Views: 122
SoliderNews.Com, Yogyakarta –MENDAPATKAN pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, menjadi impian, harapan sekaligus tujuan semua orang. Tak terkecuali bagi tuli. Di Yogyakarta, kini semakin banyak perguruan tinggi yang terbuka bagi calon mahasiswa tuli. Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, untuk menyebut beberapa, adalah contohnya. Bahkan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sudah dilabeli sebagai perguruan tinggi inklusi.
Namun, sudahkah mahasiswa tuli dapat menerima materi perkuliahan sebagaimana mahasiswa yang mendengar? Sudahkan para dosen memberikan pemenuhan hak bagi mahasiswa tuli dengan memahami perbedaan kemampuan (different able) mendengar, antara tuli dengan non tuli?
Tulisan ini bukan sedang menghakimi dunia pendidikan atau menyalahkan label inklusi yang telah dicanangkan pemerintah. Melainkan, semata mencoba mencari simpul masalah, sehingga dapat terlihat jelas bagaimana harus mengurai dan meluruskannya. Dengan harapan tak kan ada lagi istilah diskriminasi bagi tuli.
Punya hak sama
Berbicara hak, sama halnya berbicara tentang segala sesuatu yang harus didapatkan seseorang. Setiap anak dilahirkan merdeka dengan seluruh martabat dan hak hidup yang melekat. Mereka berhak atas seluruh kebebasan tanpa perkecualian suku, ras, fisik, jenis kelamin, bahasa, agama, atau golongan. Tidak semestinya memperlakukan berbeda atas dasar dan alasan apa pun. Dengan demikian, mahasiswa tuli seyogyanya mendapatkan hak sama dengan mahasiswa lain. Hanya saja, menggunakan cara yang berbeda.
Namun, apa yang terjadi pada tataran empirik dalam realitas kehidupan sosial? Ternyata, mereka, kaum tuli, masih tetap harus berjuang dengan berbagai cara agar dapat memahami materi yang disajikan dosen. Sebagian besar dosen memiliki kebiasaan menyampaikan materi secara oral, minim visual. Sedangkan mahasiswa tuli mengalami keterbatasan pendengaran, baik mereka yang kehilangan seluruh atau sebagian kemampuan pendengarannya.
Keterbatasan pendengaran yang menyertai berakibat pada minimnya informasi yang dapat dipahami. Bagi tuli sulit memahami pembicaraan dan berbicara dengan bahasa bibir. Sehingga mahasiswa tuli pada umumnya memiliki kesulitan dalam hal pemahaman. Jika kebutuhan visualisasi tidak tersedia bagi tuli, dapat dipastikan bahwa proses belajar dan berkomunikasi bagi tuli akan terhambat. Hambatan bisa saja datang
dari lingkungan yang tidak peka, tidak memahami, atau bahkan lingkungan yang tidak peduli dan abai.
Bagaimana memenuhi hak?
Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan kunci utama berkomunikasi. Tidak hanya mengenai hubungan dengan orang lain, melainkan juga menyerap berbagai informasi yang ada di sekitar. Bagi mahasiswa tuli, selain memiliki pemahaman bahasa yang kurang, mereka juga memiliki pemahaman yang berbeda terkait produksi bahasa dan berbicara. Kejelasan berbicara pada tuli, dipengaruhi oleh tingkat gangguan pendengaran dan usia terjadinya gangguan pendengaran.
Terdapat dua istilah yang dapat menjelaskan kondisi tersebut. Pertama, prelingual deafness, yaitu seorang yang mengalami tuli sejak dilahirkan atau pada masa sebelum ia bisa berbicara dan mengenali bahasa. Kedua, postlingual deafness, yaitu tuli yang dialami setelah mengenal bahasa dan dapat berbicara.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar komunikasi dapat dipahami oleh tuli. Pertama, menggunakan bahasa yang akses bagi tuli. Itulah cara memenuhi hak atas informasi dan komunikasi bagi mahasiswa tuli. Kedua, menggunakan bahasa isyarat, merupakan salah satu bahasa yang akses bagi mahasiswa tuli. Selanjutnya, lawan bicara (dosen) harus berbicara dengan gerakan bibir yang jelas. Apabila bahasa isyarat tidak dikuasai, maka visualisasi berupa teks atau tulisan merupakan bahasa lain yang akses bagi tuli.
Sungguh dunia pendidikan saat ini belumlah ramah bagi tuli. Pendidikan inklusi yang menjadi label di kota Yogyakarta hanyalah sebatas sensasi. Jika disebut bahwa sekolah dan perguruan tinggi menjadi inklusi, maka itu baru sebatas pada pengertian terbuka, memberi kesempatan pada tuli, tapi belum memberi pemenuhan, penghormatan, hak dan martabat bagi tuli. Diakui atau tidak, mahasiswa tuli masih terdiskriminasi, terkhusus di dunia pendidikan.
Apa yang salah?
Adalah kenyataan bahwa tidak banyak orang yang dapat berkomunikasi secara baik dengan tuli, bahkan orangtua mereka. Metode, pendekatan dan perlakukan khusus sebagaimana yang dibutuhkan, tidak banyak mereka temukan. Bahkan kebutuhan akan visualisasi informasi tidak juga dengan mudah mereka dapatkan. Apalagi bahasa isyarat. Demikian pula juru bahasa isyarat tidak serta merta ada di dunia setiap sudut tempat, dan tentu saja di dunia pendidikan.
Dengan demikian, tidak ada yang salah dengan tuli. Kesulitan yang dihadapi tuli dalam mengakses informasi, dalam berkomunikasi, terjadi karena hambatan yang diciptakan oleh lingkungan sosial.
Sejak tahun 2011, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) atau UNCRPD, melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Di dalamnya mengatur kewajiban negara untuk melindungi, mempromosikan, dan menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Dalam hal ini adalah memastikan bahwa difabel setara dengan non difabel di mata hokum.
Dikuatkan lagi Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Di mana di dalamnya mengatur pendidikan inklusi. Lebih ke bawah lagi, terkhusus Daerah Istimewa Yogyakarta, telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomer 5 Tahun 2022, tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas. Dengan demikian, cukup lah semua produk hukum terkait pemenuhan hak bagi difabel, kiranya cukup memenuhi.
Namun apalah arti produk hukum atau kebijakan jika tidak diimplementasikan. Kini masyarakat menanti hadirnya sang implementator. Karena, kebijakan negara dan implementator ibarat dua sisi mata uang. Tidak bisa terpisah satu sama lain.[]
Penulis: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan
Sumber bacaan: Paul, P. V., & Whitelaw, G. M. (2011). Hearing and Deafness. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers.