Views: 56
Solidernews.com – Pada 28 Februari, diperingati Hari Gizi Nasional. Salah satu permasalahan yang sering terabaikan dalam pemberitaan adalah kekurangan gizi yang dialami oleh saudara-saudara kita yang memiliki tantangan khusus. “Omon-omon” saya teringat janji dari salah satu pasangan calon dalam pemilu 2024 yang lalu, yakni penyediaan makan siang gratis bagi ibu hamil dan siswa di sekolah, yang menjadi salah satu program utama dari salah satu pasangan calon dalam Pilpres 2024 kemarin. Meskipun belum secara resmi diumumkan sebagai pemenang oleh KPU, program ini telah diintegrasikan ke dalam visi-misi mereka. Program ini secara mendasar cukup bagus, tapi apakah program itu akan menyentuh teman-teman difabel, tentu ini jadi harapan. Namun, seharusnya program semacam ini juga memperhitungkan saudara-saudara kita yang memiliki tantangan khusus. Perhatian terhadap masalah ini seharusnya sejajar dengan penanganan stunting.
Di tengah upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan aksesibilitas, penting untuk tetap memprioritaskan kebutuhan dasar ini. Masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam akses mereka terhadap makanan bergizi dan pola makan yang sehat. Jika benar paslon itu jadi, merevisi visi-misinya tentang makan gratis, mamandang kenutuhan teman-teman difabel. Bagaimana mungkin kita membicarakan kesetaraan ketika semua orang belum memiliki hak yang sama terhadap asupan gizi yang memadai? Inklusi yang sejati adalah memastikan bahwa setiap individu, termasuk mereka yang memiliki tantangan khusus, memiliki akses yang setara terhadap gizi yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan berkembang.
Pemenuhan kebutuhan gizi harian memiliki peran vital bagi mereka yang hidup dengan difabel. Dukungan dari berbagai pihak, mulai dari perawat hingga nutrisionis serta keluarga, sangatlah penting dalam menjaga kesehatan mereka.
Terkait dengan hal ini, terdapat peningkatan minat secara internasional mengenai keterkaitan antara malnutrisi dan difabel. Kedua isu tersebut bukan hanya menjadi perhatian utama dalam konteks kesehatan global, tetapi juga menyangkut hak asasi manusia. Penguatan hubungan antara kedua bidang ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat yang signifikan.
Dalam mengatasi tantangan ini, penting untuk menyadari bahwa kebijakan, manajemen program, dan profesionalisme dalam kedua bidang tersebut masih terpisah. Namun, dengan kesamaan masalah yang dihadapi, ada potensi untuk menciptakan sinergi yang kuat.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang keterkaitan antara malnutrisi dan difabel, diharapkan langkah-langkah yang diambil dapat memberikan dampak positif bagi mereka yang membutuhkan dukungan ini. Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup mereka, kerja sama lintas sektor dan komitmen politik sangatlah diperlukan.
Kedua bidang ini juga terkait erat dengan hak asasi manusia, seperti hak atas pangan yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948. Selain itu, agenda kesehatan global semakin menyoroti keterkaitan antara gizi dan difabel, seperti yang tercermin dalam Laporan Dunia tentang Disabilitas WHO dan Bank Dunia tahun 2011 serta gerakan seperti Scaling-up Nutrition (SUN).
Bidang gizi buruk dan difabilitas memiliki titik konvergensi yang signifikan. Negara-negara dengan tingkat malnutrisi tinggi juga melaporkan tingkat kedifabelan yang lebih tinggi. Ada hubungan timbal balik antara keduanya, di mana malnutrisi dapat menyebabkan atau memperburuk tingkat kedifabelan, dan sebaliknya.
Meskipun sebelumnya banyak program fokus pada pencegahan difabilitas melalui intervensi gizi, penting bagi program-program di masa depan untuk mengakui bahwa difabel sering menghadapi risiko gizi yang lebih tinggi. Jenis difabel tertentu dapat meningkatkan risiko kekurangan gizi, seperti cerebral palsy dan sindrom Down, yang terkait dengan masalah makan dan menelan.
Kesehatan Anak di Garis Depan, Keterkaitan Antara Kedifabelan dan Masalah Gizi
Kedifabelan pada masa anak-anak dan masalah malnutrisi adalah dua isu krusial dalam ranah kesehatan masyarakat. Secara global, sekitar 15,6% dari populasi dunia mengalami beragam bentuk difabel, dan mayoritas dari mereka tinggal di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Meskipun angka pasti prevalensi disabilitas pada anak-anak masih belum jelas, diperkirakan bahwa jumlah anak usia 0-18 tahun yang hidup sebagai difabel mencapai antara 93 hingga 150 juta individu di seluruh dunia.
Walaupun angka malnutrisi global telah mengalami penurunan selama dekade terakhir, namun masih ada jutaan balita yang terus berjuang melawan malnutrisi. Pada tahun 2018 saja, lebih dari 150 juta anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting, sedangkan 50,5 juta lainnya mengalami wasting. Malnutrisi tetap menjadi penyebab utama kematian anak-anak, terutama ketika disertai dengan difabel, terutama di negara-negara dengan ekonomi rendah dan menengah. Sekitar 45% dari kematian anak di seluruh dunia disebabkan oleh kekurangan gizi.
Malnutrisi tidak hanya menjadi pemicu kedifabelan pada anak-anak, namun juga sebagai konsekuensi dari kedifabelan itu sendiri. Analisis terkini menunjukkan bahwa anak-anak yang difabel memiliki risiko 3,0 kali lebih tinggi untuk mengalami kekurangan berat badan dibandingkan dengan anak-anak tanpa difabel. Di Kenya, studi menunjukkan bahwa anak-anak difabel memiliki risiko 2,2 kali lebih tinggi untuk mengalami kekurangan berat badan dan 1,7 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tidak difabel permanen.
Pedoman Gizi untuk Menunjang Kehidupan Sehari-hari Difabel
Montana Disability and Health Program merumuskan standar perawatan gizi yang bertujuan meningkatkan kualitas pola makan dan asupan nutrisi yang mendukung bagi orang dewasa yang mengalami difabel intelektual dan/atau perkembangan.
Standar ini penting karena sering kali difabel menghadapi apa yang disebut sebagai “kondisi sekunder”, yaitu masalah fisik dan psikologis tambahan yang mungkin membatasi kehidupan sehari-hari dan aktivitas mereka.
Perawatan atau bantuan untuk menyediakan makanan bagi difabel memerlukan berbagai hal seperti:
- Penyediaan makanan dan nutrisi yang mendukung kesehatan mereka.
- Penyediaan informasi, motivasi, dan dukungan sosial atau praktis yang positif. Ini bisa mencakup membantu mereka berbelanja dan memasak untuk memfasilitasi pemilihan makanan yang tepat.
- Mendorong partisipasi dalam aktivitas yang memperkuat kesadaran akan pentingnya makanan sehat dan olahraga.
Tahap Menjamin Kualitas dan Nutrisi yang Baik
Standar perawatan gizi ini juga mencakup langkah-langkah untuk mencapai pola makan dan asupan nutrisi yang berkualitas, memastikan agar teman-teman difabel dapat memperoleh kesehatan yang optimal dan berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan sehari-hari.
Penerapan standar perawatan gizi bagi difabel ini membutuhkan kolaborasi dari pihak luar untuk membantu menerapkannya dalam setiap tahap, dengan tujuan membawa difabel pada:
- Level 1, yang mencakup pola makan yang aman dan nutrisi yang memadai, meliputi:
– Konsumsi makanan dengan kualitas dan jumlah yang cukup.
– Variasi dalam buah, sayur, dan gandum.
– Penyajian makanan yang aman.
– Konsumsi tiga menu utama dan camilan setiap hari.
– Melakukan aktivitas fisik secara teratur.
– Memahami preferensi makanan dari difabel yang sedang dirawat.
- Level 2, yang memperhatikan kebutuhan khusus difabel, termasuk manajemen kondisi medis dan sekunder, serta kebutuhan khusus lainnya.
- Level 3, yang menekankan pada pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit serius melalui pola makan yang tepat, termasuk asupan sumber makanan nabati yang cukup, pengurangan gula dan garam, serta konsumsi protein seimbang.
Dengan menerapkan standar ini, diharapkapkan dapat mendukung difabel untuk hidup dengan gizi yang baik dan sehat, meskipun dihadapkan pada hambatan yang mereka miliki.[]
Penulis: Hasan Basri
Editor : Ajiwan
Sumber:
Jahan, I., Karim, T., Al Imam, M. H., Das, M. C., Ali, K. M., Muhit, M., & Khandaker, G. (2019). Disabilitas dan Gizi Anak: Temuan dari Studi Kasus Kontrol Berbasis Populasi di Pedesaan Bangladesh.
Groce, N., Challenger, E., Berman-Bieler, R., Farkas, A., Yilmaz, N., Schultink, W., Clark, D., Kaplan, C., & Kerac, M. (2014). Malnutrisi dan disabilitas: peluang kolaborasi yang belum tereksplorasi.