel ini membahas perdebatan antara pendekatan Medical Model dan Social Model dalam memahami difabilitas. Priestley mengulas sejarah perkembangan kedua model tersebut dan menyoroti kelemahan dari Medical Model dalam mengakomodasi kebutuhan dan hak difabel secara menyeluruh.
Dari literatur-litertur di atas, dapat dilihat bahwa Medical Model merupakan pendekatan yang masih diperdebatkan relevansinya dalam konteks difabilitas. Banyak penelitian dan diskusi yang menekankan perlunya mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan inklusif seperti Social Model, yang mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, dan lingkungan dalam memahami dan mengatasi difabilitas.
- Social Model
Model (Sosial) menggeser fokus dari individu difabel ke masyarakat tempat mereka tinggal. Dalam pendekatan ini, difabel dipandang sebagai konstruksi sosial yang muncul dari interaksi antara individu dan lingkungannya. Model ini menyoroti peran struktur sosial, norma, dan budaya dalam menciptakan hambatan atau peluang bagi difabel. Upaya utama adalah untuk mengubah masyarakat agar lebih inklusif dan ramah difabel.
Social Model dalam konteks difabel adalah pendekatan yang menekankan bahwa ketidakmampuan individu tidak sepenuhnya merupakan hasil dari kondisi fisik atau kognitif mereka, tetapi juga dipengaruhi oleh cara masyarakat membatasi atau memfasilitasi partisipasi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini menyoroti peran struktur sosial, norma, dan sikap dalam menciptakan hambatan bagi difabel, serta mengusulkan solusi yang berfokus pada perubahan lingkungan dan masyarakat untuk menciptakan inklusi dan kesetaraan.
Referensi yang dapat membantu dalam memahami model sosial dalam konteks difabel termasuk:
- “Disability and Society” oleh Len Barton dan Mike Oliver (1995): Buku ini membahas berbagai perspektif dalam memahami hubungan antara difabel dan masyarakat, dengan menyoroti pentingnya memahami hambatan sosial yang dialami difabel.
- “The Social Model of Disability: Europe and the Majority World” oleh Colin Barnes dan Geof Mercer (2010): Buku ini membahas perkembangan dan aplikasi model sosial dalam konteks difabel di berbagai belahan dunia, menyoroti tantangan dan peluang dalam mewujudkan inklusi sosial.
- “Understanding Disability: From Theory to Practice” oleh Michael Oliver (1996): Buku ini memberikan pengantar yang komprehensif tentang berbagai teori dan pendekatan dalam memahami difabel, termasuk penjelasan yang mendalam tentang model sosial dan implikasinya dalam kebijakan dan praktik.
- “The New Disability History: American Perspectives” oleh Paul K. Longmore dan Lauri Umansky (2001): Buku ini menjelajahi sejarah difabel di Amerika Serikat dengan fokus pada peran masyarakat dalam menciptakan dan merespons hambatan-hambatan yang dihadapi difabel.
Dengan mempelajari literatur seperti ini, seseorang dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana model sosial dapat diterapkan dalam konteks difabel dan bagaimana hal ini dapat membantu dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua individu.
Contoh penerapan model ini adalah dengan adanya Desa inklusi.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, menghadapi banyak tantangan dalam mencapai inklusi sosial dan pembangunan berkelanjutan di semua daerahnya. Namun, banyak inisiatif di seluruh negara telah dilakukan untuk mempromosikan konsep desa inklusi.
Salah satu contoh desa inklusi di Indonesia adalah Desa Bhuana Jaya Jaya yang terletak di kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Desa ini memiliki populasi yang beragam dan aktif mempromosikan keterlibatan semua warganya dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya.
Di Desa Bhuana Jaya, semua warga memiliki akses yang adil terhadap layanan dasar seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan peluang ekonomi. Pemerintah desa juga mendorong partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan melalui mekanisme seperti musyawarah desa dan forum komunitas.
- Human Rights Based Model atau Model Hak Asasi Manusia (HAM)
Model Hak Asasi Manusia (HAM) menekankan bahwa individu difabel memiliki hak yang sama dengan individu lainnya, dan bahwa ketidaksetaraan dan diskriminasi adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pendekatan ini memperjuangkan inklusi, partisipasi penuh, dan akses yang setara terhadap layanan dan sumber daya bagi difabel. Model HAM menekankan pentingnya mengakui agensi dan otonomi individu difabel dalam mengambil keputusan tentang kehidupan mereka.
Model berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konteks difabel merupakan pendekatan yang memastikan bahwa hak-hak dasar individu dengan disabilitas dihormati, dilindungi, dan diperjuangkan secara adil dan setara. Ini menekankan pada prinsip-prinsip HAM, seperti non-diskriminasi, partisipasi aktif, keterlibatan, dan keadilan bagi individu difabel.
Model ini mengubah pandangan dari perspektif medis yang melihat difabel sebagai kelemahan individu, menjadi pendekatan yang mengakui bahwa kelemahan sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan individu difabel. Dalam hal ini, tujuannya adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ada dan memastikan bahwa individu difabel memiliki akses yang sama terhadap layanan, kesempatan, dan hak-hak seperti individu nondifabel.
Pandangan Pemerintah Dalam Melihat Isu Difabel
Pandangan pemerintah terhadap difabel (penyandang disabilitas) telah mengalami perubahan signifikan dari waktu ke waktu. Perubahan ini tercermin dalam kebijakan, undang-undang, dan program-program yang ditetapkan untuk meningkatkan kualitas hidup dan integrasi sosial bagi difabel. Berikut adalah gambaran umum tentang evolusi pandangan pemerintah terhadap difabel di Indonesia:
- Periode Awal: Pandangan Tradisional dan Medis
Pada awalnya, pandangan terhadap difabel di Indonesia lebih bersifat medis dan tradisional. Difabel sering kali dianggap sebagai orang yang kurang beruntung dan dianggap sebagai beban masyarakat. Fokus utama adalah pada penanganan medis dan perawatan daripada pemberdayaan.
- Undang-Undang No. 4 Tahun 1997: Undang-undang ini mengenai “Penyandang Cacat” memberikan dasar hukum pertama untuk perlindungan hak-hak difabel di Indonesia. Namun, undang-undang ini masih terbatas pada pendekatan medis dan belum sepenuhnya mencakup aspek sosial dan hak-hak.
- Transisi ke Pendekatan Sosial dan Hak Asasi Manusia
Memasuki era reformasi, pandangan terhadap difabel mulai berubah menjadi lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia.
- Undang-Undang No. 19 Tahun 2011: Undang-undang ini mengubah nama dari “penyandang cacat” menjadi “penyandang disabilitas” dan lebih menekankan pada hak-hak difabel. Undang-undang ini menegaskan perlunya aksesibilitas dan kesempatan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik.
- Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD): Indonesia meratifikasi CRPD pada tahun 2011. Konvensi ini mengadopsi pendekatan hak asasi manusia dan berkomitmen untuk memastikan bahwa difabel memiliki hak yang sama dengan orang lain dalam masyarakat.
- Penguatan dan Implementasi Kebijakan
Dalam dua dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah berupaya memperkuat kebijakan dan implementasi untuk mendukung perlindungan dan pemenuhan hak difabel.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2016: Undang-undang ini mengatur tentang Penyandang Disabilitas, menggantikan undang-undang sebelumnya. UU ini mencakup berbagai aspek, seperti hak atas pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, aksesibilitas, dan perlindungan hukum.
- Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM): Dalam dokumen ini, pemerintah menetapkan target dan program untuk meningkatkan hak-hak difabel.
RANHAM mencakup langkah-langkah spesifik untuk mengatasi diskriminasi dan meningkatkan aksesibilitas.
- Inisiatif Terbaru dan Tantangan
Baru-baru ini, perhatian pemerintah juga mencakup penyediaan infrastruktur yang ramah disabilitas dan pelatihan untuk masyarakat umum untuk mengurangi stigma.
- Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS): Program ini juga mencakup penyandang difabel dengan memberikan akses yang lebih baik ke pendidikan dan layanan kesehatan.
- Sosialisasi dan Pendidikan: Pemerintah dan berbagai lembaga mulai meningkatkan sosialisasi mengenai pentingnya inklusi sosial dan hak-hak difabel melalui kampanye dan program pendidikan.
Evolusi pandangan pemerintah ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan medis dan caritatif menuju pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia, meskipun masih ada tantangan dalam implementasi kebijakan secara menyeluruh.[]
Penulis: Andi Syam
Editor : Ajiwan
Referensi:
Albrecht, G. L., Seelman, K. D., & Bury, M. (Eds.). (2001). Handbook of disability studies. Sage Publications.
Barnes, C., & Mercer, G. (2001). Exploring disability: A sociological introduction. Polity Press.
BAZNAS Berikan Bantuan Modal Usaha untuk Kelompok Difabel di Gianyar. Diakses dari: https://baznas.go.id/news-show/BAZNAS_Berikan_Bantuan_Modal_Usaha_untuk_Kelompok_Difabel_di_Gianyar/1159. Pada 3 Agustus 2024
Bickenbach, J., & Schalock, R. (2018). Disability and the Good Human Life. Cambridge University Press.
Bishop, M., & Green, M. (2008). Philanthrocapitalism: How the Rich Can Save the World. Bloomsbury Press.
Breeze, B. (Ed.). (1995). What’s Wrong with Benevolence: Happiness, Private Property, and the Limits of Enlightenment. University of Toronto Press.
Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Diakses dari: https://www.un.org/disabilities/documents/convention/convention_accessible_pdf.pdf. Pada 3 Agustus 2024.
Davis, L. J. (Ed.). (2013). The disability studies reader. Routledge.
Desa Inklusi: Mempromosikan Keberagaman dan Keterlibatan Sosial – Desa Bhuana Jaya | Kab. Kutai Kartanegara. Diakses dari: https://www.bhuanajaya.desa.id/desa-inklusi-mempromosikan-keberagaman-dan-keterlibatan-sosial/#:~:text=Salah%20satu%20contoh%20desa%20inklusi,sosial%2C%20ekonomi%2C%20dan%20budaya. Pada Sabtu, 3 Agustus 2024
Ditjen Rehabilitasi Sosial | Kementerian Sosial Republik Indonesia. Diakses dari :https://kemensos.go.id/ditjen-rehabilitasi-sosial. Pada 3 Agustus 2024
INSTALASI REHABILITASI MEDIK – RSUP dr. SOERADJI TIRTONEGORO. Diakses dari: https://rsupsoeradji.id/penunjang/instalasi-rehabilitasi-medik/. Pada 3 Agustus 2024
Lord, J., & Stein, M. A. (Eds.). (2015). Human rights and disability: Interdisciplinary perspectives. Routledge.
Morris, J. (2002). Independent lives? Community care and disabled people. Macmillan International Higher Education.
Oliver, M. (1990). The politics of disablement: A sociological approach. St. Martin’s Press.
Oliver, M. (1996). Understanding disability: From theory to practice. St. Martin’s Press.
Oliver, M. (1996). Understanding Disability: From Theory to Practice. Macmillan International Higher Education.
Quinn, G., Degener, T., & Flynn, E. (Eds.). (2002). Human rights and disability: The current use and future potential of United Nations human rights instruments in the context of disability. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
Rehabilitasi Medis RSCM. Diakses dari: https://www.rscm.co.id. Pada 3 Agustus 2024
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia | Implementasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM): Pencapaian dan Tantangan. Diakses dari: https://setkab.go.id/implementasi-rencana-aksi-nasional-hak-asasi-manusia-ranham-pencapaian-dan-tantangan/. Pada 4 Agustus 2024
Shakespeare, T. (2006). Disability rights and wrongs. Routledge.