Views: 18
Solidernews.com, Yogyakarta – RABU (12/3) pagi, media serentak mengabarkan peristiwa pembakaran tiga gerbong kereta api milik PT KAI, yang sedang diparkir, di Emplasemen Stasiun Tugu Yogyakarta. Pelakunya adalah seorang pemuda asal Jakarta, berinisial MR (17). Kebetulan remaja pria tersebut mengalami hambatan pendengaran (tuli).
Guna mengkonfirmasi motif dan delik hukum yang menjerat pelaku, solidernews.com mendatangi Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (14/3).
Dalam keterangannya kepada media, Dirreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi mengungkap motif MR membakar tiga gerbong kereta api, yang mengakibatnya, dua gerbong KA eksekutif dan satu gerbong KA premium terbakar. Pelaku ditangkap sekira pukul 09.40 WIB usai kejadian, Rabu (12/3/2025). Polisi juga menyita tas yang berisi kardus dan korek api.
Menurut Kombes FX Endriadi, motif pembakaran tersebut karena pelaku sakit hati. “Pelaku nekat melakukan asksinya itu karena sakit hati. sebab sembilan kali diturunkan kondektur kereta api akibat tak memiliki tiket. Tersangka memungkinkan ditahan karena ancaman pasal yang diterapkan, 12 tahun penjara,” ungkapnya di Mapolda DIY, Jumat (14/3/2025).
Pendampingan dan penilaian personal
Merespon peristiwa tersebut Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia M. Syafi’ie menyampaikan beberapa hal. Pertama, setiap tindak pidana perlu proses hukum. Walaupun perlu diperhatikan prosedur penanganan aparat penegak hukum yang harus fair atau adil. Berikutnya, dalam kasus pembakaran gerbong kereta yang notabene pelakunya seorang difabel tuli, maka harus dipastikan proses-proses penanganannya. Tersangka harus didampingi pendamping disabilitas, pendamping hukum, dan penerjemah bahasa isyarat
Hal yang tidak kalah penting, kata dia, adalah penilaian personal terhadap pelaku harus dilakukan. Sehingga akan diketahui hambatan utama yang terjadi pada pelaku. Terutama tingkat kesadarannya ketika melakukan pembakaran. Penegak hukum harus menggandeng psikolog/psikiater, yang memiliki keahlian dan mengerti disabilitas untuk melakukan penilaian personal.
Terkait apakah pelaku bisa bebas dari tanggungjawab tindak pidana, mengingat usianya yang masih di bawah umur? Syafi’ie menjawab, “Di sini makna penting, mengapa penegak hukum harus menghadirkan pendamping disabilitas, pendamping hukum, penerjemah dan ahli (psikolog/psikiater). Yaitu untuk mencoba menggali, apakah yang bersangkutan sadar melakukan tindak pidana? Ataukah yang bersangkutan ada masalah mental? Pada saat kejadian sedang relaps (kambuh) dan tidak bisa bertanggunggungjawab. Jika kondisi demikian terjadi, berarti yang bersangkutan layak dimaafkan atas tindakannya,” terang Pengamat Disabilitas yang juga Dewan Pengurus SIGAB Indonesia itu.
Lanjutnya, karena pelaku juga seorang anak, maka proses penanganan kasus juga harus didasarkan prosedur anak berhadapan hukum. Artinya yang menangani adalah Unit PPA di kepolisian. Apalagi pelaku juga disabilitas. Maka butuh multi pendekatan, agar proses penangananya fair.
Sekali lagi Syafi’ie menegaskan, penegak hukum harus memastikan pelaku didampingi pendamping disabilitas dan pendamping hukum. Karena itu perintah dari peraturan pemerintah No. 39/2020. “Jika tidak dipenuhi, bisa berdampak proses penyidikan dianggap bermasalah. Kedua, bisa dianggap pelanggaran hak disabilitas. Karena negara tidak memenuhi kewajibannya, tidak memenuhi hak-hak disabilitas berhadapan hukum,” pungkasnya.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan