Views: 22
Solidernews.com – Peribahasa berbahasa Jawa yang sempat saya ingat ialah Gusti iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan yang dalam arti bahasa Indonesia “Tuhan itu dekat meski tubuh kita tidak dapat menyentuhnya, jauh tiada batasan”. Saya memaknai arti dari peribahasa Jawa tersebut dengan Tuhan atau keberadaan Ilahi hadir dalam kehidupan kita dengan cara yang sangat intim dan dekat. Meskipun kita tidak bisa merasakan atau menyentuh-Nya secara fisik seperti hal-hal material di dunia ini, kehadiran-Nya dirasakan dalam hati dan jiwa kita dengan kedalaman yang tak terukur.
Dan kiranya tepat penggambaran peribahasa tersebut saya temui ada pada sosok pasangan suami istri (pasutri) yang saya kenal sejak 2011. Pasutri ini dikaruniai putri dengan down syndrome (ADS) yang kini berusia 11 tahun. Dwifa Choirunnisa Azzahra , anak kedua yang terlahir prematur, kini sudah bersekolah di salah satu Sekolah Luar Biasa di tingkat sekolah dasar. Dwi dan Syairul sebagai orang tua dari ADS sudah jauh melampaui tahapan ikhlas yang tinggi menurut saya. Perjuangannya dimulai sejak Dwifa lahir hingga saat ini. Bagi mereka, Dwifa merupakan hadiah dari Tuhan yang akan menuntun mereka dekat dengan pencipta.
“Saya tahu Dwifa beda, saat sudah lahir”, jelas Dwi.
Dalam obrolan saya dan Dwi di sore hari pekan ini, saat itu memang ada kendala dalam kehamilan di trimester pertama. Saat itu, Dwi memang tidak melakukan USG (ultrasonografi) sehingga deteksi dini memang tidak bisa dipersiapkan secara baik. Saat Dwifa lahir, Irul sang ayah yang diberi tahu oleh bidan bahwa bayinya dengan kondisi down syndrome. Dwi dan Syairul tetap menerima kehadirannya dan mempelajari tentang down syndrome secara otodidak.
“Cari tahunya ya lewat internet saat itu Mbak”, ungkap Dwi.
Dwi sebagai ibu dari ADS yang sekaligus menjadi guru di salah satu TK, harus pandai-pandai mengatur waktu. Berbagi beban pekerjaan domestik dengan suami, Dwi juga harus siap untuk mengatur kesibukan di dalam atau di luar rumah. Untuk pengasuhan Dwifa, selain dihandle penuh oleh Dwi dan Syairul, namun ada tetangga yang turut menjaga Dwifa apabila Dwi dan Syairul bekerja. Bagi orang tua yang memiliki ADS, mendengar cerita bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari bisa menjadi perjuangan yang mengharukan. Terutama ketika Dwifa sakit dan harus dirawat secara insentif di rumah sakit, tentu biaya tidak sedikit.
Dwifa yang saat ini memasuki usia sekolah, tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua semakin bertambah. Dwi yang aktif sebagai guru TK, sementara Syairul sebagai karyawan di salah satu SMK, mereka harus berupaya untuk memberikan perhatian dan dukungan yang tepat bagi Dwifa. Tentu seperti yang diketahui, mengasuh ADS di usia sekolah memerlukan komitmen dan perhatian ekstra. Dwifa memerlukan terapi dan dukungan khusus, serta pendampingan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah.
Saat ini, anak pertamanya juga sedang kuliah di salah satu PTS, maka kondisi yang dihadapi dengan mencari tambahan penghasilan. Saya melihat mereka sebagai orangtua telah menunjukkan ketekunan dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi situasi yang kompleks. Mereka mencari jalan keluar untuk menyeimbangkan kebutuhan anak-anak mereka dengan menjalani usaha rumahan membuat kue egg roll dan semprong. Usaha rumahan ini sudah berjalan sejak lama sejak dari orang tua Dwi, sehingga kini diwariskan ke Dwi agar tetap diteruskan.
“Ya saat ini harus hemat, beli barang yang tidak perlu”, terang Dwi.
Kakak Dwifa, selaku anak pertama juga sangat proaktif untuk menjaga Dwifa semisal orang tua sedang sibuk mengurus pekerjaan. Pembagian tugas di rumah sudah mulai diterapkan untuk orang tua dan anak pertama, untuk melakukan pekerjaan rumah atau menjaga Dwifa. Memang bagi keluarga ini komunikasi sangat berperan dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung tumbuh kembang Dwifa.
Saat ini di masa Ramadhan, Dwifa sudah mulai dikenalkan dengan makna puasa. Sesekali diajak untuk tarawih berjamaah agar Dwifa bisa mengenal makna ibadah ramadhan. Konsep-konsep dasar Ramadhan mulai diberikan secara konsisten seperti berpuasa, shalat tarawih, dan zakat dengan cara yang sesuai dengan tingkat pemahamannya.
“Kan yang penting pembiasaan mbak, karena itu yang penting”, jelas Dwi.
Kenaikan harga di masa Ramadhan tentu menjadi salah satu tantangan bagi stabilitas ekonomi keluarga Dwi dan Syairul. Pada umumnya pengeluaran selama Ramadhan hingga menjelang lebaran ada kenaikan 10–25 %. Bagi keluarga ini, kebutuhan biaya tambahan untuk menyediakan makanan dapat ditekan dengan cara memilih yang paling prioritas, sementara untuk biaya tak terduga (biaya kesehatan dan obat-obatan) sudah diperhitungkan.
Karena bukan dari golongan PNS, Dwi dan Syairul harus bisa berjuang untuk mengelola keuangan dengan cermat. Berupaya mencari tambahan dari usaha rumahan agar mampu stabil ekonominya. Sesekali jika sudah merasa penat dari rutinitas, sekeluarga ini akan pergi hiking atau bermain di alam untuk bisa menjaga keseimbangan emosional. Bagi saya, keluarga ini kompak ketika naik gunung untuk menikmati sunrise bersama.
“Ya dibawa happy mbak, kalau gak happy ya gimana”, jelas Dwi dengan tertawa.
Saat ekonomi dirasa sulit, keluarga ini tak mau mengambil langkah rumit, cukup berhemat dan mencari uang tambahan, agar stabil luar dalam. Dikaruniai anak difabel, bukan jadi halangan untuk tetap berjuang. Mereka yakin bahwa tidak ada manusia yang diuji oleh Tuhan di luar kemampuan.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan Arief